31 Mei 2015

Ketika Wajib Senyum Direkomendasikan


Olah: Syahrir Hakim

Senyum didefinisikan sebagai gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara. Gerakan dengan mengembangkan bibir sedikit ini, untuk menunjukkan perasaan senang, gembira, suka, dan sebagainya. Kalimat ini saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Walaupun semua orang punya bibir, namun tidak semua dari mereka mampu tersenyum. Apalagi menebar senyuman yang tulus. Mengapa? Karena senyum bukan hanya menyangkut urusan bibir. Tetapi yang utama adalah ingin tidaknya seseorang membagi rasa senang dan gembira kepada orang lain. Sebab rasa senang dan gembira tentunya diiringi senyuman yang tulus. Maka senyum yang tulus dikatakan "sesuatu" yang menyenangkan dan membuat hari-hari kita menjadi lebih indah.

Saking "sesuatu"nya, para wakil rakyat di Kota Antah Berantah merekomendasikan soal senyuman kepada wali kota setempat. Satu dari empat belas catatan menjadi "pekerjaan rumah" (PR) yaitu, petugas kesehatan di rumah sakit maupun puskesmas "wajib" memberikan pelayanan dengan ramah dan senyum. Rekomendasi ini dilakukan setelah mendengar laporan keterangan pertanggungjawaban wali kota tahun 2014, beberapa hari lalu.

La Oegi pun membatin. Mengapa wakil rakyat begitu serius memberikan "PR" untuk hal yang dianggap sepele ini? Apakah para petugas kesehatan di puskesmas atau rumah sakit sudah tidak punya bibir lagi, sehingga sulit tersenyum? "Meskipun sesimpul senyuman dari petugas kesehatan merupakan hal sepele, tetapi manfaatnya sangat besar dan dapat menjadi terapi bagi kesembuhan pasien," ungkap La Oegi.

La Oegi juga menilai, sikap acuh tak acuh terhadap pasien, seolah-olah sudah menjadi budaya sebagian petugas kesehatan. Hal yang sering terjadi di depan mata, terkadang pasien ditolak karena masalah administrasi yang kurang lengkap. "Hal seperti ini tidak jadi persoalan. Tetapi ketika menolak pasien pun dianjurkan memberikan penjelasan yang ramah disertai senyuman," usul La Oegi.

La Oegi seolah juga merasakan, bahwa penyakit pasien serasa berkurang ketika disambut senyuman dan sapaan lembut oleh petugas kesehatan. Dia mewanti-wanti, bahwa petugas kesehatan itu merupakan ujung tombak rumah sakit, harus mampu memberikan pelayanan prima yang tulus dalam hal sekecil apapun, termasuk senyuman itu tadi.

Bak gayung bersambut, Wali Kota Antah Berantah pun menanggapi serius rekomendasi itu. Dikatakan, kewajiban petugas kesehatan bersikap ramah dan senyum kepada pasien menjadi "PR" yang harus disikapi. Ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah kota dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Menurutnya, pihaknya segera melakukan pembenahan. Mulai pelayanan kesehatan, pendidikan, dan peneranagan jalan umum akan menjadi perhatian khusus.

Terkait hal di atas, La Oegi mengajak siapa saja, di mana saja, dan kapan saja untuk melatih diri memberikan senyuman yang tulus kepada orang lain. "Tetapi hindari tersenyum-senyum sendiri, nanti malah disangka kurang waras," katanya sambil mesem-mesem. Dia juga mengajak menghadapi perjalanan hidup ini dengan senyuman yang tulus, karena senyuman itu sangat bermanfaat dan tidak mahal harganya. (**)

25 Mei 2015

Beras Bodong dan Pelanggan Liar


Oleh: Syahrir Hakim

Nama lengkapnya Siara, atau lebih dikenal Indo Sia. Bukan siapa-siapa, hanya seorang penjual nasi kuning. Tak punya tempat jualan tetap. Perempuan tua itu setiap hari berkeliling di pasar menawarkan jualannya. Dari pagi buta hingga siang hari baru kembali ke rumah. Jualannya kadang habis, terkadang pula tersisa.

Mendengar adanya temuan beras plastik, Indo Sia sempat dihinggapi perasaan cemas. Khawatir, jika beras yang dibelinya ternyata beras bodong alias palsu. Siang itu, sebelum kembali ke rumahnya, Indo Sia singgah di penjual beras langganannya, dengan teliti dia memeriksa beras yang dipajang dalam karung terbuka. Meskipun penglihatannya mulai berkurang, dia menatap tajam beras dalam genggamannya.

Beras plastik menjadi perbincangan terhangat sepekan terakhir ini. Informasi yang disajikan media cetak maupun elektronik begitu cepat menembus kehidupan masyarakat. Gelisah dan khawatir menghantui para ibu-ibu rumah tangga. Betapa tidak, Indo Sia maupun ibu rumah tangga lainnya khawatir salah pilih membeli beras.

Namun, kekhawatiran sebagian masyarakat berangsur-angsur pulih setelah mendengar pejabat turun tangan. Sejumlah pejabat terkait pergadangan beras di Kota Antah Berantah turun memantau beras yang dijual di pasar. Hasil pantauannya dikatakan, tidak menemukan beras jenis sintetis itu. Lebih yakin lagi, adanya pernyataan pejabat pengadaan pangan, yang menjamin jika di daerah ini tidak ditemukan beras bodong.

Meskipun belum terdeteksi kemungkinan masuknya beras palsu itu, Namun, La Oegi berharap, agar tetap waspada. Sebab barang bodong terkadang masuk lewat jalur ilegal. "Pemerintah harus melakukan langkah antisipasi dan pengawasan, sehingga terhindar dari bahan pangan yang membahayakan kesehatan itu," kata La Oegi.

Serupa tapi tak sama. Kalau di pasar ditemukan beras bodong, maka di tubuh perusahaan daerah air minum (PDAM) lain lagi. Diketahui adanya sejumlah pelanggan bodong alias pelanggan liar. Dianggap liar karena tidak terdaftar secara administratif sebagai pemakai air yang resmi. Akibatnya, perusahaan itu menanggung kerugian ratusan juta rupiah setiap bulan. Alamaaak.....!

Salah satu penyebab munculnya pelanggan liar itu, ditengarai kurang profesionalnya penanganan perusahaan. Konon perusahaan itu kini dirundung setumpuk masalah. La Oegi menyebutkan PDAM itu, bagai anak ayam kehilangan induk. Dalam sejarahnya, perusahaan ini seringkali dipimpin pelaksana tugas. Dalam setahun terakhir, perusahaan itu belum juga memiliki direktur utama yang definitif.

Mengapa? La Oegi yang sok tahu mengatakan, jika bicara direktur utama definitif, itu adalah hasil kerja dewan pengawas (Dewas). Dewas lah yang melakukan seleksi terhadap calon-calon yang dapat diusulkan menjadi direktur utama. "Nah sekarang, Dewas saja belum diketahui juntrungannya, koq sudah menanyakan direktur utama definitif, kan lucu!" ujar La Oegi sembari tersenyum.

Sebentar lagi musim kemarau membawa kegerahan. Apakah nasib ribuan pelanggan resmi PDAM akan seperti tahun-tahun sebelumnya? Kembali berteriak "kekeringan" dan "kehausan" karena pasokan air yang menipis atau malah terhenti sama sekali? "Hahaha, alasan menipisnya air baku di Sungai Karajae, tidak bisa lagi dijadikan jawaban seperti tahun-tahun sebelumnya. Hhanya Dewas dan direktur utama definitif lah yang dapat menjawab sekaligus memberikan solusi," papar La Oegi. (**)

17 Mei 2015

Pengemis "Dipelihara" Negara


Oleh: Syahrir Hakim


Begitu mudahnya dijumpai para pengemis di Kota Antah Berantah dengan bermacam sebutan. Di antaranya ada yang disebut gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jumlah mereka cenderung bertambah dari waktu ke waktu, apalagi pada saat bulan puasa dan lebaran tiba.

Pengemis mengulurkan tangannya menggunakan kaleng kecil, topi atau telapak tangan sendiri. Mereka meminta, kadang disertai pesan seperti, "Tolonglah, saya belum makan seharian". Atau kata-kata yang mengundang rasa iba, sehingga kita ikhlas memberi sesuatu kepadanya. Pengemis yang fisiknya kurang sempurna, biasanya hanya duduk bersila menunggu pemberian orang-orang yag lewat di depannya.

Hampir semua tempat strategis "didiami" pengemis. Perempatan lampu merah, teras toko-toko swalayan, pasar-pasar maupun yang sengaja mendatangi rumah warga, dari pintu ke pintu rumah lainnya. Mereka butuh uluran tangan. Mereka mencari sesuap nasi, entah untuk menghidupi dirinya atau keluarganya.

Ironisnya para pengemis di tempat-tempat umum, akan menimbulkan masalah sosial di tengah kehidupan perkotaan. Kondisi seperti ini akan sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, kebersihan serta keindahan kota.

Meski demikian, kepedulian semua pihak sangat diharapkan. Seperti besarnya perhatian para perumus UUD 1945 terhadap ketimpangan ekonomi. Sampai-sampai nasib orang-orang seperti ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan, sehingga negara harus memberikan perhatian khusus untuk melakukan pemeliharaan terhadap mereka.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijumpai kata “pelihara” memiliki kemiripan arti dengan kata “jaga” dan “rawat”. Kata “dipelihara“ pada ayat tersebut harus dimaknai “dirawat, dilindungi, dan diberdayakan, sehingga mereka tidak lagi fakir, miskin, dan terlantar”. Jika salah dalam memaknai kata "pelihara" untuk fakir miskin, maka jelas jumlahnya akan terus mengalami pertambahan. Kondisi mereka tetap fakir, miskin, dan terlantar. Mereka pun harus tetap eksis karena memang “dipelihara” oleh negara.

La Oegi tak banyak komentar soal ini. Dia hanya mengingatkan pengelola zakat yang setiap tahun mengumpulkan kewajiban dari kaum muslimin. Berdasarkan perintah dalam Alquran, salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat adalah fakir miskin.

La Oegi berharap peran pemerintah dalam upaya pemberdayaan para fakir miskin. Dari dana zakat, mereka diberi pinjaman untuk modal usaha secara bergulir. Mereka diharuskan mempertanggungjawabkan penggunaan modal kerja itu dengan cara mengembalikan secara angsuran. "Jadi jelas, dana zakat tak boleh macet di tangan para pengelolanya. Harus segera tersalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya," hanya itu kata La Oegi. (**)

10 Mei 2015

Harmonisasi Ala Habibie


Oleh Syahrir Hakim

Insya Allah, hari ini Senin, 11 Mei 201, Presiden ke 3 RI Prof DR (HC) Ing Dr Sc Mult Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih dikenal BJ Habibie kembali menginjakkan kaki di kota kelahirannya, Parepare. Sejumlah kegiatan akan menyita waktu bagi seorang warga kehormatan kota ini. Salah satunya yang sudah "menunggu" beliau, monumen Cinta Sejati Habibie-Ainun untuk diresmikan dan peletakan batu pertama Balai Habibie-Ainun.

Patung yang terbuat dari perunggu setinggi kurang lebih 4 meter itu, merupakan simbol cinta dan kesetiaan Habibie terhadap istrinya, Ainun. Gambaran kecintaan kepada istrinya dapat dilihat pada ungkapan hati Habibie. Ungkapan itu dituliskan pada acara peletakan batu pertama patung Cinta Sejati Habibie-Ainun di Lapangan Andi Makkasau, Kamis, 28 Agustus tahun lalu. Habibie menulis begini, "Tak perlu seseorang sempurna, cukup menemukan seseorang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu berarti lebih dari siapapun”.

Pak Habibie dan Ibu Ainun, berhasil membuktikan kepada dunia bahwa cinta sejati itu tak pernah luntur. Dalam sebuah website di internet saya temukan pesan Habibie bahwa, "Cinta sejati itu tak pernah berakhir. Cinta sejati itu tetap mempesona karena cinta sejati itu tidak akan sirna oleh hancurnya raga, dan cinta sejati itu memberi semangat hidup". Bukti cinta sejati Habibie-Ainun itu ditancapkan dalam bentuk sebuah momunen.

Patung Cinta Sejati ini merupakan bangunan monumental yang akan bercerita tentang kisah cinta Habibie-Ainun pada generasi mendatang. Monumen itu merupakan simbol harmonisasi keabadian cinta dan kasih bagi generasi mendatang. Semoga keberadaan monumen ini dapat menjadi inspirator harmonisasi bagi semua kalangan. Hingga tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, tertib, dan damai di tengah–tengah masyarakat.

Harmonisasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), adalah upaya mencari keserasian antara irama dan gerak. Harmonisasi jika diterjemahkan lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya ditujukan bagi pasangan hidup. Tetapi lebih meluas di lingkungan masyarakat, di dalam lingkungan tempat kerja, bahkan di dalam pemerintahan pun keharmonisan harus tetap terpelihara dengan baik.

Saat menyaksikan pemasangan patung di salah satu sudut lapangan Andi Makkasau, La Oegi tak henti-hentinya ngoceh soal harmonisasi. Baik harmonisasi dalam rumah tangga maupun dalam pemerintahan. "Keharmonisan dalam pemerintahan akan sangat mempengaruhi kinerja dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Keharmonisan merupakan ciri-ciri pemerintahan yang fokus memikirkan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan memikirkan kelompok masing-masing," begitu La Oegi ngoceh dengan orang-orang di sekitarnya.

Meskipun sempat ngoceh, tetapi La Oegi memuji kinerja aparatur pemerintah di kotanya. Dia mencontohkan kedua pejabat pengambil kebijakan, satu ahli di bidang hukum dan yang satu lagi ahli di bidang pemerintahan. Menurut penilaian La Oegi, keduanya saling memupuk kekompakan dalam memutar roda pemerintahan dengan elok.

Bak sebuah pertunjukan orkestra, keserasian antara irama dan gerak akan menghasilkan simponi yang indah. Buah-buah pikiran dari visi misi keduanya menghasilkan karya yang dapat dirasakan masyarakat. Meski tak dapat disangkal, munculnya riak-riak mirip air laut Teluk Pare. Namun, tidak membuat oleng sebuah kapal, hingga sandar di dermaga pelabuhan Nusantara Parepare.

La Oegi pun menyambut keberadaan monumen Cinta Sejati Habibie-Ainun yang ditata rapi di salah satu sudut alun-alun Andi Makkasau, Parepare. Sangatlah tepat, untuk mengingatkan kita maupun generasi mendatang akan arti dan nilai-nilai sebuah harmonisasi, kapan dan di mana pun kita berada.

Meski berstatus rakyat jelata, La Oegi tetap mengingatkan semua kalangan agar monumen ini dipelihara dengan baik. Tidak seperti nasib monumen Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel di depan Masjid Raya, Parepare yang kini "dihuni" pedagang kaki lima. "Jika harmonisasi sudah sirna ditelan konsepsi individu dan nasib monumen Korban 40.000 Jiwa tidak mendapatkan kepedulian, apa kata dunia!" ujar La Oegi sambil berlalu di tengah keramaian. (**)

3 Mei 2015

Peduli


Oleh: Syahrir Hakim

Gila. Kata ini sering dipasangkan dengan kata benda atau kata kerja. Seperti gila bola, gila hormat, gila harta, gila wanita, dan gila yang lain-lain. Celoteh La Oegi kali ini bukan gila dalam tanda petik, tetapi gila betulan. Gila dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah.

Hampir setiap jalan di Kota Antah Berantah "dihuni" orang seperti ini. Seolah-olah mereka itu punya lahan masing-masing untuk melakonkan ke-gila-annya. Di poros jalan protokol setiap hari kita menyaksikan tingkah laku mereka yang bermacam-macam. Ada yang mengundang rasa geli, prihatin, dan ada pula ulah orang gila yang membuat orang menjadi kesal. Keberadaan orang yang mengidap penyakit jiwa itu butuh perhatian serius, sehingga tidak mengusik program pemerintah kota di bidang kebersihan, keindahan, maupun kesehatan.

Di sepanjang jalan protokol sejumlah orang gila yang setiap hari "aktif". Berpakaian kaos oblong lusuh memegang potongan dos bekas yang dikipas-kipaskan entah apa maksudnya. Tak jauh dari tempat itu, di jalan yang sama, sekitar 300 meter juga dihuni seorang gila. Yang satu ini tampaknya agak parah. Wajahnya selalu ditutupi baju kaos oblong kumal, celananya dibiarkan melorot, hingga (maaf, pen) alat vitalnya nongol sebagian. "Pemandangan" seperti ini membuat orang yang tak sengaja memandangnya langsung buang muka.

Saat ini diperkirakan puluhan orang gila yang "menghuni" jalan-jalan dalam Kota Antah Berantah. Orang mengidap penyakit gangguan jiwa ini semakin banyak. Bermunculannya orang-orang gila wajah baru ini, diduga warga daerah lain yang sengaja "dibuang" ke kota ini. Melihat fakta di atas sering timbul dalam benak kita. Orang gila itu menjadi tanggung jawab siapa ya? Pemerintah kota dalam hal ini Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan?

Sudah seringkali kita membaca polemik di media. Masalah yang satu ini. Saling lempar tanggung jawab antara instansi yang satu dengan yang lainnya. Petugas Satpol PP kadang sudah membantu menangkap orang gila. Meski katanya menangkap orang gila itu tidaklah mudah, ada di antara mereka yang galak dan melawan. Tapi tugas tetap dilaksanakan.

Tiba di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan menolak. Tak tahu alasannya. Dinas Sosial lah yang ditunjuk punya wewenang. Di sini pun kaum tak waras ini tak mendapat tempat. Alasannya, Dinas Sosial tidak mengurusi orang gila, hanya orang terlantar. Lalu, apakah pernah terbetik di dalam hati sebuah kepedulian terhadap fakta di depan mata kita?

Masalah inikan adalah masalah sosial, sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Sayangnya, sampai saat ini belum ada koordinasi dan pembagian peran untuk penanganan orang gila. Mengapa? La Oegi yang ditanya hanya angkat bahu. "Mana saya tahu," ujarnya mengelak.

Meski belum tahu solusinya, tetapi La Oegi yang sok tahu, ikut berkomentar. Menurutnya, penanganan orang gila di kotanya tidak perlu terlalu jauh dipermasalahkan. Kota ini kan punya tagline PEDULI. Dikutip dari wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Peduli adalah suatu tindakan yang didasari pada keprihatinan terhadap masalah orang lain. "Kepedulian seharusnya lebih dikedepankan daripada hanya saling lempar tanggung jawab," usul La Oegi.

La Oegi pun mewanti-wanti agar pemerintah setempat hendaknya memberikan perhatian khusus masalah orang gila ini. Inilah tantangan bagi pemerintah Kota Antah Berantah menerapkan kepedulian terhadap persoalan seperti ini. Toch orang gila juga adalah manusia yang patut dimanusiakan. "Saya khawatir nanti jika hal ini menjadi pembiaran orang gila di Kota Sehat kian bertambah, maka kesuksesan program Kota Sehat akan tetap dihuni sejumlah orang yang sakit jiwa," kata La Oegi. (**)