20 Sep 2017

Jadikan Momen Pilkada 2018 yang Halal, Damai, dan Sejuk


Sambut Tahun Baru Islam 1439 Hijriah

Oleh Syahrir Hakim
PETANG nanti insya Allah, umat Islam menyambut datangnya tahun baru Islam 1439 Hijriah. Menyambut 1 Muharam 1439 H dan menjadikan momen ini sebagai hijrah ke suasana yang lebih menyenangkan. Kondisi perekonomian yang lebih baik dan kondisi kesehatan yang lebih prima.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyambutan tahun baru Hijriah dilakukan ba'da Ashar hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Tak ada bunyi terompet, tak ada pula dentuman kembang api yang bersahut-sahutan di udara. Hanya lantunan zikir dan doa menggema dari menara Masjid Raya Parepare.

Momen penyambutan tahun baru Hijriah, pada hakikatnya sangat penting. Penting dalam arti kita dapat meresapi semangat tahun baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Apalah artinya semarak pergantian tahun, mana kala kita tidak bisa mendapat hidayah dan rahmat dari Allah SWT.

Jadi, tolak ukur pergantian tahun, bukanlah semarak pergantian tahunnya, tetapi semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik. Utamanya dari segi iman, taqwa bahkan sikap kita sekalipun.

Dengan datangnya tahun baru Hijriah ini, mari kita bersama menyikapi dan mengisi dengan target-target maupun makna kehidupan yang lebih berkualitas. Melakukan hijrah ke arah yang lebih baik. Apa arti perayaan, manakala tidak mengetahui makna secara positif bagi perjalanan hidup kita.

Kita harus mencontoh momentum dimulainya penanggalan hijriah ini. Karena tanggal 1 Muharam itu merupakan sejarah yang sangat besar maknanya dalam perubahan Islam menuju arah yang lebih gemilang.

Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah bertujuan menyusun strategi dakwah dalam penyebaran agama Islam. Lantas, apa yang harus dilakukan umat Islam di zaman sekarang ini? Apalagi dengan kehidupan duniawi yang semakin kompleks. Bahkan 'rebutan kekuasaan' menjelang pilkada 2018 mendatang terasa kian memanas.

Dalam rangka hijrah, ada hal penting yang harus diperhatikan. Apa itu? Gelorakan terus semangat perubahan ke jalur yang lebih baik. Terutama dalam sendi-sendi kehidupan yang dijalani setiap diri seorang muslim.

Tidak hanya dalam segi ibadah kepada Allah SWT, tetapi juga harus menjalin hubungan antara sesama manusia. Termasuk berhijrah dari kebiasaan bertindak zalim dalam masyarakat. Semisal pemimpin yang terkadang 'kurang adil' terhadap rakyatnya dengan mengingkari janji yang telah diumbar.

Tahun baru Islam yang ditandai 1 Muharam 1439 Hijriah ini seyogianya kita jadikan momentum dalam meningkatkan solidaritas kepedulian sesama muslim. Terutama menjadikan diri pribadi lebih berkualitas dan bermakna bagi orang lain.

Solidaritas antarsesama sangat diperlukan. Dalam kondisi seperti ini seringkali terjadi konflik-konflik kecil dalam masyarakat. Biasanya timbul akibat gesekan-gesekan yang dipicu oleh faktor politik setiap menjelang pesta demokrasi.

Dengan semangat tahun baru Hijriah 1439 ini, mari kita ciptakan suasana damai untuk Kota Parepare yang kita cintai. Selain itu menjadikan Pilkada Serentak 2018 sebagai pilkada halal dan damai yang dapat menyejukkan hati rakyat.

Betapa tidak! Kota Parepare saat ini diibaratkan seorang gadis jelita yang banyak dikejar-kejar kaum pria. Begitulah perumpamaan tentang Parepare yang diperebutkan oleh orang-orang yang ingin memimpin kota ini. Menurut para balon wali kota, 'jika Parepare di tangan mereka, kota ini akan lebih baik'.

Saatnya warga Parepare mendambakan sosok pemimpin bijaksana. Pemimpin yang mampu berbuat dalam mendongkrak perekonomian rakyat, menciptakan lapangan kerja, dan menekan angka kemiskinan.

Akhirnya, saya menitip pesan bagi siapa pun yang akan bertarung dalam pilkada nanti, jadilah pemimpin dengan penuh ikhlas tanpa 'birahi dan ambisi'. Dengan semangat tahun baru Hijriah ini, kita ciptakan suasana yang aman dan damai berlandaskan iman dan takwa. Semoga bermanfaat, walau tidak sependapat. (**)

13 Sep 2017

Beratnya Konsekuensi Menyandang Gelar Haji


Menyambut Jemaah Haji Kota Parepare

Oleh Syahrir Hakim

JEMAAH haji Indonesia mulai berdatangan kembali ke tanah air. Hari ini pun, sebanyak 120 jemaah haji Kota Parepare dijadwalkan tiba di kota ini. Selanjutnya ke tempat asal masing-masing dengan menyandang gelar baru 'haji' untuk laki-laki dan 'hajjah' untuk kaum perempuan.

Pada musim haji 1438 H ini, jemaah haji Indonesia kembali ke kuota normal sebanyak 221.000 orang. Kota Parepare tahun ini mendapat kuota 121 orang, itu pun pasca normalnya kuota. Sebelumnya, Parepare hanya mendapatkan kuota sebanyak 97 orang per tahun.

Aturan kuota itulah, sehingga berangkat haji tahun ini membutuhkan perjuangan tersendiri. Kesiapan dana, ilmu, dan tenaga saja tidak cukup. Meski ketiga poin itu terpenuhi, jika “waiting list” alias daftar tunggu belum sampai, ya tak kunjung berangkat juga.

Asal tahu saja, daftar tunggu calon haji (Calhaj) Indonesia rata-rata mencapai 30-35 tahun. Sementara untuk Calhaj Kota Parepare daftar tunggunya juga termasuk panjang, hingga 20 tahun ke depan. Bagi Calhaj yang sekarang berusia 50 tahun ke atas, jika masih diberikan umur panjang kemungkinan bisa berangkat sebagai 'haji manula'.

Begitu tingginya daftar tunggu haji di negeri ini, sehingga pemerintah menyortir pendaftar; yang sudah pernah berhaji, tidak boleh lagi berangkat. Soalnya banyak diantaranya yang berhaji hanya untuk jaga imej (Jaim) di lingkungannya.

Ada juga orang berhaji hanya sekadar untuk kebanggaan. Jika sepulang haji tak disebut 'Pak Haji”'atau 'Bu Haji' mereka tersinggung. Saking bangganya dengan gelar itu, ada pula orang yang mau diberangkatkan haji oleh kantornya tahun depan, saat itu belum ada kuota, dia buru-buru pesan kartu nama: H Anu….. lengkap dengan alamat rumah dan kantornya.

Padahal menyandang gelar haji itu konsekuensinya berat, paling tidak di lingkungannya. Jika ilmu agamanya pas-pasan, siapkah dia ditodong memimpin doa dalam acara selamatan, misalnya. Atau dipersilakan jadi imam di musala atau masjid jika imam tetapnya berhalangan?

Setelah menyandang gelar haji, kita dituntut untuk meningkatkan nilai-nilai ibadah. Sebab, selama proses pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Mekkah, kita ditempa menjadi manusia yang sempurna. Sempurna dalam arti keberanian, kemampuan, kesabaran, serta kedispilinan dalam beribadah.

Paling berat memang menyandang gelar haji. Sebab, akan menjadi standar atau acuan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ada perilaku yang salah sedikit saja, sudah dikomentari: 'Haji kok begitu?' Makanya, banyak diantaranya orang sudah berhaji, tapi tak pernah mencantumkan 'H' di depan namanya. Enggan pula pakai asesoris haji seperti peci putih, pakai sorban, atau berjubah.

Selama melaksanakan prosesi haji di tanah suci, para sanak keluarga mendoakan semoga kembali dengan selamat menyandang predikat haji yang mabrur. Apa yang dimaksud haji yang mabrur? Dalam sebuah laman, saya dapatkan sejumlah indikator haji mabrur. Salah satu di antaranya adalah meningkatnya gairah beribadah sekembalinya dari tanah suci. Dibanding sebelum berangkat berhaji.

Mereka yang meraih haji mabrur akan semakin rajin ke masjid untuk salat berjamaah ataupun menghadiri berbagai kegiatan keagamaan. Sebab, selama mereka di tanah suci telah melatih diri untuk terus menerus salat berjamaah di masjid. Bahkan datang lebih awal dari jadwal waktu salat berjamaah. Sampai-sampai rela berlari-larian dan berdesak-desakan untuk meraih tempat yang utama seperti Raudhah yang terletak di dalam Masjid Nabawi, Madinah.

Ada pula orang yang tidak berangkat haji ke tanah suci, malah mendapatkan pahala haji mabrur. Siapakah dia? Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW diterangkan, bahwa sepulang para sahabat menunaikan ibadah haji, hanya ada satu orang yang menjadi haji mabrur.

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa gerangan orang yang mabrur hajinya itu. Nabi menyebutkan namanya. Para sahabat mulai mengingat-ingat nama tersebut. Dalam ingatan mereka tidak ada orang berhaji yang disebutkan namanya oleh Rasulullah itu.

Maka, para sahabat menelusuri orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan orang itu, sahabat-sahabat yang datang itu mengucapkan selamat bahwa orang itu menjadi haji mabrur. Tentu saja, orang itu kaget. Terkejut. Dan, akhirnya menjelaskan bahwa dirinya tidak sempat untuk pergi haji pada tahun itu.

Dia menceritakan bahwa sudah berniat pergi haji dan sudah siap segala bekal untuk beribadah haji. Tatkala mau berangkat, dia mengetahui bahwa ada seseorang tetangganya yang sakit keras. Maka, dia menolong si sakit itu, sehingga menguras semua bekalnya untuk beribadah haji.

Tetangganya yang sakit itu ternyata sembuh. Tapi, dia tidak jadi berangkat beribadah haji. Ternyata, orang yang demikian ini menjadi haji mabrur. Jadi, untuk menjadi haji mabrur, harus bisa melihat kenyataan. Tanpa ke sana pun, kalau kelebihan harta bendanya itu untuk menyelamatkan orang, sama saja dengan pergi ke sana dan mendapatkan posisi sebagai haji mabrur. Semoga bermanfaat. (**)