17 Mei 2015

Pengemis "Dipelihara" Negara


Oleh: Syahrir Hakim


Begitu mudahnya dijumpai para pengemis di Kota Antah Berantah dengan bermacam sebutan. Di antaranya ada yang disebut gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jumlah mereka cenderung bertambah dari waktu ke waktu, apalagi pada saat bulan puasa dan lebaran tiba.

Pengemis mengulurkan tangannya menggunakan kaleng kecil, topi atau telapak tangan sendiri. Mereka meminta, kadang disertai pesan seperti, "Tolonglah, saya belum makan seharian". Atau kata-kata yang mengundang rasa iba, sehingga kita ikhlas memberi sesuatu kepadanya. Pengemis yang fisiknya kurang sempurna, biasanya hanya duduk bersila menunggu pemberian orang-orang yag lewat di depannya.

Hampir semua tempat strategis "didiami" pengemis. Perempatan lampu merah, teras toko-toko swalayan, pasar-pasar maupun yang sengaja mendatangi rumah warga, dari pintu ke pintu rumah lainnya. Mereka butuh uluran tangan. Mereka mencari sesuap nasi, entah untuk menghidupi dirinya atau keluarganya.

Ironisnya para pengemis di tempat-tempat umum, akan menimbulkan masalah sosial di tengah kehidupan perkotaan. Kondisi seperti ini akan sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, kebersihan serta keindahan kota.

Meski demikian, kepedulian semua pihak sangat diharapkan. Seperti besarnya perhatian para perumus UUD 1945 terhadap ketimpangan ekonomi. Sampai-sampai nasib orang-orang seperti ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan, sehingga negara harus memberikan perhatian khusus untuk melakukan pemeliharaan terhadap mereka.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijumpai kata “pelihara” memiliki kemiripan arti dengan kata “jaga” dan “rawat”. Kata “dipelihara“ pada ayat tersebut harus dimaknai “dirawat, dilindungi, dan diberdayakan, sehingga mereka tidak lagi fakir, miskin, dan terlantar”. Jika salah dalam memaknai kata "pelihara" untuk fakir miskin, maka jelas jumlahnya akan terus mengalami pertambahan. Kondisi mereka tetap fakir, miskin, dan terlantar. Mereka pun harus tetap eksis karena memang “dipelihara” oleh negara.

La Oegi tak banyak komentar soal ini. Dia hanya mengingatkan pengelola zakat yang setiap tahun mengumpulkan kewajiban dari kaum muslimin. Berdasarkan perintah dalam Alquran, salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat adalah fakir miskin.

La Oegi berharap peran pemerintah dalam upaya pemberdayaan para fakir miskin. Dari dana zakat, mereka diberi pinjaman untuk modal usaha secara bergulir. Mereka diharuskan mempertanggungjawabkan penggunaan modal kerja itu dengan cara mengembalikan secara angsuran. "Jadi jelas, dana zakat tak boleh macet di tangan para pengelolanya. Harus segera tersalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya," hanya itu kata La Oegi. (**)

0 komentar:

Posting Komentar