31 Okt 2016

Pungli Kecil-kecilan hingga Puber


PUNGUTAN liar populer dengan singkatan Pungli. Pungli seolah telah menjadi suatu kelaziman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kerja ini dimaknai, meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Pungutan seperti itu termasuk kategori korupsi. Korupsi lewat pungli.

Hampir setiap saat kita menyaksikan atau malah terkena pungli, meskipun dalam skala kecil. Pungli kecil-kecilan memang jumlahnya tak seberapa. Tetapi karena dilakukan pada banyak orang, jumlahnya pun bisa jadi waaah!

La Oegi tersenyum mendengar pertanyaan sohibnya yang pura-pura tidak tahu di mana lahan pungli kecil-kecilan itu. "Hmmmm, kasih tau ga yaaa? Mau tau aja, atau mau tau bangeeet?” canda La Oegi berbahasa gaul yang lagi ngetren saat ini. Menurut pengamatan La Oegi, pungli kecil-kecilan sudah menjadi kebiasaan di lahan parkir, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), atau toko swalayan.

Bayangkan! Berapa kelebihan dikantongi tukang parkir yang terkadang menaikkan tarif parkir dua kali lipat tanpa karcis. Berapa keuntungan SPBU yang selalu membulatkan harga ke atas (jarang sekali merelakan pembulatan ke bawah). Berapa pula keuntungan pemilik swalayan yang kadang tidak memberikan kembalian konsumen hingga Rp500? 

Selain pungli kecil-kecilan ada juga Pungli Berkelas disingkat Puber. Oknum-oknum puber adalah orang-orang yang lebih terorganisir. Praktik mereka lebih tertutup dan susah dilacak. "Cara kerjanya (maaf) mirip kentut. Baunya tercium, tapi bendanya tak kelihatan," La Oegi mengibaratkan.

Pungli kecil-kecilan seperti dilakukan petugas parkir, hanya butuh uang untuk melanjutkan HIDUP mereka. Bukan untuk menjadi KAYA. Lain halnya dengan Puber. Dari segi jumlah dan manfaatnya, Puber adalah 'cara sehat' untuk KAYA. "Tetapi besar kecil hasilnya, pungli adalah kebiasaan koruptif," ujar La Oegi. 

Kata La Oegi, mungkin penguasa mulai bosan melihat rakyatnya didera pungli dari berbagai sudut kehidupan. Dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, penegak hukum kini mulai 'bersih-bersih'. Sapu bersih pungli mulai 'diayunkan' di semua lembaga pelayanan masyarakat, yang selama ini diduga rawan terjadi praktik pungli, termasuk di Negeri Antah Berantah.

Rakyat tentunya sepakat dengan La Oegi, jika penegak hukum sukses mengayunkan 'sapu bersih'nya, jelas rakyat akan bernapas lega. Namun, La Oegi berharap, jika perang melawan pungli seyogianya dikomandoi seorang 'panglima perang' yang tegas dan bernyali.

Sebab dibutuhkan komitmen kuat dan aksi nyata serta nyali mengeksekusi pelaku yang terbukti melakukan pungli. "Ibarat sapu yang kotor ujungnya, jelas tidak akan membersihkan lantai hingga mengkilap," tutur La Oegi penuh makna sambil pamit numpang lewat. (**)

0 komentar:

Posting Komentar