3 Mei 2015

Peduli


Oleh: Syahrir Hakim

Gila. Kata ini sering dipasangkan dengan kata benda atau kata kerja. Seperti gila bola, gila hormat, gila harta, gila wanita, dan gila yang lain-lain. Celoteh La Oegi kali ini bukan gila dalam tanda petik, tetapi gila betulan. Gila dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah.

Hampir setiap jalan di Kota Antah Berantah "dihuni" orang seperti ini. Seolah-olah mereka itu punya lahan masing-masing untuk melakonkan ke-gila-annya. Di poros jalan protokol setiap hari kita menyaksikan tingkah laku mereka yang bermacam-macam. Ada yang mengundang rasa geli, prihatin, dan ada pula ulah orang gila yang membuat orang menjadi kesal. Keberadaan orang yang mengidap penyakit jiwa itu butuh perhatian serius, sehingga tidak mengusik program pemerintah kota di bidang kebersihan, keindahan, maupun kesehatan.

Di sepanjang jalan protokol sejumlah orang gila yang setiap hari "aktif". Berpakaian kaos oblong lusuh memegang potongan dos bekas yang dikipas-kipaskan entah apa maksudnya. Tak jauh dari tempat itu, di jalan yang sama, sekitar 300 meter juga dihuni seorang gila. Yang satu ini tampaknya agak parah. Wajahnya selalu ditutupi baju kaos oblong kumal, celananya dibiarkan melorot, hingga (maaf, pen) alat vitalnya nongol sebagian. "Pemandangan" seperti ini membuat orang yang tak sengaja memandangnya langsung buang muka.

Saat ini diperkirakan puluhan orang gila yang "menghuni" jalan-jalan dalam Kota Antah Berantah. Orang mengidap penyakit gangguan jiwa ini semakin banyak. Bermunculannya orang-orang gila wajah baru ini, diduga warga daerah lain yang sengaja "dibuang" ke kota ini. Melihat fakta di atas sering timbul dalam benak kita. Orang gila itu menjadi tanggung jawab siapa ya? Pemerintah kota dalam hal ini Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan?

Sudah seringkali kita membaca polemik di media. Masalah yang satu ini. Saling lempar tanggung jawab antara instansi yang satu dengan yang lainnya. Petugas Satpol PP kadang sudah membantu menangkap orang gila. Meski katanya menangkap orang gila itu tidaklah mudah, ada di antara mereka yang galak dan melawan. Tapi tugas tetap dilaksanakan.

Tiba di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan menolak. Tak tahu alasannya. Dinas Sosial lah yang ditunjuk punya wewenang. Di sini pun kaum tak waras ini tak mendapat tempat. Alasannya, Dinas Sosial tidak mengurusi orang gila, hanya orang terlantar. Lalu, apakah pernah terbetik di dalam hati sebuah kepedulian terhadap fakta di depan mata kita?

Masalah inikan adalah masalah sosial, sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Sayangnya, sampai saat ini belum ada koordinasi dan pembagian peran untuk penanganan orang gila. Mengapa? La Oegi yang ditanya hanya angkat bahu. "Mana saya tahu," ujarnya mengelak.

Meski belum tahu solusinya, tetapi La Oegi yang sok tahu, ikut berkomentar. Menurutnya, penanganan orang gila di kotanya tidak perlu terlalu jauh dipermasalahkan. Kota ini kan punya tagline PEDULI. Dikutip dari wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Peduli adalah suatu tindakan yang didasari pada keprihatinan terhadap masalah orang lain. "Kepedulian seharusnya lebih dikedepankan daripada hanya saling lempar tanggung jawab," usul La Oegi.

La Oegi pun mewanti-wanti agar pemerintah setempat hendaknya memberikan perhatian khusus masalah orang gila ini. Inilah tantangan bagi pemerintah Kota Antah Berantah menerapkan kepedulian terhadap persoalan seperti ini. Toch orang gila juga adalah manusia yang patut dimanusiakan. "Saya khawatir nanti jika hal ini menjadi pembiaran orang gila di Kota Sehat kian bertambah, maka kesuksesan program Kota Sehat akan tetap dihuni sejumlah orang yang sakit jiwa," kata La Oegi. (**)

0 komentar:

Posting Komentar