23 Agu 2015

Kehidupan Sepasang Telinga


Oleh Syahrir Hakim

Dalam perjalanan menuju Makassar beberapa hari lalu, seorang penumpang bercerita. Dia duduk di kursi depan samping kiri sopir mobil. Hanya La Oegi yang menyimak cerita penumpang perempuan itu. Sedang penumpang lain tertidur pulas. Ceritanya soal suasana jelang pilkada di beberapa daerah. Maklum, tim sukses mulai memanaskan mesin pasangan calon sebelum genderang ditabuh.

Bukan soal prediksi siapa yang bakal meraup suara terbanyak di daerah tertentu. Bukan juga visi misi pasangan calon bupati dan wakilnya. Tingkat kesadaran masyarakat dalam berpolitik daerah itu. Bukan. Ibu itu berceloteh soal silaturahmi yang nyaris terputus di antara pendukung pasangan calon. Mereka asyik "mengelus-elus" jagoannya, tetapi mengabaikan kerukunan antarkeluarga dan masyarakat.

La Oegi menyayangkan hal itu. Padahal momen, baru akan digelar di penghujung tahun ini. Dampaknya mulai kelihatan. Hanya karena mendukung pasangan calon yang berbeda, tali silaturahmi nyaris terputus. Parahnya, ada di antara sesama rumpun keluarga yang kurang harmonis. Hubungan mulai renggang. Itu sepenggal cerita disimak La Oegi di atas mobil yang meluncur di jalan poros Parepare-Makassar.

Meski saat itu La Oegi sudah berada di Makassar, namun hayalannya kembali ke negerinya, Antah Berantah. Ada hal serupa tapi tak sama dari cerita penumpang mobil itu. Kalau cerita yang disimak La Oegi itu, tali silaturahmi nyaris terputus sebelum pilkada star. Di negeri Antah Berantah malah terputus sesudah penyelenggaraan pilkada.

Silaturahmi. La Oegi pernah mendengar hadis Rasulullah SAW soal anjuran hidup dengan tetap memelihara silaturahmi. Hidup rukun. Betapa indahnya kerukunan itu, sehingga Rasulullah menganjurkan kehidupan muslim itu ibarat dua tangan. Bukan kehidupan seperti sepasang telinga.

Mengapa Rasulullah mengibaratkan indahnya persaudaraan itu seperti dua tangan? Kata La Oegi, karena kedua tangan hidup rukun berdampingan. Saling pengertian. Beban dibagi rata, hasilnya pun demikian. Kedua tangan saling membantu dan bekerja sama. Semisalnya, tangan kiri gatal, pegal atau terluka, maka tangan kananlah yang menggaruk, memijit, juga mengobatinya.

Begitu pun jika tangan kanan gatal, pegal atau terluka, maka tangan kirilah yang menggaruk, memijit, bahkan mengobatinya. Begitu pula bila mengangkat barang atau beban berat. Apabila diangkat oleh kedua tangan, maka semua itu terasa ringan, karena ada kerja sama yang saling membantu.

Sebaliknya, Rasulullah tidak menghendaki kehidupan sesama muslim itu seperti dua telinga. Sebab, kedua telinga walau hidup berdampingan dan berdekatan, tetapi keduanya tidak pernah saling bertemu, mengunjungi satu sama lainnya. "Hal seperti ini yang tidak diinginkan Rasulullah SAW terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam pemerintahan," begitu penjelasan La Oegi. (**)

0 komentar:

Posting Komentar