5 Jun 2016

Ketika Khalifah Umar Blusukan



ALHAMDULILLAH, kaum muslimin sudah berpuasa Ramadan hari ini, Senin, 6 Juni 2016. Saya dan keluarga besar mengucapkan selamat menunaikan puasa Ramadan 1437 H, semoga ibadah yang kita laksanakan ini mendapatkan berkah dari Allah SWT, amin.

Saya mengutip kisah Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa kekhalifahannya, Umar selalu blusukan pada malam hari. Dengan demikian, Umar bisa lebih mengetahui kondisi kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Utamanya hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh aparatnya.

Suatu malam, Umar bersama Aslam blusukan di suatu perkampungan kecil di wilayah Madinah. Saat melakukan perjalanan di kampung yang tandus, Umar menemukan tenda lusuh di tengah-tengah gurun tandus tersebut. Dari dalam tenda, sahabat Rasulullah itu mendengar tangisan gadis kecil.

Saat mendekati tenda itu, Umar mengamati seorang wanita dewasa sedang duduk di dekat perapian. Wanita tersebut terlihat mengaduk-aduk bejana semacam panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

Umar dan Aslam segera menemui ibu itu dan melihat ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika Umar mengetahui ibu tersebut memasak batu dalam panci. Umar pun menanyakan kepada ibu tersebut. Jawaban dengan suara lirih perempuan itu sungguh membuat hati Umar tersayat-sayat.

Ibu yang menjanda satu anak itu mengatakan, dirinya memasak batu untuk menghibur anaknya. Sejak pagi dia dan anaknya belum makan apa-apa. Anaknya pun disuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka mereka mendapat rezeki. Ternyata tidak. Batu-batu itu dimasak untuk membohongi anaknya, sehingga ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.

"Inilah kejahatan Amirul Mukminin. Khalifah Umar bin Khattab tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum. Apa dayaku. Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya." kata ibu itu dengan suara lantang.

Mendengar perkataan tersebut Aslam ingin menegur perempuan itu. Ia ingin mengatakan bahwa orang yang ada di hadapannya itu, Khalifah Umar bin Khattab. Namun Umar sempat mencegah Aslam. Dengan air mata yang berlinang Umar cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda yang sengsara itu.

Secara sembunyi-sembunyi, Umar memikul sendiri karung gandum untuk mengantarkan ibu miskin itu. Setelah memasaknya, Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan. Melihat mereka bisa makan, hati Umar terasa tenang. Makanan habis dan Umar berpamitan. Dia juga meminta wanita tersebut menemui Khalifah Umar keesokan harinya.

Benar, esoknya wanita tersebut menemui Amirul Mukminin. Ia begitu kaget melihat sosok Amirul Mukminin, ternyata orang yang telah memasakkannya makanan untuk dia dan anaknya kemarin. "Saya mohon maaf. Saya telah menyumpahi dengan kata-kata zalim kepada engkau. Saya siap menerima hukuman ya Amirul Mukminin," kata wanita itu.

"Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anaknya kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu," kata Khalifah Umar.

Menutup kisah ini, sebuah kalimat mengatakan, sejatinya seorang pemimpin harus dan wajib berempati kepada nasib rakyatnya. Bahkan seorang pemimpin yang baik, harus memastikan semua rakyatnya kenyang terlebih dahulu sebelum dia makan sesuatu.  (**)

0 komentar:

Posting Komentar