31 Des 2018

Mengapa Orang Merayakan Tahun Baru?


Sambut Tahun Baru 2019

Oleh Syahrir Hakim

LEBIH setahun saya tidak ngeblog. Alasannya, didera 'penyakit' malas. Padahal banyak waktu terbuang. Jam-jam istirahat kantor maupun di hari-hari libur. Kebun ide pun seolah kering karena tidak pernah diisi.

Menyambut tahun baru 2019, kedua ujung telunjuk saya mulai gatal untuk menekan tombol huruf- huruf di layar IPad saya. Benda canggih ini sudah lama 'dilemarikan'. Iya lagi-lagi itu tadi. Didera rasa malas.

Oke, lupakan rasa malas itu. Mari kita sambut tahun baru 2019. Tahun 2018 akan berlalu meninggalkan kenangan. Tergantikan tahun 2019. Kita semua berharap, semoga kehadiran 2019 membawa harapan baru, berkah, dan kedamaian bagi penghuni negeri ini.

Detik-detik pergantian tahun akan bergema di seantero belahan dunia. Semarak dengan berbagai jenis aktivitas. Terkadang dalam benak muncul pertanyaan. Mengapa orang merayakan tahun baru? Hemat saya mengatakan, aktivitas penyambutan setiap tahun baru, setidaknya ada dua alasan.

Pertama, ada sebagian yang merasa layak merayakan pergantian tahun, karena mereka merasa cukup sukses menjalani tahun sebelumnya. Kedua, sebagian pula menginginkan harapan baru di tahun yang baru, setelah mengalami sejumlah kegagalan di tahun sebelumnya.

Pertanyaannya, Anda masuk di golongan mana? Jika masuk golongan pertama, artinya Anda merayakan sebuah kesuksesan. Bukan hanya mencari harapan baru tanpa berusaha memperbaiki kegagalan yang pernah mendera. Menyikapi tahun baru boleh lah disebut, saat yang pas untuk mengintrospeksi diri, agar kita tidak lupa diri. 

Bagaimana pula dengan orang yang termasuk golongan kedua? Setiap tahun membuat target, tanpa dibarengi semangat juang merealisasikan targetnya. Lagi pula mereka kurang disiplin berusaha meraih target kesuksesan, sehingga target tersebut tetap akan bertengger di tahun depan.

Saya ingat petuah orang bijak, "Kadang tanpa sadar, kita jadi manusia yang terlalu sering berharap, tapi jarang berusaha. Akhirnya hanya kecewa yang dapat kita petik. Lantas menyalahkan nasib karena tak pernah memberi apa yang kita inginkan".

Petuah itu berlanjut, kita kadang haus motivasi, tapi terlalu malas untuk beraksi. "Mimpi tanpa aksi, namanya angan-angan. Tidak akan pernah jadi kenyataan," tuturnya.

Nah kembali ke malam pergantian tahun. Khusus di kota-kota besar, malam pergantian tahun selalu dirayakan dengan pesta kembang api. Atraksi yang meriah sampai dini hari. Tidak ketinggalan tempat-tempat rekreasi, hotel maupun restoran berlomba menyemarakkan malam tahun baru.

Pengelolanya mendesain acara yang dapat menarik pengunjung ke tempat mereka.  
Lalu, apa sebenarnya makna dari malam tahun baru itu? Saya menyontek Wikipedia, bahwa malam tahun baru, adalah kebiasaan dalam kebudayaan barat untuk merayakannya dengan pesta-pesta atau acara berkumpul bersama kerabat, teman, atau keluarga menanti saat pergantian tahun. 

Bagaimana pula sebaiknya menyikapi suasana malam pergantian tahun? Tanggapan masyarakat berbeda-beda. Ada yang melakukan zikir bersama sambil merenungi jejak setahun silam. Ada yang menyikapi biasa saja. Ada pula sekadar mencari hiburan di luar rumah atau hanya menonton televisi. Tetapi tidak kurang jumlahnya yang sama sekali tidak ikut merayakan. Alasannya, malam pergantian tahun sama seperti malam-malam sebelumnya.  

Namun, menurut hemat saya yang mungkin sependapat dengan pembaca, meski malam tahun baru sama seperti malam biasanya, setidaknya ada sedikit perbedaan. Suasana dan keinginan agar hari esok lebih baik dari hari kemarin. Tapi semua itu, tergantung dari persepsi di masyarakat.

Di malam pergantian tahun, sudah jelas kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan penghidupan pada tahun sebelumnya. Kemudian merenungi pencapaian selama setahun terakhir, agar tahun berikutnya dapat lebih baik lagi. Selain itu, menjalin hubungan kebersamaan, sebab di malam tahun baru adalah waktu yang pas untuk berkumpul bersama keluarga.  

Bagi masyarakat dapat memetik keuntungan di malam pergantian tahun. Dengan bertambah penghasilan mereka. Seperti penjual terompet, penjual makanan dan minuman. Bertambahnya pemasukan untuk kalangan pengusaha kuliner, tempat rekreasi, hotel, maupun pusat perbelanjaan.

Itulah sisi positif yang dapat dipetik di malam pergantian tahun. Meski ada sisi positifnya, tetapi harus pula diwaspadai sisi negatifnya. Karena seringnya terjadi perilaku menyimpang di kalangan remaja. Misalnya, penyalahgunaan narkoba dan pergaulan tanpa batas. Kebut-kebutan yang rawan terjadi kecelakaan. Semoga bermanfaat. (**)

25 Jan 2018

Hari Gizi Nasional; Alarm untuk Sadar, Gizi Itu Penting!


Oleh Syahrir Hakim
SEORANG anak usia bawah lima tahun (Balita) tampak lemas di pangkuan ibunya. Badannya kurus, otot mengecil, perut membuncit, dan kulit kering mengeriput. Balita itu menderita gizi buruk.

Derita seperti inilah yang melanda sebagian balita di Kabupaten Asmat dan Bintang, Provinsi Papua. Akibatnya, puluhan dari balita itu meninggal. Pemerintah setempat kini sementara berupaya mengatasi derita yang sedang dialami anak-anak rakyatnya.

Permasalahan gizi yang dihadapi negara kita akan berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Permasalahan gizi yang dimaksud antara lain kegagalan pertumbuhan
ada awal kehidupan.

Balita seperti itu rendah berat badannya waktu lahir, pendek, dan kurus. Kondisi ini akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya. Anak yang kekurangan gizi nantinya akan mengalami hambatan kognitif dan kegagalan pendidikan, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas di masa dewasa.

Hari ini (25 Januari), bertepatan dengan Hari Gizi Nasional (HGN). HGN bukanlah termasuk hari-hari besar nasional yang ditetapkan oleh presiden. Tetapi hari yang ditetapkan atau disepakati oleh lembaga bersangkutan.

Namun demikian, HGN bukanlah sekadar momentum. Tetapi sesungguhnya hari ini adalah sebagai bentuk peringatan, bahwa gizi turut berperan penting dalam kehidupan kita. Peringatan hari ini sebagai alarm untuk sadar bahwa gizi itu penting!

Sebagai makhluk hidup, tentu tak bisa lepas dari makanan. Makanan yang dikonsumsi pun tidak asal makanan. Akan lebih baik jika makanan yang bergizi. Selain untuk menunjang keberlangsungan hidup, makanan bergizi pun berguna sebagai penunjang kesehatan. Selain itu, dapat berpengaruh pada perkembangan organ vital terutama pada masa kehamilan.

Jika kita mengonsumsi makanan yang bergizi tentu penyakit pun bisa diatasi. Terlebih penyakit yang sering dialami masyarakat di zaman now. Penyakit terkait perilaku dan pola makan yang kurang baik seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes melitus.

Kembali kepada momen HGN. Menurut sumber, HGN pertama kali diadakan oleh Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada pertengahan tahun 1960-an. Dilanjutkan oleh Direktorat Gizi pada tahun 1970-an hingga sekarang.

Kegiatan tersebut diselenggarakan untuk memperingati dimulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia. Ditandai berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan pada 26 Januari 1951 oleh Prof Poorwo Soedarmo.

Sejak saat itu, pendidikan tenaga gizi terus berkembang pesat di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Di kemudian hari disepakati bahwa HGN ditetapkan setiap tanggal 25 Januari.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI dr Anung Sugihantono M.Kes mengatakan, dengan momentum HGN ke-58 hari ini, kita dapat bersama-sama melakukan langkah strategis.

Memperbaiki status gizi masyarakat dengan menurunkan stunting, sebagai investasi bangsa untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi di dunia global.

Dia pun berharap, kiranya peringatan Hari Gizi Nasional ke-58 tahun 2018 dapat menghasilkan komitmen dan kolaborasi seluruh elemen bangsa untuk bekerja bersama mencegah stunting demi mencapai bangsa Indonesia yang sehat dan sejahtera.

Stunting, terjadi karena kekurangan gizi kronis. Penyebabnya, kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, sehingga mengakibatkan kegagalan pertumbuhan, dan kurangnya kemampuan kognitif. Balita tidak berkembang maksimal dan mudah sakit.

Dalam rangka menurunkan angka stunting di Indonesia, masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi dan kesehatan bagi ibu hamil dan anak balita. Oleh karena itu, saat ini pemerintah dan seluruh masyarakat diharapkan dapat bekerja bersama secara terintegrasi untuk mencegah stunting, dengan fokus pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Periode 1.000 HPK yang dimulai sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun adalah masa kritis yang menentukan masa depan seorang anak. Dampak buruk kekurangan gizi pada periode 1.000 HPK akan sangat sulit diperbaiki. (**)