23 Jul 2013

Ultah ke 58 di Awal Ramadan 1434 H


Foto ketika masih menjabat Sekretaris Redaksi Harian PARE POS, Parepare.

Oleh Syahrir Hakim


TANGGAL 9 Juli 2013 terbilang hari yang istimewa bagi saya. Bagaimana tidak saya katakan istimewa? Karena hari itu adalah ulang tahun saya ke 58 yang bertepatan 1 Ramadan 1434 H, berdasarkan metode hisab. Saya bersama keluarga mengikuti awal puasanya Muhammadiyah, Selasa 9 Juli 2013.

Meski istimewa bagi saya, tapi tidak ada aktivitas apalagi pesta yang istimewa. Semua berjalan seperti hari-hari biasa. Hanya pelaksanaan ibadah puasa yang membedakan. Malah saya tidak ingat lagi ultah itu, kalau bukan istri dan putraku yang menyampaikan malamnya, bahwa teman-teman di facebook pada kirim ucapan happy birthday. Selamat ultah, kata mereka. Ya, terima kasih semua atas perhatiannya.

Memang, setiap tahun jika hari itu tiba (Ultah), tidak ada aktivitas yang istimewa. Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur kepada Allah SWT yang masih memberikan kesempatan menghirup udara kehidupan. Masih memberikan nikmat berupa kesehatan dan kekuatan untuk beraktivitas menata kehidupan yang lebih baik. Dan tentunya juga evaluasi diri dan kehidupan yang telah dilalui.

Soal ultah, saya menemukan catatan di sebuah blog, bahwa ternyata tradisi perayaan ulang tahun sama sekali tidak memiliki akar sejarah dalam Islam. Islam tak pernah diajarkan untuk merayakan ulang tahun. Kalau pun kemudian ada orang yang berargumen bahwa dengan diperingatinya Maulid Nabi, hal itu menjadi dalil kalau ulang tahun boleh juga dalam pandangan Islam. Maka ini adalah argumen yang gegabah.

Karena pasti Rasulullah sendiri tak pernah mengajarkan kepada kita melalui hadisnya untuk merayakan Maulid Nabi. Maulid Nabi, itu bukan untuk diperingati, tapi tadzkirah, alias peringatan. Maksudnya? Kalau kita baca buku tarikh Islam, di situ ada catatan bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayubi amat prihatin dengan kondisi umat Islam pada saat itu.

Untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya perjuangan, Sultan Shalahuddin menggagas ide tersebut, yakni tadzkirah terhadap Nabi, yang kemudian disebut-entah siapa yang memulainya-sebagai Maulid Nabi. Tujuan intinya mengenalkan kembali perjuangan Rasulullah dalam mengembangkan Islam ke seluruh dunia.

Seharusnya tulisan ini sudah bisa dibaca di awal Ramadan, tetapi karena rutinitas yang senantiasa menemani, sehingga baru ada kesempatan menulisnya. Tidak apa-apa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Palembang
Kembali ke ultah ke 58. Tidak banyak yang saya bisa ungkapkan perjalanan hidup selama 58 tahun itu, terbatas pada aktivitas saya dalam lingkaran dunia jurnalistik. Berawal tahun 1984 saya memasuki dunia jurnalistik di Harian Suara Rakyat Semesta (SRS), Palembang, Sumsel. Menggeluti pekerjaan sebagai "kuli tinta" dari korektor naskah, reporter, redaktur hingga akhirnya Pemimpin Redaksi H Asdit Abdullah mengangkat saya sebagai Redaktur Pelaksana.

Bandung
Dua tahun kemudian (1986), ketika SRS merintis kerjasama dengan Pikiran Rakyat (PR) Group, Bandung, Jawa Barat, saya pun dikirim ke "kota kembang" untuk mempersiapkan naskah berita dan foto yang dikirim dari Palembang ke Percetakan Pikiran Rakyat Bandung. Di markas PR di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Redaktur Pelaksana Harian PR Pak Suradi menunjukkan sebuah ruangan khusus yang di dalamnya sudah tersedia sebuah meja dan kursi serta mesin ketik merek Remiltong. Di ruangan ini saya menekuni tugas setiap hari.

Bandarlampung
Karena ketidaksepahaman dengan manajemen, saya memilih mundur dari SRS, lalu hengkang ke Kotamadya Bandarlampung, Provinsi Lampung (1987). Saya pun meninggalkan Andi Sukmaputra Adhyamsyah, putra pertama saya dengan menitipkan kepada kakek dan neneknya di 3 Ilir Palembang. Saya berangkat ke Tanjungkarang, Bandarlampung, Lampung disertai istri tercinta Andi Maryam dan putri kedua Andi Suciana Novyamsyah (sudah almarhumah 27 Desember 2010 lalu).

Di Tanjungkarang, Harun Muda Indrajaya (HMI) Pimpinan Redaksi SKU Tamtama Lampung menyambut baik kehadiran saya di penerbitannya. Bersama kerabat kerja lainnya kami pun menggarap koran tabloid mingguan yang bermarkas di Jalan Pattimura No...? Bandarlampung.
Tak lama setelah berada di Bandarlampung, saya dengar koran SRS di Palembang, sudah tersungkur dan tak bangun-bangun lagi setelah ditinggal "Induknya" Pikiran Rakyat. Join hanya berlangsung sekitar 1 tahun lebih.

Selain di Tamtama, saya ikut membantu Harian Pikiran Rakyat Bandung sebagai koresponden untuk Provinsi Lampung. Tugas ini diberikan Bapak Suradi, Redaktur Pelaksana Harian Pikiran Rakyat (PR). Lamaran untuk menjadi koresponden PR pun tidak terlalu sulit karena orang-orang PR sudah mengenal saya sebelumnya.

Surabaya
Sampai akhirnya Tabloid Tamtama milik HMI bergabung (join) dengan Jawa Pos Group di Surabaya, tugas di PR saya tanggalkan. Awal penggabungan usaha (merger) ini ditandai dikirimnya seluruh Kerabat Kerja Tamtama (minus HMI dan cleaning service) ke Surabaya untuk training masing-masing bidang selama satu bulan. Khusus saya, "ditahan" sampai 3 bulan. Di sinilah awal pertemuan saya dengan HM Alwi Hamu (Komisaris Utama PT Media Fajar). Waktu itu, Pak Alwi sebagai Kepala Badan Pengembangan anak Perusahaan (BPP) Jawa Pos Group, sehingga beliau-lah yang membidani rencana penggabungan usaha penerbitan ini.

Sekitar dua bulan setelah Harian Tamtama (yang akhirnya berganti nama menjadi Radar Lampung) terbit dengan percetakan sendiri, saya pun pamit kepada HMI dan teman-teman untuk pulkam. Teman-teman pun kaget mendengar rencana kepulangan saya ke kampung halaman.

Sebelumnya, saya sudah sampaikan niat ini kepada Pak Alwi melalui adiknya, H Adil Hamu (Kanda) untuk dipekerjakan di Fajar Group. Kanda waktu itu, yang membangun Kantor Harian Radar Lampung di Pahoman, Bandarlampung. "Yang penting saya pulkam pak, saya sudah hampir 4 pelita di kampung orang," kata saya waktu itu.

Dua hari sebelum BJ Habibie dilantik jadi Presiden RI menggantikan Soeharto, saya tiba juga di tanah kelahiran, Boeloekoemba. Esoknya saya menemui Pak Alwi Gedung Gajar Jalan Racing Centre Makassar, lalu dihadapkan ke Syamsu Nur (Pak Ancu). Keduanya menanyakan apa kemampuan saya. "Saya bisa di redaksi dan pracetak, pak," jawab saya.

Entah berapa lama, saya juga lupa, akhirnya Adil Hamu memanggil saya untuk menggarap penerbitan Tabloid Mingguan INTIM (Indonesia Timur). Hari itu juga langsung bertugas sebagai Lay Outer (LO) atau perwajahan di bawah komando Pak Aidir Amin Daud, Farid, dan .....? lupa nama Redpelnya.

Parepare
Foto ketika menjabat Manajer Personalia Pare Pos  
Hanya sekitar 3 bulan lamanya, PAREPARE POS pun terbit di Kota Parepare. Nasri Aboe, Bahtiar, dan Adam Anas Tare mengajak saya bergabung di koran harian ini. Tertarik juga, karena memang awalnya saya bekerja di penerbitan harian. Saya pun berangkat ke Parepare atas petunjuk Pak Syamsu Nur. Di koran ini saya tetap mendapat tugas di "dapur" redaksi.

Masih terbayang yang pertama menyambut kedatangan saya di Kantor Fajar Parepare, tempat bermarkasnya PAREPARE POS, Ibu Hasnah Daud, Nurbeti, dan Nurhani Ali Hamu. Dan yang tidak dapat saya adalah Maddatuang (Kabag Sirkulasi) yang selalu setia mengantar saya ke warung nasi mengisi "kampung tengah".

Tak lama kemudian, PAREPARE POS dibekukan, lantas manajemen diambilalih Hazairin Sitepu dengan mengubah nama menjadi PAREPOS. Pemimpin Redaksi dipercayakan kepada Mukhlis Amanshadi dan perusahaan ditangani Ibrahim Manisi. Tugas saya masih bergelut dengan perwajahan (Layouter)

Dalam perjalanannya hingga saat ini, PARE POS beberapa kali mengalami pergantian pimpinan redaksi. Setelah Mukhlis, ada Yasser Latif. Di periode kepemimpinan Yasser Latief, saya diberi jabatan Koordinator Pracetak merangkap Koordinator Liputan.

Ketika Yasser terpilih menjadi Ketua KPU Kota Parepare, jabatan direktur pun diduduki Kamaruddin. Pimpinan Redaksinya Faisal Palapa yang akrab disapa Pak Ical. Jabatan saya kembali bergeser menjadi Sekretaris Redaksi.

Tahun 2008, Kamaruddin meninggal dunia. Jabatan yang ditinggalkan diserahkan kepada Pak Ical yang juga merangkap sebagai pemimpin redaksi hingga saat ini. Tahun 2013 Pak Ical memberikan tugas kepada saya sebagai Manajer PSDM/Personalia merangkap Redaktur Ekonomi Bisnis (Ekobis). Rubrik Ekobis, khusus dalam bulan Ramadan diganti sementara dengan Rubrik Gema Ramadan.

0 komentar:

Posting Komentar