19 Sep 2016

"Maaf, Bapak Salah Sambung"


SOHIB La Oegi sempat kecewa, gara-gara salah informasi. Siang itu dia butuh air bersih. Sudah seminggu di rumahnya kekeringan. Air seolah enggan lagi menetes dari keran PDAM. Air baku di sungai yang besar itupun semakin menipis. Meski hujan sekali-sekali 'tumpah" mengguyur Negeri Antah Berantah, belum dapat menambah debit air baku di sana.

Di beberapa lokasi tertentu, warga 'menjerit' kesulitan air bersih. Terutama sohib La Oegi. Dia sudah berupaya menghubungi nomor layanan petugas di sumur yang dalam, tapi diminta menunggu. "Masih ada 20-an penelepon yang harus dilayani," begitu kata petugas di sana. "Banyak jalan menuju Roma," pikir si Sohib. Peribahasa itu memotivasi dirinya, bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, kita tidak perlu khawatir, ada banyak cara atau alternatif yang dapat ditempuh. 

Dia pernah baca berita di koran ini. Pelayanan pengantaran air bersih bisa melalui pusat panggilan 112. Segera dihubungi. Walau istrinya sempat mencegah. Alasannya, nomor itu untuk pelayanan kesehatan. Si Sohib tetap ngotot memencet nomor itu. Minta segera diantarkan air bersih, karena sudah seminggu tidak menikmati air.

Di ujung telepon sana menjawab, "Pusat panggilan 112 pelayanan kesehatan. Di sini pelayanan kesehatan, bukan pelayanan air bersih, maaf ya Pak, Bapak salah sambung". "Wadduh ini namanya salah informasi. Benar kata istri saya," kata si Sohib dengan perasaan kecewa. 

Mendengar sohibnya agak kecewa, La Oegi berusaha menjelaskan. Memang Pemerintah Negeri Antah Berantah akan menjadikan layanan pusat panggilan 112 sebagai pusat pelayanan kondisi darurat. "Bagi warga yang membutuhkan layanan emergensi seperti pemadam kebakaran, bencana, polisi, dan kesehatan. Bahkan layanan air bersih PDAM," kata La Oegi.

"Kapan bisa direalisasikan?" desak si Sohib. "Sabar sohib, untuk mengoneksikan layanan pusat panggilan 112, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tentunya butuh persetujuan pemerintah pusat terkait, jaringan, hardware, software, dan sumber daya manusia (SDM)-nya," jelas La Oegi.

Upaya mengatasi krisis air bersih, sudah dilakukan dengan mengoptimalkan sumur dalam yang ada. Namun, air sumur dalam pun mulai berkurang. Langkah selanjutnya, akan dilakukan lagi pembangunan beberapa sumur dalam. Hanya langkah itu yang dapat mengatasi 'jeritan' warga. Langkah itupun sudah mendapat apresiasi dari wakil rakyat. 

Ketika mendengar 'jeritan' sohibnya soal sulitnya mendapatkan air bersih, La Oegi berusaha menenangkan, "Sabar, tak lama lagi kesulitan itu akan teratasi," La Oegi juga mengangkat jempol buat langkah pemerintah mengatasi krisis air bersih di negerinya.

Namun, La Oegi berharap agar upaya mengatasi krisis air bersih tetap mengutamakan strategi pembangunan yang tepat. Misalnya, pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus semakin digalakkan. Ini dilakukan untuk meningkatkan persediaan air tanah. Seperti pendapat seorang arsitek lanskap, Nirwono Joga. 

Nirwono dalam sebuah buku menulis, satu hektar RTH di kota yang dipenuhi pepohonan besar akan mampu pertama, menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk 1.500 penduduk per hari. Kedua, menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Ketiga, mentransfer 4.000 liter air per hari. Keempat, menurunkan suhu 5-8 derajat Celsius. Kelima, meredam kebisingan sampai 25-80 persen. "Nah, semoga pendapat arsitek ini bermanfaat bagi kita semua," tutur La Oegi sambil berlalu numpang lewat. (**)

0 komentar:

Posting Komentar