15 Jun 2015

Tukang Becak dan Pengusaha


Oleh Syahrir Hakim

Siang itu di sebuah lorong di Jalan Lasinrang, seorang tukang becak duduk santai di balai-balai depan rumah kontrakannya. Dengan wajah ceria, dia bersiul sambil memandang becaknya. Secara kebetulan seorang pengusaha di kota ini lewat di lorong itu. Pengusaha tersebut mendekati si tukang becak lalu menyapa. “Mengapa saudara kelihatan santai saja tidak keluar menarik becak?” tanya pengusaha itu.

“Oh, kemarin saya dapat penumpang turis minta diantar keliling Kota Parepare. Hasilnya lumayan, masih cukup untuk biaya hidup dua atau tiga hari,” jawab tukang becak seadanya. “Bukankah saudara akan mendapatkan lebih banyak lagi, kalau mencari penumpang hari ini?” cecar pengusaha itu.

Tukang becak itupun bertanya, “Untuk apa pak?” Pengusaha menjawab, “ Ya agar saudara bisa mendapat uang lebih banyak, sehingga bisa membeli yang lain. Misalnya membeli motor untuk dipakai mengojek agar mendapatkan hasil lebih banyak lagi. Dengan begitu, saudara akan kaya seperti saya.”

“Sesudah itu, apa yang harus saya lakukan?” tanya tukang becak itu lagi. “Saudara tidak terlalu menguras tenaga menarik becak. Dengan ojek, saudara membonceng penumpang dengan tenang. Si tukang becak pun tersenyum lembut. Lalu bertanya, “Menurut bapak apa yang sedang saya lakukan sekarang?” Pengusaha itupun terdiam, lalu pamit sambil menyimak pertanyaan si tukang becak.

Dialog antara tukang becak dengan pengusaha yang kaya ini, merupakan sebuah renungan menyambut bulan Ramadan. Jika tubuh kita laksana pengusaha yang terus menerus berusaha tiada henti, maka Ramadan adalah masa istirahat. Masa yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menikmati harta itu dengan cara yang semestinya.

Semisal berbagi kepada sesama lewat zakat, sedekah, atau infak. Mengapa harus di bulan Ramadan? Karena Ramadan adalah bulan istimewa. Kita diberi kesempatan mensyukuri limpahan nikmat tanpa harus kehilangan waktu-waktu berharga dalam kehidupan.

Ramadan, kata La Oegi sejatinya bukanlah bulan berlapar-berhaus semata. Ramadan adalah bulan pelatihan, waktu yang tepat bagi kita untuk introspeksi diri. Selama satu bulan kita menunaikan ibadah puasa haruslah menghadirkan pencerahan. Bagaimana semestinya kita berperang melawan hawa nafsu. Meskipun halal melahap apa saja setelah berbuka, kita tetap harus menahan diri untuk menikmati segala hidangan secara berlebihan?

Menurut La Oegi kita pun bisa menjadikan pola hidup si tukang becak sebagai cermin dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan hidup sebagai seorang tukang becak, seperti dialog di awal tulisan ini, adalah petuah yang patut kita renungkan. Di dalamnya terdapat pula pelajaran tentang bersyukur, berserah diri, dan bertanya pada nurani.

Dengan bekal itu, katanya cukuplah bagi kita mengarungi kerasnya hidup dan persaingan kehidupan. "Tak perlu kita sikut kiri-kanan demi kebahagian semu. Tak perlu kita memaksakan diri masuk ke kehidupan lebih besar pasak daripada tiang. Lantas gelap mata melahap yang bukan hak kita," ujar La Oegi. (*)

0 komentar:

Posting Komentar