17 Nov 2015

Sipakatau Mendorong Lahirnya Sikap Humanis


Oleh Syahrir Hakim

Sohib lama La Oegi pulang Kampung. Lama tinggal di Jakarta. Sekadar melepas rasa kangen, La Oegi bertandang ke rumah sohibnya. Bincang santai, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Mengamati sikap sohib dan keluarganya, ternyata masih seperti yang dulu. Tak ada yang berubah, kecuali nasibnya lebih beruntung dari La Oegi.

Meski puluhan tahun hidup di ibukota, sohib La Oegi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sipakatau. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan, akan mendorong lahirnya sikap hidup yang humanis. Artinya interaksi secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Dua orang putra-putrinya yang masih tergolong bocah itu, lahir di metropolitan. Setidaknya, hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang mengabaikan nilai-nilai etika, agama, serta nilai ketimuran bangsa Indonesia. Mengantisipasi semua itu, sohib La Oegi sedini mungkin menanamkan budaya kearifan lokal kepada putra-putrinya.

La Oegi sempat menyaksikan di saat kedua bocah itu lewat di depannya. Sikap sopan santun tampak sudah melekat pada diri kedua bocah itu. Salah satunya dengan budaya tabe' (permisi). "Tabe' pak, om, kami mau lewat," pinta keduanya nyaris bersamaan sambil menundukkan badan dan meluruskan tangan di samping lutut. Melihat sikap bocah itu, La Ogie pun tersenyum sambil memuji, "Silakan, anak pintar".

Sekilas sikap tabe’ terlihat sepele. Namun menanamkan tata krama terhadap anak sejak dini adalah hal yang sangat penting. Meskipun cukup banyak generasi muda di perkotaan yang sudah mengabaikan. Ada yang mengatakan, pengamalan nilai-nilai sipakatau yang diwujudkan dalam interaksi sosial masyarakat, terutama generasi kita perlahan-lahan mulai pudar.

Redupnya semangat budaya kearifan lokal yang diwariskan leluhur kita, mulai tergantikan budaya kekerasan. La Oegi yang anti kekerasan spontan berteriak. Sekarang bukan lagi zamannya kekerasan. Bahasa kekerasan sudah usang! Kekerasan itu hanya akan melahirkan kekerasan baru. "Setop kekerasan!" ujarnya lantang.

Tetapi La Oegi yang anti kekerasan itu, sempat kaget ketika ditanya sama istrinya. "Apakah kakak betul-betul sudah anti kekerasan?" Nah, itu dia! Seandainya bukan istrinya yang bertanya, pasti La Oegi dengan lantang mengiyakan. Tetapi, karena yang bertanya itu pasangan sedapur dan sekasurnya, terpaksa pernyataannya boleh dibatalkan.

Demi istri tercintanya, La Oegi rela mengatakan tidak! "Percayalah sayang, saya setuju 'kekerasan'. Bahkan saya siap bekerja keras biar terjadi kekerasan. Soalnya bagaimana saya bisa 'bekerja' kalau belum keras, ha ha ha ha," canda La Oegi.

Mumpung bicara kekerasan. Belum lama ini terjadi kekerasan di antara siswa di salah satu SMAN ternama di negeri ini. Korbannya, anak tetangga La Oegi. Dia berharap agar tetangganya  tidak melahirkan kekerasan baru. Alias balas dendam. Lebih bijak menyerahkan masalahnya kepada penegak hukum untuk mencari keadilan.

Setelah sumbang saran kepada tetangganya, eehhh malah La Oegi yang galau. Dibayang-bayangi kecemasan dan perasaan dig-dig-dug. Akankah keadilan itu bisa terwujud? Sebab, batinnya mengatakan, bisa saja keluarga tersangka pelaku kekerasan menyiasati keadilan. Apalagi diduga salah satu pelakunya, anak atau kemenakan orang penting di negeri ini. Tabe', La Oegi cuma numpang lewat. (**)

Tulisan ini telah dimuat di "Kolom Numpang Lewat" PARE POS edisi Rabu, 18 November 2015

0 komentar:

Posting Komentar