28 Apr 2015

"Andai Saya Wali Kota"


Oleh Syahrir Hakim


Ini cuma sekadar obrolan warung kopi (warkop). Jika La Oegi disuruh memilih jabatan dalam pemerintahan, katanya lebih memilih staf ketimbang jadi pejabat. Kenapa? Menurutnya, jadi staf itu enak. Tak perlu banyak pikir, tinggal menunggu perintah atasan. Meski jam kerja, bisa main game atau nyelip keluyuran.

Percakapan antara La Oegi dengan temannya ini terjadi kemarin di salah satu warkop di Kota Antah Berantah. Hampir setiap hari mereka bertemu di tempat seperti ini. Mereka saling tukar menukar informasi teranyar. Dialog model apapun kerap terjadi tanpa alangan. Tidak ada sekat. Semua yang ngoceh merasa setara.

Omongan berlangsung begitu saja. Dari yang bermutu laiknya cendikiawan hingga yang sekadar tong kosong. Dari keluhan warga, soal parkir truk di Mattirotasi hingga penutupan jalan untuk pesta. Dari janji TV kabel gratis, naiknya tarif dasar air PDAM, hingga kian bertambahnya orang gila di kota ini.

Lebih hangat lagi, kabar Pasar UKM yang dianggap bermasalah, hingga tim pelaksana yang kebingungan. Demikian pula nasib 46 honorer K2 yang tak jelas, hingga jabatan kepala dinas yang lowong. Macam-macam isu mencuat. Tanggapan dari pernyataan pun sekenanya. Sebagai pendengar terkadang mengasyikkan jika dicermati.

Karena hanya omongan khas warkop, hendaklah dimaklumi. Jangan sekali-sekali menuntut setiap pernyataan harus memenuhi unsur ketepatan atau akurasi sebuah isu. Harus pula dipahami omongan di warkop, memang bukan dialog layaknya di sebuah mimbar akademik, yang ribet dengan aneka teori. Juga bukan pernyataan ala angggota dewan yang selalu bersumber dari akurasi data dan hasil reses.

Kenapa? Karena di warkop tak ada rambu-rambu yang mengatur lalu lintas pembicaraan. Longgar aturan. Bahkan, andaikan hanya omongan kosong belaka, siapapun tak bisa mencegah. Apalagi melarang. Karena itulah, kabar angin, kabar burung, info awal atau gosip tumbuh subur di tempat seperti ini.

La Oegi yang bukan pejabat publik, menjamin omongannya tidak akan membawa risiko apapun bagi dirinya. Kalau toh kelak ketahuan hanya omongan yang kosong, paling banter hanya dicemooh dengan guyonan pula. Komunikasi macam inilah membuat La Oegi merasa betah berlama-lama di warkop.

Dialog ala warkop hari itu, kian cetar membahenol. Topik omongan masih soal pegawai rendahan dan pejabat dalam pemerintahan di Kota Antah Berantah. Karena didesak, rada-radanya La Oegi berbalik arah. Tampak dari sikapnya yang berpura-pura protes ketika ditanya. "Seandainya saudara dipaksa jadi pejabat di pemerintahan, kira-kira jabatan apa yang kamu inginkan," tanya lawan bicaranya.

"Weeh, mana ada orang dipaksa jadi pejabat," protes La Oegi. Temannya pun tidak kehabisan akal, "Lha ini kan cuma andai, umpama, atau misalkan". La Oegi yang tidak pernah punya cita-cita menjadi pejabat, tentu saja kelabakan. Tidak punya jawaban. Tapi berhubung ini hanya dialog sekenanya, sehingga La Oegi menjawab sekenanya pula. "Ini kan seandainya pejabat, saya mau jadi Wali Kota Antah Berantah," ujarnya sambil senyum dikulum.

"Lantas apa yang pertama kali kamu lakukan," sergah temannya. Kata La Oegie, sebagai wali kota yang peduli, tentu yang pertama kali dilakukan, berupaya memenuhi keluhan masyarakat. Misalnya peduli terhadap nasib sejumlah honorer K2.

"Maksudnya, saya peduli terhadap mereka, agar bisa menjadi PNS. Tujuannya, untuk membantu saya menyelesaikan segala permasalahan di Kota Antah Berantah ini. Jika kota ini lebih maju, sudah barang tentu masyarakatnya pun sejahtera," jawab La Oegi sekenanya. "Kita sudah lama terlena dengan teori, sudah saatnya kita bekerja dan berbuat untuk warga kota ini," tambahnya.

Warkop itupun langsung heboh seketika. Semua pengunjung yang mendengar ocehan La Oegi secara serentak tertawa terbahak-bahak. "Hahaha......, siapa pula yang mau milih Anda jadi wali kota. Memangnya gampang jadi wali kota?" kata seorang pengunjung warkop. La Oegi pun langsung protes pernyataan itu, "Lha ini kan hanya andai saya wali kota," ujarnya sambil pamit meninggalkan warkop itu. (**)

0 komentar:

Posting Komentar