6 Sep 2016

Uang Panai dan 'Haji Filipina'


DI sebuah Gazebo Taman Mattirotasi La Oegi dan sohibnya terlihat asyik berbincang. Uang Panai dan 'Haji Filipina' jadi topik perbincangan. Memang kedua topik itu lagi ngetren saat ini. Desiran angin laut menyertai riak air sesekali menghempas di celah-celah bebatuan, seolah menguping perbincangan keduanya.

Uang Panai adalah budaya Bugis-Makassar yang diangkat ke layar lebar dengan sutradara Halim Gani Safia. "Sudah meki menonton film Uang Panai?" tanya La Oegi ke sohibnya. "Belum," jawab sohibnya singkat. "Ehhh cepat-cepat meki menonton, besok malam sudah mappacci mi," ujarnya bercanda. Candaan La Oegi itu ditanggapi dingin sohibnya.

Sore itu, sembari menikmati matahari terbenam alias sunset, si sohib curhat ke La Oegi. Putranya sudah menginjak usia layak nikah. Tetapi sampai saat ini belum juga dinikahkan. Penyebabnya, selain belum punya calon yang akan dipersunting sebagai istri, Uang Panai juga sepertinya menjadi kendala untuk melamar kelak.

Setelah mendengar, menyimak, dan menimbang curhat sohibnya, La Oegi angkat bicara.
"Bebini, eheheee salah tulis. Begini sohib, setiap prosesi pernikahan secara adat Bugis-Makassar mensyaratkan adanya Uang Panai (Bahasa Makassar). Sedangkan bahasa bugisnya Doi Paenre", kata La Oegi.

Si sohib tampak menganggukkan kepalanya pertanda paham hal itu. Meski dia mengakui, jika budaya ini justru terkadang dianggap 'momok' karena nominalnya yang fantastis, sehingga seolah-olah memberatkan pihak laki-laki yang akan melamar calon istrinya.

"Uang Panai itu jangan dianggap 'momok'. Atau ajang menunjukkan standar sosial ataupun sekadar gengsi seseorang. Tapi Uang Panai itu pada hakikatnya merupakan bentuk penghargaan laki-laki kepada perempuan calon istrinya," tutur La Oegi menanggapi sohibnya.

Dari sini terkadang muncul anekdot, seorang laki-laki yang sudah layak menikah mampu mengasihi, mampu mencintai, dan mampu pula menyayangi kekasih pilihan hatinya. Sayangnya, ia belum mampu memberikan Uang Panai sebagai syarat untuk mempersunting kekasihnya.

Kemampuan. Serupa tapi tak sama dengan 'Haji Filipina'. Syarat berhaji itu harus mampu membayar ONH, mampu secara fisik menunaikan rukun-rukun haji, mampu membiayai keluarga yang ditinggalkan. Satu lagi harus mampu bersabar menunggu giliran. Sebab, jika 'kemampuan' itu dipaksakan dengan mengabaikan kesabaran, ujung-ujungnya hanya terjebak di Filipina. Seperti yang dialami sejumlah warga tetangga Negeri Antah Berantah.

Memang diakui, setiap tahun jumlah jemaah haji bertambah, karena meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat. Tetapi pemerintah tidak dapat serta merta memberangkatkan semua pendaftar. Dibatasi oleh sistem kuota yang diberlakukan Pemerintah Arab Saudi. "Lantas apa kira-kira solusi yang dapat ditawarkan pemerintah," tanya si sohib sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Menurut hemat La Oegi, pemerintah sebaiknya mengajak negara-negara Asean meminta Kerajaan Arab Saudi menyatukan jatah atau kuota haji untuk Asean. Lalu, dengan 'Semangat Asean' kita gotong royong di antara sesama negara anggota mengisi jatah tersebut.

"Bila ada jatah suatu negara anggota yang kosong bisa diisi oleh negara anggota yang lain. Menurut saya persatuan Asean akan semakin terpadu, dan kesulitan Indonesia sebagai anggota Asean dalam urusan jemaah haji akan teratasi dengan baik,” tutur La Oegi sambil pamit numpang lewat seiring menggemanya azan magrib. (**)

0 komentar:

Posting Komentar