14 Sep 2015

Komunikasi Buntu


Oleh Syahrir Hakim

Mentari pagi semakin beranjak kian terasa panas menerpa kulit. Embusan angin pun semakin "bernafsu" menerbangkan atap rumah hingga sampah kering. Menghadapi cuaca ekstrem ini, sesering kali kita diimbau agar meningkatkan kewaspadaan. Waspada bahaya kebakaran dan puting beliung. Namun, bagi seorang petugas kebersihan, kemarau ini malah menjadi penyemangat dalam bekerja.

Sejak pagi hingga siang dua hari lalu, lelaki paruh baya itu mengeduk sampah dalam saluran air di Jalan Reformasi. Peluh bercucuran, tetes demi tetes membasahi baju yang melekat di tubuhnya. Jemarinya yang menggenggam sekop, sesekali menyentuh bagian wajahnya, membuat dahi dan pipinya belepotan comberan. Meski pun lelah karena tenaganya terkuras, tetapi semangat tetap mewarnai wajah lelaki itu.

Sampah bercampur lumpur berwarna hitam pekat, menyatu memadati saluran air. Petugas kebersihan itu mengeduk, menaikkan sampah ke sisi jalan. Mumpung musim kemarau, langkah antisipasi tibanya musim hujan. Jika tidak demikian, saluran air akan buntu. Tersumbat oleh sampah dan lumpur. Aliran air pun tertahan, akhirnya meluap menggenangi jalanan. Merepotkan warga yang melewati jalanan tersebut.

Di saat mengamati petugas kebersihan yang sedang bekerja itu, benak La Oegi langsung mengingat Negeri Antah Berantah. Di sana, ternyata ada kemiripan dengan saluran air yang buntu. Sama tapi tak serupa (terbalik?). Terkadang muncul "riak-riak" yang mengiringi jalannya kebijakan. Mereka yang tak berpihak, dengan lantang menyuarakan nada protes. Memaparkan prediksi kerugian yang bakal dialami jika kebijakan itu dilakukan.

Ada pula yang "berteriak" menagih janji-janji politik yang belum direalisasikan. Malah mereka menganggap ada kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat banyak. Jika ditanya mengapa itu bisa terjadi? Lebih banyak yang menggelengkan kepala pertanda tak tahu daripada yang menjawab sekenanya. Setelah ditelisik dari pangkal sampai ke ujung-ujungnya, ternyata ada sesuatu yang terganjal. Komunikasi seolah-olah tersumbat. "Buntu," istilah La Oegi.

Pengambil kebijakan seolah-olah menganggap benar setiap keputusan yang dikeluarkan. Meski kebijakan yang dianggap benar itu, belum tentu nyaman dan elok pada perjalanan kebijakan itu sendiri. "Tapi apa daya, sudah terlanjur. Nasi sudah jadi bubur, tinggal ditaburi daging ayam suir-suir,jadilah bubur ayam," kelakar La Oegi.

Sebagai rakyat kecil yang peduli nasib sesama, La Oegi berharap penuh agar pemangku kekuasaan membangun komunikasi yang intens dengan rakyatnya. "Buka akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk menyampaikan unek-uneknya. Adakan diskusi dengan rakyat untuk mencari solusi yang terbaik," begitu saran La Oegi.

Bayangkan, kata La Oegi, betapa senangnya rakyat bila dapat berkomunikasi secara berkala dengan pemimpinnya. Mereka benar-benar merasa memiliki pemimpin yang cerdas, jika pemimpin itu bisa diakses dan bisa mendengar aspirasi rakyatnya. "Apalagi jika respon pemimpin sangat cepat, begitu lapor langsung ada tindakan, langsung ada solusi," La Oegi mengoceh.

Sebagai pelengkap ocehan, La Oegi mengutip tulisan Kolonel Adjie Suraji di Harian Kompas, beberapa waktu lalu yang berjudul "Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan". Dia menyebutkan, ada dua jenis pemimpin yang cerdas. Pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Nah, untuk menciptakan perubahan, tidak dibutuhkan pemimpin yang sangat cerdas. Sebab, kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Tetapi keberanian menjadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter. Termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Itulah sepenggal opini yang dikutip La Oegi. Permisi, numpang lewat! (**)

0 komentar:

Posting Komentar