8 Feb 2016

Monyet dan Kacang


Oleh Syahrir Hakim

Sebuah anekdot sering muncul dalam suasana hari raya. Seorang akung (sebutan kakek warga Tionghoa) dibuat kesal atas ulah oknum. Setiap hari raya, akung jadi bulan-bulanan oknum yang minta angpao. Maksudnya angpao berisi duit.

Saking seringnya datang, akung kadang ngomong sendiri dengan dialeknya yang totok, "Oe pucing lihat olang ini. Lebalan datang, natal datang, tahun baru datang yuga, eeeeeh........., imlek datang laaagi".

Akung duduk di bangku bulat mengenakan kaos singlet swan brand. Dipadukan celana piyama garis-garis. Tangan kanannya menggerak-gerakkan kipas sate, sambil ngomel, "Dikacih lokok, minta luit. Dikacih luit, wadduh lokok diembat yuga. Eeeeeh....., pulang minta ongkoc lagi. Hayyaaa......, benel-benel tak abic pikil, lu olang punya agama apa yaaa?" kesal akung mengetuk-ngetuk jidatnya dengan telapak tangan kanan.

Hayyaaa......., sekadar anekdot. Sudahlah, kita tinggalkan si akung. Kemarin warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek 2567. Di negeri La Oegi, Antah Berantah penyambutan tahun baru Imlek dilakukan secara sederhana. Meski sederhana, namun kebersamaan menjadi perekat sebagai warga negara Indonesia. Serekat kue bakul dan dodol Cina. Kue khas Imlek.

Menurut keyakinan Tionghoa, tahun baru Imlek 2567 melambangkan Monyet Api. La Oegi berharap, semoga di tahun ini kita mampu melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan segenap umat manusia di negeri ini. Sehubungan tahun monyet, La Oegi memaparkan kisah tentang monyet dan pemburu. Dalam kisah itu, pemburu punya cara unik menangkap monyet di hutan. Teknik itu dilakukan agar monyet bisa ditangkap dalam kondisi hidup tanpa cedera sedikitpun. Caranya sederhana.

Pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang diberi aroma khusus. Kemudian ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples tanpa tutup. Ketika mencium aroma itu, monyet akan berlomba mendekati toples-toples itu. Lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang dalam toples.

Tapi karena menggenggam kacang, monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang di tangannya, selama itu pula monyet terjebak. Toples itupun terlalu berat untuk diangkat. Dengan mudahnya para pemburu menangkap monyet-monyet itu.

Mungkin kita akan tertawa jika melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa disadari, sebenarnya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Kenapa? Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita menggenggam erat setiap permasalahan yang dimiliki, layaknya monyet menggenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Seiring tahun baru Imlek 2567 bagi warga Tionghoa, La Oegi mengepalkan tangan kanan, tangan kiri menutupi tangan kanan. Kedua ibu jari menghadap ke atas dan kepalan tangan diletakkan sejajar dengan dada. Kemudian mengucapkan Gong xi fa cai atau selamat sukses, semoga sejahtera. "Permisi, numpang lewat," kata La Oegi sambil berlalu. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM di Harian PARE POS hal 4 (Metro Pare) edisi Selasa, 9-02-16.

1 Feb 2016

Lupa Ingatan


Oleh Syahrir Hakim

La Oegi tidak akan menyanyikan sebuah lagu dari Band Kotak seperti judul di atas 'Lupa Ingatan'. Hanya mengingatkan kembali, bahwa puluhan ribu lembar kartu sejenis 'kartu sakti' yang pernah dibagikan ke masyarakat, kini 'menganggur'. Ternyata tidak berlaku. Kenapa? Entahlah, La Oegi juga tidak tahu penyebabnya.

Kartu tersebut dimunculkan jelang pemilihan wali negeri (Pilwari) Antah Berantah, beberapa waktu lalu. Sejatinya, 'kartu sakti' adalah sebuah harapan baru. Harapan bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Bisa menyekolahkan anak dan bisa menikmati hidup layak. Itulah kira-kira manfaat sebuah 'kartu sakti'.

Saat pengumpulan massa, seorang tim sukses menjelaskan, “Ini salah satu bukti konkret dari kami. Terkait program gratis pro rakyat yang sangat menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Kartu ini, adalah kontrak politik pasangan calon penguasa negeri yang bisa ditagih langsung oleh masyarakat, jika nanti terpilih menjadi penguasa negeri," kata tim sukses itu meyakinkan.

Tergiur manfaatnya, puluhan ribuan warga menerima pemberian itu. Namun, hingga kini tak diketahui nasib kartu tersebut. Beberapa sohib La Oegi sebagai pemegang kartu, hanya saling lempar pertanyaan. Baik berupa status di media sosial, maupun obrolan di warung kopi. Meskipun keluhan itu sudah sampai di kuping para tim sukses wali negeri, tak kunjung ada penjelasan selanjutnya.

Memang diakui, jika selama ini kepemimpinan wali negeri itu tak diragukan lagi. Banyak menorehkan terobosan. Tangan dinginnya mampu memoles negerinya. Membangun dan mempercantik di sana-sini. Namun, kabar 'kartu sakti' seolah-seolah tertimbun oleh inovasi dalam membangun negerinya. 'Kartu sakti' sudah terlupakan.

Kata La Oegi, kita semua pernah merasakan lupa. Itu lumrah saja selama frekuensinya tidak sering terjadi. Tapi jangan sampai kebiasaan lupa ini menjadi semakin sering. Apalagi jika lupa janji yang pernah diucapkan di hadapan rakyat. "Waah, ini namanya T-E-R-L-A-L-U," kata seorang sohib La Oegi.

Penasaran. Lagi-lagi bukan judul lagu dangdutnya Rhoma Irama. Tetapi itulah yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Sampai-sampai wakil wali negeri pun kewalahan menjawab pertanyaan melalui SMS. "Mau jawab apa? Saya saja yang ada foto di kartu itu, juga tidak tahu untuk apa," jawab sekenanya kepada penanya.

Seiring berjalannya waktu, La Oegi berharap semoga pemimpin negerinya tidak termasuk dalam golongan kalimat canda ini. Apa itu? "Sebelum jadi, suka mengobral janji. Setelah jadi, malah lupa ingatan," begitu bunyi kalimatnya.

La Oegi pun mencatat sebuah kalimat bijak. Hidup dan mati dikuasai oleh lidah. Siapa yang suka menggemakan, akan memakan buahnya. Berdasarkan ucapan kita, kita akan dibenarkan atau disalahkan. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat..... (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pagi PARE POS edisi, Senin, 1 Februari 2016 Kolom "Numpang Lewat" halaman 4 (Metro Pare)