27 Jun 2016

Kisah Sepatu Raja


PEKAN lalu, sepatu jadi topik yang heboh diperbincangkan di dunia maya, maupun dunia nyata. Gaungnya begitu nyaring terdengar di negeri Antah Berantah. La Oegi cepat-cepat buka mata pasang telinga, siapa tahu dapat jatah sepatu baru untuk lebaran. Ehhh, perkiraan La Oegi meleset. Ternyata bukan bagi-bagi sepatu baru ala pasar murah.

Saking hebohnya soal sepatu, sampai-sampai dalam program acara Mata Najwa pun terungkap. Dalam tayangan bertopik "Mencari Hoegeng Baru", Rabu malam pekan lalu, mengorek kembali sosok mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Dia sosok polisi yang tak hanya jujur, tapi juga dikenal kesederhanaannya.

Di saat menjabat sebagai Kapolri, pantang menerima sesuatu yang dinilai bukan haknya. Saking sederhananya, ketika Hoegeng pensiun, tidak punya rumah dan mobil sendiri. Tapi yang menarik dalam tayangan tersebut, ketika akan membeli sesuatu, tapi uangnya tidak cukup sehingga rela menjual sepatu miliknya.

Masih soal sepatu. Dalam sebuah kisah, hiduplah seorang raja di Negeri Antah Berantah. Negerinya aman dan damai. Rakyatnya pun terbilang sejahtera. Sebagai raja, ia tidak rela jika ada rakyatnya mengalami kehidupan yang tidak layak. Makanya ia senantiasa melakukan pengecekan dengan blusukan di wilayah kekuasaannya.

Suatu ketika saat kembali dari blusukan, raja merasa sangat lelah. Ia mengeluhkan kakinya nyeri dan sakit. Sambil mengurut kakinya yang sakit, ia membatin. "Kalau saja, setiap jalan yang aku lewati dilapisi dengan kulit dan permadani, tentu aku dan semua orang akan merasa nyaman. Tak akan perlu merasakan sakit seperti ini".

Ia pun memerintahkan prajuritnya melapisi dengan kulit setiap jalan yang akan dilalui. Namun, sebelum prajurit melaksanakan perintah, seorang penasihat menyuruh berhenti. "Duhai Tuanku, rencana ini tentunya akan membutuhkan kulit dan permadani yang tidak sedikit. Ini kan pemborosan yang akan menguras keuangan kerajaan. Mengapa Baginda tidak memotong sedikit saja dari kulit itu dan melapisinya di kaki Baginda?".

Raja terkejut. Namun, tak lama kemudian, ia setuju dengan usul membuat "sepatu" itu untuk dirinya. Akhirnya, raja membatalkan niatnya melapisi jalan dengan kulit. Ia dapat terus melakukan blusukan ke rakyatnya, tanpa takut lelah dan kakinya nyeri kesakitan.

Ketika ditanya, apa makna dari kisah di atas? La Oegi mengatakan, ini pelajaran yang berharga bagi kita. Bagaimana membuat dunia ini menjadi tempat yang nyaman untuk hidup. Kadang kala kita harus mengubah cara pandang kita, hati kita, dan diri kita sendiri. Bukan dengan jalan mengubah seluruh dunia dan isinya.

"Allah Maha Adil dan Bijaksana. Dunia dan isinya diciptakan dengan segala keragaman sifat dan karakternya. Bukan untuk mempersulit manusia. Tapi sebaliknya, dengan segala kondisinya manusia bisa belajar dari kehidupan," begitu La Oegi mengutip kalimat bijak.

Jika diibaratkan, jalan kehidupan yang kita tempuh masih terjal dan berbatu, manakah yang kita pilih? Melapisi setiap jalan itu dengan permadani berbulu agar kita tak pernah merasakan sakit? Atau melapisi hati kita dengan "sepatu", agar kita dapat bertahan melalui jalan-jalan itu? Mari kita renungkan. Permisi La Oegi numpang lewat. (**)

0 komentar:

Posting Komentar