10 Des 2013

Memaknai Semangat Pengorbanan 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel


Oleh: Syahrir Hakim 


TANGGAL sebelas Desember merupakan peristiwa yang tak dapat dilupakan begitu saja bagi bangsa Indonesia, khususnya warga Sulawesi Selatan (Sulsel). Betapa tidak, di hari tanggal tersebut darah berceceran dan mayat para pejuang kemerdekaan bergelimpangan di hampir seluruh tanah Sulsel.

Keganasan kolonial Belanda yang tidak ingin melepas bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajahannya, sehingga Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling diturunkan ke Sulsel memimpin operasi pada waktu itu. Peristiwa biadab tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan hingga jatuhnya korban tidak kurang dari 40.000 jiwa rakyat Sulsel.

Meski perjuangan rakyat khususnya di Sulsel demi mempertahankan kemerdekaan RI harus dibayar dengan darah dan jiwa, tetapi peristiwa itu sudah terukir dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan rakyat Sulsel untuk dikenang sepanjang masa oleh anak cucu para pahlawan.

Maka kemudian tanggal 11 Desember setiap tahun di Sulsel, baik di tingakt provinsi maupun kabupaten/kota diperingati sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa. Peringatan itu ditandai dengan kegiatan ziarah ke Taman Makam Pahlawan daerah masing-masing. 

Tak terkecuali warga Sulsel yang bermukim di perantauan, juga mengadakan rangkaian peringatan semacam itu. Ketika saya masih tinggal di Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) setiap tahun peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel tidak pernah terlewatkan. Bersama warga Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) BPD Sumsel mengadakan upacara dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Ksatria Ksetra Siguntang, Palembang. Kegiatan lainnya, angjangsana ke panti jompo dan panti asuhan.

Setiap upacara di TMP, komandan upacara harus seorang TNI/Polri. Prioritas, jika ada anggota TNI/Polri asal Sulsel yang bertugas di daerah tersebut. Kebetulan waktu itu tahun 1985, Kapolsek Seberang Ulu II, Palembang, Kapten (Pol) Mathius Salempang berasal dari Tana Toraja, yang tiada lain mantan Kapolda Sulselbar dan kini salah seorang Perwira Tinggi di Mabes Polri.

Lain hal ketika mendapat tugas di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Jabar, dua tahun berturut-turut ikut gabung dengan warga Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Jawa Barat dalam upacara dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung dalam rangka Hari Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel 11 Desember 1986-1987. Usai ziarah warga Sulsel mengadakan semacam "Tudang Sipulung". Ini dimaksudkan sebagai ajang lebih mempererat silaturrahmi antarperantau asal berbagai daerah di Sulsel yang sementara bertugas atau bermukim di Jawa Barat.

Hampir sama ketika saya tinggal di Bandarlampung. TMP Tanjungkarang, Bandarlampung setiap tahun menjadi saksi kehadiran para warga KKSS Lampung. Mereka mengadakan upacara tabur bunga yang dihadiri wali kota Bandarlampung dan unsur muspida setempat.  Kemudian dilanjutkan dengan angjangsana ke panti beberapa asuhan asuhan.


Pemkot Kota Parepare juga melaksanakan upacara peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa di Monumen Korban 40.000 Jiwa depan Masjid Raya Parepare, Rabu 11 Desember 2013. Wali Kota Parepare H Taufan Pawe SH MH bertindak inspektur upacara yang dihadiri unsur muspida dan sejumlah veteran pejuang kemerdekaan.

Lantas bagaimana memaknai semangat pengorbanan 40.000 jiwa rakyat Sulsel. Apakah cukup dengan kalimat "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya" ataukah hanya seremoni dengan upacara tabur bunga tanggal 11 Desember setiap tahun?

Ingat! Periode perang kemerdekaan dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu sarat dengan semangat, emosi, keberanian, kerelaan berkorban dan irasional. Semboyan yang sangat populer pada masa itu adalah “Merdeka atau Mati”. Semboyan ini menunjukkan betapa tingginya semangat pengorbanan yang mengemuka saat itu yang kemudian menjiwai peringatan Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan pada masa itu.

Setelah bangsa Indonesia berhasil menegakkan kemerdekaannya, tantangan pun berubah. Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan menggalakkan pembangunan di segala bidang. Tunjukkan eksistensi sebagai bangsa merdeka sejajar dengan bangsa lain dalam menghadapi arus globalisasi dunia. Tentu yang ingin ditonjolkan bukan lagi semboyan “Merdeka atau Mati”, tetapi lebih tepat apabila semua pihak melakukan introspeksi diri: “Apa yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini?” (*)

0 komentar:

Posting Komentar