28 Okt 2014

Menagih Janji


oleh: Syahrir Hakim

Pagi itu, saya memilih sarapan pallubasa di warung pinggir jalan. Sambil menunggu pesanan, saya sempat baca koran. Layanan publik. Di halaman ini, setiap hari memuat keluhan, saran, dan kritik dari masyarakat. Soal pelayanan dan fasilitas umum. Seolah-olah mereka berteriak, berharap keluhannya didengar dan segera diberi solusi. "Pemerintah, dengarkanlah keluhan rakyatmu!"

Pemerintah pun setiap hari bergelut dengan setumpuk masalah. Namun, setiap hari pula muncul persoalan baru, menambah pekerjaan yang belum terselesaikan. Kita patut mengangkat jempol kanan. Menyatakan salut kepada pemerintah yang tetap peduli terhadap rakyatnya.

Sambil menikmati sarapan, saya membatin. Mengapa sikap kegotongroyongan masyarakat terkesan mulai pudar? Salah satu contoh. Keluhan warga soal selokan mampet di depan rumahnya. Lantas meminta instansi terkait segera mengatasi selokan mampet itu.

Mengapa harus menunggu instansi terkait? Mengapa tidak mengambil saja sekop atau kayu, kemudian mengais-ngais sampah yang membuat selokan itu mampet. Lantas timbul pertanyaan lain. Mengapa masyarakat demikian mudahnya mengalihkan permasalahannya kepada pemerintah? Mengapa masyarakat terkesan kian hari semakin rewel dan manja?

Belum sempat menemukan jawaban mengapa dan mengapanya, mata saya tertuju ke sebuah spanduk. Spanduk yang sengaja dipasang penjual pallubasa sebagai tirai penutup agar pengunjungnya tidak tembus pandang. Spanduk bekas kampanye pilkada itu, berisi janji-janji gratis dan berbagai kemudahan.

Ah, ternyata masyarakat tak akan pernah melupakan janji-janji dari pemimpin yang dipilihnya. Seolah janji-janji itu tak akan hilang dari memori mereka. Ketika tidak dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, serba mudah, dan gratis. Maka keluhan mereka pun bermunculan di media sebagai ungkapan menagih janji. (**)

19 Okt 2014

"Sakitnya Tuh di Sini......."


oleh Syahrir Hakim

Siang itu, La Oegi sedang menikmati kopi di sebuah warkop. Wajahnya kelihatan pucat. Keringat dingin membasahi lehernya. Matanya sayu menatap kosong ke depan. Usut punya usut, ternyata teman saya ini, lagi kurang enak badan. Baru saja menerima perlakuan kurang menyenangkan dari istrinya. Masih beruntung tidak ada barang yang "terbang" saat itu.

Meski La Oegi sabar menghadapi istrinya yang tempramental, tetapi ia meradang juga. "Sakit hati juga rasanya," bisik La Oegi kepada saya sembari menepuk-nepuk telapak tangan kanan ke dadanya. Mirip video klip Cita Citata atau Audia Marissa ketika menyanyi. Mendendangkan lagu "Sakitnya Tuh Disini" yang lagi populer di kalangan kaula muda saat ini.

La Oegi menyeruput sedikit demi sedikit kopinya lalu mengisap dalam-dalam rokok kreteknya. Lalu dia menceritakan awal "petaka" itu. Setelah sarapan pagi, istrinya menyuruh bergegas menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Andi Makkasau. Tentunya membawa urusan penyakit.

Ingin cepat-cepat mendapatkan pelayanan, tetap saja diadang antrean di loket pendaftaran maupun loket pengambilan jaminan. Setelah diperiksa dan berkonsultasi dokter, La Oegi pun menuju loket pengambilan obat.

Puluhan pasien lainnya sudah menunggu di depan loket tersebut. Nyaris tidak ada tempat duduk tersisa. Sebagian ngobrol dengan teman duduknya. Ada yang tersenyum dan tertawa. Tapi tidak sedikit menampakkan wajah yang kurang bersahabat. Mereka mengoceh, tak sabar menunggu. Termasuk La Oegi.

Sang mentari makin menanjak makin terasa panasnya. Keterlambatan kerja petugas farmasi jadi tema ocehan pasien. Pasien mengganggap cara kerja petugas di loket pembagian obat itu terlalu lambat. Meski mendengar ocehan itu, merekatetap tenang dan penuh ketelitian membagikan obat sesuai resep dokter.

Kembali ke masalah La Oegi. Lambatnya tiba di rumah lantaran antrean di loket obat begitu lama. Sang istri pun protes, terlambat diantar belanja, hingga terlambat memasak. Akibatnya terlambat pula makan siang. "Mudah-mudahan keterlambatan semua ini, tidak menjadi penyakit baru," begitu doa La Oegi setelah makan siang. (*)