30 Jun 2016

Ngabuburit dan THR


MESKI puasa masih tersisa beberapa hari lagi, aroma lebaran sudah mulai tercium. Kesibukan menghadapi hari raya Idulfitri sudah tampak. Pemerintah dan aparat kepolisian pun sibuk mempersiapkan infrastruktur dan pengamanan selama masa lebaran. Rumah sakit juga tetap bersiaga memberikan pelayanan kesehatan, jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Hiruk pikuk menyambut lebaran adalah sebuah fenomena sosial yang muncul setiap tahun. Lebaran bukan hanya dimaknai sebagai aktivitas ritual semata, tetapi juga sebagai aktivitas sosial. Antara lain, sebagai sarana silaturahmi dan sarana saling berbagi kebahagiaan.

Lebaran, adalah hari raya umat Islam yang akbar, sehingga harus disambut dengan suka cita oleh seluruh umat muslim. Namun, tak jarang, perhatian, energi, dan biaya terkuras untuk menyambut lebaran. "Nafsu" berbelanja semakin tinggi dengan buaian diskon yang ditawarkan oleh toko dan pusat-pusat perbelanjaan.

Biasanya, di hari-hari mendekati lebaran, harga mulai bergerak. Harga kebutuhan dasar dapur mulai bergeser. Demikian juga harga daging sapi, dikabarkan hari ini sudah melonjak. Padahal bumbu dapur salah satu unsur penting dalam penyajian makanan dan lauk pauk di hari lebaran, kini harganya melonjak. Inilah yang membuat ibu rumah tangga ngabuburit.

Lha malah ngabuburit? Ngabuburit berasal dari bahasa Sunda, Jawa Barat. Artinya waktu menjelang sore hari. Juga diartikan menunggu atau menghabiskan waktu hingga saat berbuka puasa. Tapi La Oegi yang rada-rada ngawur, ngabuburit yang dimaksud adalah sebuah pertanyaan, meNGApa iBU-iBU menjeRIT disingkat NGABUBURIT. Ya itu tadi, karena harga bumbu dapur dan daging yang melonjak.

Menjelang lebaran, Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi kata yang sangat populer. Istilah THR entah dari mana asalnya. La Oegi juga belum pernah nanya-nanya. Tapi itulah negara kita, jagonya masalah singkatan. Sampai-sampai nama presiden pun dibuat singkatan. THR identik dengan uang, paket, atau parsel.

Tidak dapat dipungkiri dalam menghadapi lebaran, beban pengeluaran semakin besar. Selain untuk kebutuhan sehari-hari seperti buka puasa dan sahur, juga untuk membeli kebutuhan lebaran. Para karyawan selain mengandalkan gaji, juga mengharapkan THR dari perusahaan atau tempatnya bekerja.

THR dan lebaran, telah menjadi saudara kembar. Konon banyak yang menganggap "hambar" bila tidak terima THR di akhir Ramadan. Akibatnya, di penghujung bulan Ramadan, cita rasa orang berpuasa, tergerus oleh obsesi menumpukkan THR sebanyak-banyaknya. Hingga menjadi THR alias Tekanan Hari Raya.

Alangkah bijak, jika kita merayakan lebaran secara sederhana dan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena kita ketahui bersama, bahwa esensi lebaran bukanlah pakaian baru atau makanan yang lezat. Tetapi kita kembali kepada fitrah dan menjadi seseorang yang “baru” setelah menempa diri selama bulan Ramadhan. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)

0 komentar:

Posting Komentar