1 Sep 2019

Gaya Milenial Memaknai Hijrah


Oleh Syahrir Hakim

HIJRAH bermakna keluar dari tempat yang buruk menuju tempat yang baik, sebagaimana hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Makkah menuju Madinah. Allah bahkan telah menyediakan tempat dan sarana berhijrah secara gratis kepada makhluk-Nya, tinggal bagaimana menyikapinya.

Di era ini, semua akses bisa dijangkau dengan mudah. Mulai dari transportasi, tempat tinggal, komunikasi, hingga media dakwah. Dengan kemudahan akses-akses tersebut, tentunya kita lebih bersemangat dalam berhijrah. Sepatutnya sebagai seorang muslim, kita harus memanfaatkan teknologi canggih itu untuk sarana berhijrah.

Hijrah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perpindahan Nabi Muhammad SAW bersama sebagian pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan diri dari tekanan kaum kafir Quraisy Makkah.

Definisi lain, yaitu berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (demi keselamatan dan kebaikan).

Adapun hijrah yang saat ini dimaknai para generasi milenial lebih pada perubahan sikap, gaya hidup dan tata cara berpakaian sesuai syariat Islam. Hijrah dalam perspektif yang baru dimaknai lebih personal, yakni perpindahan dari diri dengan segala masa lalu buruknya ke diri yang baru dan fitrah.

Hijrah ala generasi milenial tak mengharuskan Anda untuk meninggalkan suatu tempat. Pindah. Tetapi yang harus Anda lakukan adalah mengubah sikap dan perilaku yang sesuai dengan tuntunan Islam.

Gaya hijrah generasi milineal identik dengan perubahan signifikan terhadap cara berpakaian. Sebelumnya, mereka ramai-ramai mengenakan jeans dan pakaian ketat. Kini berubah menjadi lebih syar’i, dengan kerudung panjang dan lebar menutupi dada dan baju yang longgar, bahkan bercadar. Sedangkan laki-laki cenderung memanjangkan jenggot dan memendekkan celananya di atas mata kaki.

Konten-konten yang mereka bagi di media sosial pun cenderung sama. Ceramah singkat ustaz-ustaz yang sedang naik daun di media sosial seperti Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Khalid Basalamah, Ustaz Hanan Attaqi, dan Ustaz Abdul Somad.

Konten lain berupa kata-kata motivasi untuk memperbaiki diri agar jodohnya dipercepat. Motivasi untuk menjauhkan diri dari pacaran, termasuk konten-konten yang menyerukan untuk melakukan nikah muda.

Indikasi yang paling mudah dilihat, khususnya bagi para perempuan yang sedang memulai hijrahnya adalah terhapusnya foto-foto selfie yang menampakkan wajah ayu mereka. Jikalau ingin mengunggah foto selfie, mereka akan menutupi wajah mereka dengan tangan atau meletakkan emoticon sedemikian rupa.

Tujuannya, wajahnya tidak terekspos dengan sempurna. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini bahwa wajah adalah aurat yang harus ditutupi. Bukan diumbar dan menjadi konsumsi warganet.

Ada beragam motivasi berhijrah. Seperti kegagalan dalam percintaan. Diputusin atau diselingkuhi oleh sang pacar. Merasa terluka. Akhirnya mendekatkan diri kepada Allah SWT, berharap agar segera mendapatkan ganti dengan jodoh baru yang lebih baik.

Ada pula yang memandang hijrah sebagai tren, untuk menguatkan dirinya sebagai generasi kekinian yang Islami. Mereka ikut berhijrah. Namun, ada juga yang memang sungguh-sungguh dari awal ingin memperbaiki diri. Ini karena kesadaran dari dalam diri. Bukan dipengaruhi oleh kegagalan percintaan di masa lalu atau ikut tren belaka.

Ketika memutuskan berhijrah, mereka perlahan menarik diri dari pergaulan dan gaya hidup yang tidak bernapaskan Islam. Hal ini karena esensi hijrah yang memang erat kaitannya dengan nilai-nilai religius.

Selain cara berpakaian, mereka pun menghindari penggunaan bahasa Inggris dalam interaksi di media sosial. Istilah seperti goodluck, Get well soon, Thank you dan lainnya dicarikan padanannya ke dalam bahasa Arab. Itu karena identitasnya sebagai “bahasa umat Islam”. Idola mereka pun berpindah haluan kepada para hafiz dan tokoh-tokoh Islam.

Bagi mereka yang dahulunya sangat terobsesi dengan pesona artis, seorang k-popers, dan gemar belanja online, tiba-tiba timbul kegalauan saat ingin berhijrah.

Meskipun sebenarnya sah-sah saja menyukai artis korea dan belanja online. Tetapi mereka yang berhijrah merasa bahwa gaya hidup semacam itu tidak matching dengan apa yang sedang mereka jalani. Kenapa? Sebab sekali lagi, hijrah dan gaya hidup Islami adalah kesatuan yang utuh.

Menyadari kepedulian generasi milenial yang baru berhijrah, media sosial akhirnya memanfaatkan kesempatan ini. Menjadikan akun-akun yang beratmosfer hijrah, tidak hanya untuk memberikan tuntunan dan motivasi berhijrah yang benar, tetapi juga sebagai sarana untuk berjualan. Tak jarang, akun-akun hijrah tersebut mengunggah gambar produk seperti gamis syar’i, satu set kerudung dan cadar, kaos, serta buku.

Untuk meningkatkan daya tarik, biasanya produk tersebut dipromosikan (endorse) oleh selebgram yang juga melakukan hijrah yang sama. Mereka akhirnya memiliki ruang untuk menyalurkan hasrat belanja.

Semakin kuatlah gaya busana khas para penghijrah yang modis nan syar’i. Begitulah, perkawinan antara agama dan komodifikasi tak bisa dinafikkan sebagai alasan mengapa hijrah ala generasi milenial sangat digandrungi.

Akhirnya, hijrah generasi milenial tidak hanya memindahkan gaya hidup yang dulu ke gaya hidup yang sekarang. Tetapi juga bagian dari fenomena sosial yang memperkuat identitas sebagai generasi milenial versi syariah. (dari beberapa sumber)

0 komentar:

Posting Komentar