21 Mar 2017

Menyikapi Pujian


SAMBIL menikmati minuman hangat di sebuah Warkop terkenal di Negeri Antah Berantah sore itu, La Oegi dan sohibnya membahas soal puji memuji. "Pujian itu manusiawi. Sebab memuji orang lain merupakan perbuatan yang membuat senang orang yang dipuji," kata La Oegi.

Si Sohib pun menimpali, "Asal sanjungan atau pujian itu tidak berlebihan. Sebab, segala yang berlebihan justru menimbulkan dampak negatif. Apalagi, orang yang suka memuji-muji biasanya punya pamrih".

La Oegi memuji celetukan sohibnya. Sambil mengangkat jempol kanan, dia mengatakan, dalam pergaulan sehari-hari sering kita menjumpai orang yang merasa senang bila dipuji. Gila akan pujian. 'Kapujiang' istilah di kampung La Oegi. Padahal pujian yang berlebihan itu seringkali, hanya tipuan belaka. 

La Oegi berpendapat, tak ada salahnya memuji atau menyanjung seseorang bila prestasi yang ditorehkan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Siapapun dia dan apapun yang dilakukan jika prestasi itu membawa manfaat, wajar mendapat pujian. Meski bukan pujian yang berlebihan. 

Sebaliknya, kritikan dihindari banyak orang. Bahkan ada pemangku jabatan alergi terhadap kritikan. Padahal belum tentu kritikan itu merupakan sebuah celaan bagi dirinya. Mungkin saja kritikan itu, sekadar mengingatkan agar tidak melenceng dari jalur yang sudah ditentukan. 

La Oegi mewanti-wangi, agar tidak keliru menyikapi pujian dan kritikan. Ada kalanya pujian itu hanya menjadi racun. Sikap memuji-muji secara berlebihan, sama halnya menina-bobokkan. Membuat orang jadi 'besar kepala' akhirnya lupa diri. Sebaliknya, sebuah kritikan bisa saja jadi obat mujarab yang dapat menyembuhkan 'penyakit' seseorang. 

La Oegi mencontohkan, sekitar tahun 1984, di bawah kepemimpinan Pak Harto negara kita berhasil swasembada beras. Sukses besar Orde Baru saat itu, banyak menerima sanjungan. Ini sungguh luar biasa. Dengan berbagai kata pujian untuk membangkitkan rasa senang.  

Tapi gara-gara pujian itulah, pemerintah Orde Baru jadi terlena. Lambat laun tak bisa lagi swasembada beras, justru sebaliknya, jadi pengimpor beras. Klimaksnya terjadi di tahun 1997. Terjadilah krisis moneter (krismon), sehingga akhirnya Orde Baru harus tumbang dan Pak Harto dilengserkan pada 21 Mei 1998. 

Nah, waspadalah menerima sanjungan, dan bijaklah menerima kritikan. Sebab bila kita bisa menyikapi kritik dengan baik, akan membuat kita berintrospeksi, memperbaiki diri. Sebaliknya yang disanjung-sanjung bisa jadi takabur, akhirnya malah hancur lebur. 

"Mudah-mudahan kita bisa menjaga hakikat hati pada saat menerima pujian. Kemudian berserah diri kepada Allah Swt yang seharusnya menerima segala pujian makhluknya. Semoga bermanfaat, walau tidak sependapat," kata La Oegi seraya pamit numpang lewat. (**)

0 komentar:

Posting Komentar