30 Nov 2014

Menyusuri Pinggang Pegunungan Sulbar


Catatan Perjalanan ke Bumi Manakarra

Oleh Syahrir Hakim

Bersama sejumlah direksi Media Fajar Grup, saya turut menghadiri grand opening
Foto bersama Andi Riri, istri Naskah Nabhan Dirut Radar Sulbar
Graha Pena Mamuju, Sabtu malam, pekan lalu. Kantor pusat aktivitas penerbitan Harian Radar Sulbar di Bumi Manakarra, Sulawesi Barat.

Tiga hari sebelum berangkat, Direktur Utama PARE POS Faisal Palapa menyampaikan, jika ada undangan untuk menghadiri peresmian Graha Pena Mamuju. "Undangan khusus" Direktur Utama Radar Sulbar Naskah Nabhan itu, dalam kapasitas saya sebagai Redaktur Pelaksana pertama Harian Radar Sulbar.

Awalnya, rasa khawatir sempat menghantui diri saya. Khawatir mabuk dalam perjalanan menuju Kabupaten Mamuju. Maklum, saya sering mendengar kalau kata Mamuju itu merupakan singkatan dari MAju MUndur JUrang. Wow, ngeri juga mendengarnya.

Demikian pula cerita tentang perjalanan darat yang mengasyikkan, namun memabukkan. Tidak kuat mengikuti irama kendaraan yang menyusuri jalan berkelok-kelok. "Kampung tengah" alias perut akan terguncang, kepala pening disertai rasa mual, keringat dingin mengucur, akhirnya isi perut pun muncrat.

Setelah bus pariwisata milik Fajar Transpor yang saya tumpangi bersama 17 penumpang lainnya melaju, rasa khawatir saya berangsur-angsur hilang. Betapa tidak! Sepanjang perjalanan para direksi mengeluarkan jurus-jurus humor. Mengundang gelak tawa penumpang. Apa saja yang dilihat dalam perjalanan, jadi tema banyolan.

Saya ikut larut dalam suasana yang lucu.Sebelum memasuki kota Mamuju, terlebih dahulu melintasi area perbukitan dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Menyusuri pinggang pegunungan Sulbar sepanjang kurang lebih 30 km menapaki jalan beraspal mulus. Tanjakan dan turunan bagaikan ular cobra meliuk-liuk mendengar irama suling India. Saya sempat berdecak kagum ketika menengok ke sebelah kiri, memandang keindahan panorama alam laut yang sangat eksotis.

Acara grand opening Graha Pena Mamuju di Jalan Jend Sudirman malam itu, berlangsung meriah. Dihadiri Chaiman Fajar Group HM Alwi Hamu bersama sejumlah direksinya. Sementara dari Pemprov Sulbar terlihat hadir Wagub Aladin S Mengga dan unsur muspida serta Bupati Mamuju Suhardi Duka beserta staf.

Dalam kesempatan itu Chaiman Fajar Group HM Alwi Hamu berharap kepada pemerintah setempat, agar dapat bersinergi dengan media yang ada di daerah tersebut. Sebab, dengan adanya sinergi, komunikasi akan terjalin dengan baik, sehingga masyarakat setempat dapat mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintahnya melalui media.

Berpose sejenak di Lepa-lepa Coffee Shop Hotel D'Maleo, Mamuju, Sulbar
Wagub Sulbar Aladin S Mengga dalam kesempatan itu, menyatakan dukungan terhadap upaya yang dilakukan Media Fajar Group di daerahnya. Selain itu, dia juga memuji keuletan Alwi Hamu dalam pengembangan koran yang bergabung dalam payung Media Fajar Group.

Malam itu, Ika KDI turut menghibur hadirin dengan beberapa buah lagu. Usai acara, kami kembali ke Hotel d'Maleo istirahat. Esok pagi sebelum meninggalkan Bumi Manakarra, rombongan memenuhi undangan Bupati Mamuju di Rujab Bupati yang dinamai Sapota.


Foreder; Disangka Ingin Merazia, Malah Mengawal
Dalam perjalanan ke Kota Mamuju, kami singgah menginap di Kabupaten Majene. Dari Kota Parepare ke "Kota Mammis" Majene yang berjarak 147 km itu, terasa sangat melelahkan tapi mengesankan.

Selain menghadiri grand opening Graha Pena Mamuju, petinggi Media Fajar Group juga punya jadwal kunjungan ke beberapa daerah di Sulbar. Rombongan mengawali perjalanan dari Kota Makassar. Tiba di Kota Parepare sebelum salat Jumat. Saya bersama Pemimpin Redaksi Harian PARE POS Akbar Hamdan menyatu dengan rombongan. Sedangkan Dirut PARE POS Faisal Palapa bergabung di kendaraan Komisaris Utama Media Fajar H Syamsu Nur. Sekitar pukul 14.00 Wita rombongan bertolak dari Restoran Asia, Parepare.

Banyak hal yang sempat terlihat dalam perjalanan, kadang menjadi bahan kelakar para penumpang. Di beberapa titik antara Kabupaten Pinrang dan Polman, beberapa polisi lalu lintas menggelar razia. Melihat bus kami dari kejauhan akan melintas, ada yang melongo. Ada pula polisi yang nekat ke tengah jalan ingin menyetop. Tetapi, ketika bus mendekat, dia malah menepi. Urung menyetop. "Na liat ki stiker FAJAR di kaca depan," kata seorang dalam bus seraya berteriak, Uuuuuuuuu........

Masih cerita tentang polisi lalu lintas di jalanan. Ketika memasuki batas Kota Majene, dari kejauhan tampak dua motor patroli polisi lalu lintas (foreder) diparkir di kiri-kanan jalan. Makin mendekat, kian kentara kedua polisi tersebut masuk ke badan jalan. Dia melambai-lambaikan tangan sebagai tanda menyetop kendaraan kami. "Wah, razia lagi," kata seorang penumpang.

Laju bus pun berangsur-angsur pelan setelah sopir menginjak rem. Seorang lelaki mendekati mobil lalu menunjuk ke arah motor patroli tersebut. Belakangan diketahui, jika lelaki tersebut wartawan Fajar di Majene yang sengaja menunggu. Maksudnya, bus yang kami tumpangi akan dikawal dua foreder memasuki Kota Majene.

Transit di Majene, menginap di Hotel Bogor
Dugaan kami keliru. Ternyata kedua polisi tersebut bukan merazia, tetapi menunggu kedatangan rombongan Media Fajar untuk dikawal dengan foreder (patroli pengawal) memasuki "Kota Mammis" Majene.
Rombongan pun diantar hingga di Hotel Bogor untuk beristirahat.

Jumat malam, rombongan menikmati jamuan santap malam di Rujab Bupati Majene. Kemudian dilanjutkan silaturahmi antara jajaran Pemkab Majene dengan para direksi Media Fajar Group di aula kantor bupati setempat. Dialog berlangsung dalam suasana santai penuh keakraban.

Malam itu, Bupati Majene H Kalma Katta didampingi Wakil Bupati Fahmi Massiara, Sekda Syamsiar Muchtar, Wakil Ketua DPRD Lukman. Sedangkan Dirut Fajar Holding H Syamsu Nur didampingi Dirut Radar Sulbar serta sejumlah direksi Media Gajar Group.

Kalma Katta dalam kesempatan itu menyatakan, daerah yang dipimpinnya merupakan satu dari enam kabupaten di wilayah Sulbar. Majene adalah kabupaten terkecil, namun yang tertua usianya dari lima kabupaten lainnya. Daerah ini digelar sebagai Kota Mammis, dalam bahasa Mandar artinya Manis. "Mammis juga adalah singkatan dari Majene membangun dan memberantas kemiskinan," kata bupati Majene.

Dirut Fajar Holding H Syamsu Nur menyatakan rasa terima kasihnya kepada Bupati Majene dan jajarannya, atas sambutan kunjungan para direksi Media Fajar Group di daerah ini. Dia berharap agar kerjasama selama ini semakin ditingkatkan. "Media dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, berupaya membantu pemerintah dengan mendorong masyarakat unuk membangun daerahnya," kata Syamsu Nur.

Dari Majene ke Mamuju, Ahad pagi rombongan kembali ke Makassar. Dalam Perjalanan ke Makassar, rombongan singgah di Rujab Bupati Polman. Bupati Ali Masdar menjamu makan siang. Usai foto bersama, perjalanan dilanjutkan ke Kota Parepare. Rombongan pun singgah di Barugae, Rujab Wali Kota Parepare. Setelah makan malam dan silaturahmi dengan Wali Kota H Taufan Pawe, rombongan Media Fajar Group melanjutkan perjalanan ke Makassar. (**)

25 Nov 2014

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula


Oleh Syahrir Hakim

Hujan sesekali menyiram bumi. Beberapa tempat mulai becek. Selokan pun dikeruk, antisipasi luapan air jika hujan deras. Limpahan rahmat berupa hujan yang sudah lama dinanti-nanti, datang juga. Herannya, dalam kondisi seperti ini, sebagian pelanggan PDAM masih mengeluh soal air.

Kran ledeng mereka kadang meneteskan air, kadang tidak. Nada protes bermunculan. Kata mereka, air di tempatnya sehari mengalir, seminggu ngadat. Tetapi mengapa di sekitar tempat tinggalnya, ada kran yang tak pernah berhenti mengalirkan air? Masalah!

Sejak kemarau melanda negeri ini, debit air Sungai Karajae sebagai sumber baku terus berkurang. Meski sudah ada hujan beberapa hari ini, belum membantu bertambahnya debit sumber air tersebut. Itulah sebabnya, masih ada pelanggan yang hampir tiga bulan ini masih menikmati hidup-matinya air PDAM.

Sebagian pelanggan memaklumi kondisi ini, termasuk La Oegi. Malah selama kemarau, dia seolah tidak peduli lagi. Mau air mengalir atau tidak. Untuk kebutuhan rumah tangganya, cukup memesan dengan sistem terima di tempat. Tujuh puluh ribu rupiah satu tandon berisi air satu kubik. "Gitu aja koq repot," kata La Oegi meminjam istilah almarhum Gusdur.

Selama kemarau panjang, banyak pelanggan yang merasa amat sangat dirugikan. Mengapa? Setiap malam mereka membuka kran ledeng. Berharap air akan mengalir di malam hari. Namun, hingga jelang pagi air tak kunjung menetes.

Menurut petinggi PDAM, jika kran terbuka, jarum meteran akan berputar terus, meski air tidak mengalir. Banyak di antara pelanggan yang kurang paham masalah ini. Membiarkan kran tetap terbuka. Akibatnya, tagihan melonjak. Masalah lagi!

La Oegi tak ambil pusing. Paham dan maklum masalah ini. Tapi, lain ceritanya jika posisi angka pemakaian air yang tertera dalam rekening jauh lebih tinggi daripada angka di meteran itu sendiri. Ini baru masalah yang kurang "dipahami" apalagi untuk "dimaklumi". Mengapa bisa demikian? Seolah-olah petugas pencatat kurang serius melaksanakan tugas, pelanggan kena imbas. Lagi-lagi masalah!

La Oegi tak ingin melakukan pembiaran penumpukan masalah. Kata dia, masalah yang menimpa pelanggan PDAM sudah bertubi-tubi. "Ibarat kata pepatah Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula," ujarnya sambil berlalu untuk menyelesaikan masalahnya di kantor PDAM. (**)

18 Nov 2014

Hendaklah Tahu Diri


Antrean di SPBU Ujung Bulu, Kota Parepare, jelang kenaikan harga BBM
Oleh Syahrir Hakim

Harga baru bahan bakar minyak (BBM) sudah ditetapkan. Pengunjuk rasa masih melanjutkan protes, terus-terusan demo. Meski La Oegi berharap agar menghindari tindakan anarkis. Sebab, nanti urusannya malah jadi panjang.

Seperti nasib mahasiswa dan awak media di Makassar beberapa hari lalu. Gara-gara ngotot berjuang mencegah pemerintah, agar tidak menaikkan harga BBM, akhirnya awak media pun kena pentungan polisi yang dibeli dari duit rakyat.

Seiring kenaikan harga BBM, sikap La Oegi, teman saya itu, rada aneh. Seluruh urat di raut wajahnya nampak jelas ketarik ke atas. Matanya melotot seperti mau lompat dari kelopaknya. Tegang! Bicaranya pun rada ngotot. Dia menyaksikan pemandangan yang kontras. Dia menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah tak percaya.

Senin malam itu, La Oegi terlibat dalam antrean di salah satu SPBU. Dengan penuh kesabaran dia rela berlama-lama antre. Walau kendaraan padat merayap, ngobrol dengan pengantre lainnya agak sedikit menghibur. Tapi, ketika menyaksikan beberapa mobil mewah juga ikutan antre di sela-sela mobil angkot, La Oegi mengernyitkan dahi.

La Oegi tak habis pikir. Mobil-mobil merek kondang itu jelas pemiliknya bukan orang sembarangan. Harganya pun pastilah ratusan juta rupiah. Sang pemilik tentu kaum berpunya yang menganggap ratusan ribu rupiah adalah recehan. Lantas antre untuk mendapatkan BBM bersubsidi?

"Nah, jika mobil begituan, yang tabung tangkinya maksimal hanya bisa diisi 100 liter BBM ikut antre, apa yang sesungguhnya terjadi? Mobil mewah itu hanya ingin cari keuntungan dari selisih harga? Kok tega-teganya, hanya memburu keuntungan segitu, mobil-mobil mewah itu berebut dengan mobil angkot dan motor ojek," La Oegi membatin.

La Oegi menilai, sikap pemilik mobil mewah itu berlebihan. Lantas dikatakan, apa pun yang berlebihan, biasanya malah jadi penyakit. Dia mencontohkan, nasi dan gula yang dimakan secara berlebihan, akan menyebabkan diabetes melitus. Santan dan daging yang dikonsumsi melampaui porsinya, bikin kolesterol melambung. Bisa menyebabkan stroke. Semua harus sesuai dengan takarannya. "Jika memang orang telah dikaruniai rezeki berlebih, hendaklah tahu diri. Jangan menyerobot jatahnya orang lain," ujar La Oegi sambil berlalu. (**)

10 Nov 2014

Semangat di Balik Usia Renta


Oleh: Syahrir Hakim

Perempuan itu, warga keturunan Tionghoa. Saya tidak tahu persis namanya. Guratan di raut wajahnya, menandai jika usianya sekitar 80-an tahun. Rambutnya pendek di atas bahu tak tersisir rapi. Langkahnya pun mulai tertatih-tatih. Seolah tak sanggup lagi menempuh rute yang setiap hari dijalaninya selama 30-an tahun.

Tangan kirinya menjinjing kantong kresek warna hitam berukuran besar. Entah apa sisinya. Lengan kanan mengepit wadah berisi bakpao. Setiap sore hingga malam menyusuri jalan menjajakan bakpao. Langganannya tidak terbatas kalangan etnis Tionghoa. Penganan ini sudah tak asing lagi bagi lidah masyarakat Parepare

Dia mengambil titipan bakpao dari salah satu warung di kawasan Jalan Sultan Hasanuddin. Dijajakan keliling hingga malam hari. Paling banter 30 biji, dijual Rp5.000 per biji. Jika terjual habis, perempuan itu membawa pulang Rp30.000 sebagai uang jasa penjualan. "Dulu saya bisa jual sampai 70 biji. Sekarang tidak kuat lagi jalan," tuturnya sambil mengurut-ngurut betisnya ketika saya temui menunggu ojek di sekitar patung Bau Massepe, Senggol, beberapa hari lalu.

Lain lagi lelaki gaek yang satu ini. Usianya yang kian senja, seolah tak mampu lagi menegakkan tubuhnya. Sambil membungkuk, seolah "memaksa" dirinya mendorong becak tak bertenda. Setiap hari menyusuri Jalan Agussalim memutar ke Jalan Bau Massepe hingga ke Cappa Galung. Memungut plastik bekas.

Mengais-ngais plastik di antara onggokan sampah. Melihat gelas dan botol plastik bekas di tempat sampah, mata tuanya berbinar. Becaknya jadi wadah benda-benda itu. Kemasan plastik bekas baginya bernilai rupiah. Berbagai jenis plastik bekas dijual ke pedagang pengumpul. Sekedar penyambung kelangsungan hidup bersama keluarganya.

Lelaki dan perempuan renta itu hanya potret segelintir kehidupan di seputar kita. Masih banyak manusia renta lainnya yang menjalani kehidupan dengan segala keterbatasannya. Setiap hari berjuang mengais rezeki agar dapurnya tetap berasap. Tak peduli hasilnya yang tidak seberapa, namun ia tetap syukuri rezeki halal itu.

Usia senja baginya bukan halangan mengais rezeki. Semangat dan kerja keras mengiringi kesehariannya. Bukan menadahkan telapak tangan menunggu belas kasihan orang lain. Apalagi mengambil sesuatu yang bukan haknya. Namun, mereka tidak pernah tahu bagaimana, agar nasibnya diperhatikan oleh pemerintah. Meski itu salah satu tanggung jawab pemerintah yang diamanatkan oleh undang-undang. (**)