6 Mar 2016

Ikhlaslah Seperti Buah Kelapa


Oleh Syahrir Hakim

Pergantian pejabat di Negeri Antah Berantah masih menjadi perbincangan hangat sejumlah kalangan. Termasuk La Oegi dan sohibnya. Bukan rahasia lagi, bahwa pejabat yang diganti maupun penggantinya kadang berbeda sikap. Ada yang senang, ada yang kecewa, dan tak sedikit pula yang sewot. Itulah tema yang lagi ngetren belakangan ini.

Siang itu, La Oegi bersama sohibnya lagi menikmati es kelapa muda di Jalan Jenderal Sudirman. Di saat sohibnya ngoceh soal pergantian pejabat, La Oegi malah cuek. Perhatiannya tertuju pada tumpukan buah kelapa. Iya, buah kelapa milik penjual es kelapa yang bertumpuk di sebelah kanan kaki gerobaknya.

Melihat keseriusan La Oegi memerhatikan buah kelapa yang diproses hingga menjadi minuman segar, sohibnya pun tertarik ikut memerhatikan "kejadian" itu. Meski belum paham betul apa yang terjadi. "Wah betul-betul," La Oegi berdecak kagum. Sohibnya bertanya, "Memangnya ada apa sobat?"

La Oegi menunjuk ke arah penjual es kelapa. Coba perhatikan penjual es kelapa itu, bagaimana ia "memerlakukan" kelapa. Diawali ketika dipetik, buah kelapa itu dipelintir dari pohonnya hingga berjatuhan ke tanah berguling-guling. Tiba di tangan penjual es kelapa, buah itu dipukul-pukul, diparangi, dibacok, dan dibelah dua. Kemudian mengambil dagingnya dengan cara mencungkil. "Sadis!" kata La Oegi.

Jadilah es kelapa. Jika kelapa tua, dagingnya dimasukkan ke mesin parut, lalu diperas agar keluar santannya. Ketika santan telah dicampur dengan daging, ikan, dan sayuran lainnya, hilanglah nama kelapa atau santan. Muncul nama-nama lain semisal rendang, gulai, lodeh, tongseng dan sebagainya. Tidak ada yang menyebutnya sayur kelapa atau sayur santan.

La Oegi kian larut dalam lamunan nasib kelapa. Meskipun diperlakukan sedemikian rupa, kelapa tidak pernah protes dan ingin nama baiknya dipulihkan. Kelapa tetaplah kelapa, sebagai buah yang melambangkan keikhlasan, tanpa pamrih, namun tetap memberi manfaat bagi umat manusia.

Lalu apa hubungannya dengan pergantian pejabat di negeri Antah Berantah? Mendengar pertanyaan sohibnya, La Oegi tiba-tiba tersentak dari lamunan. Tiba masa tiba akalnya, La Oegi menjawab, "Hidup ini, tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, bro. Begitulah kenyataannya."

Kata La Oegi, seseorang yang diberi amanah memegang jabatan, harus senantiasa menanamkan dalam dirinya keikhlasan melaksanakan amanah itu. Orang yang ikhlas, di dalam hatinya penuh dengan penerimaan. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, diterima dengan lapang dada. "Ikhlas seperti kelapa," katanya mencontohkan.

Ketika atasannya membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya misalnya, dia tetap tenang. Ketika teman-temannya bersaing secara tidak sehat, malah dia mampu untuk tersenyum. Itu tadi, karena dia memiliki kemampuan menerima kondisi itu dengan keikhlasan. Seperti itu, kata La Oegi sambil beranjak dari tempat duduknya. "Permisi cuma numpang lewat." (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam kolom "Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM" di Harian PARE POS edisi Senin, 7 Maret 2016 halaman 6 (Metro Pare) 

8 Feb 2016

Monyet dan Kacang


Oleh Syahrir Hakim

Sebuah anekdot sering muncul dalam suasana hari raya. Seorang akung (sebutan kakek warga Tionghoa) dibuat kesal atas ulah oknum. Setiap hari raya, akung jadi bulan-bulanan oknum yang minta angpao. Maksudnya angpao berisi duit.

Saking seringnya datang, akung kadang ngomong sendiri dengan dialeknya yang totok, "Oe pucing lihat olang ini. Lebalan datang, natal datang, tahun baru datang yuga, eeeeeh........., imlek datang laaagi".

Akung duduk di bangku bulat mengenakan kaos singlet swan brand. Dipadukan celana piyama garis-garis. Tangan kanannya menggerak-gerakkan kipas sate, sambil ngomel, "Dikacih lokok, minta luit. Dikacih luit, wadduh lokok diembat yuga. Eeeeeh....., pulang minta ongkoc lagi. Hayyaaa......, benel-benel tak abic pikil, lu olang punya agama apa yaaa?" kesal akung mengetuk-ngetuk jidatnya dengan telapak tangan kanan.

Hayyaaa......., sekadar anekdot. Sudahlah, kita tinggalkan si akung. Kemarin warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek 2567. Di negeri La Oegi, Antah Berantah penyambutan tahun baru Imlek dilakukan secara sederhana. Meski sederhana, namun kebersamaan menjadi perekat sebagai warga negara Indonesia. Serekat kue bakul dan dodol Cina. Kue khas Imlek.

Menurut keyakinan Tionghoa, tahun baru Imlek 2567 melambangkan Monyet Api. La Oegi berharap, semoga di tahun ini kita mampu melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan segenap umat manusia di negeri ini. Sehubungan tahun monyet, La Oegi memaparkan kisah tentang monyet dan pemburu. Dalam kisah itu, pemburu punya cara unik menangkap monyet di hutan. Teknik itu dilakukan agar monyet bisa ditangkap dalam kondisi hidup tanpa cedera sedikitpun. Caranya sederhana.

Pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang diberi aroma khusus. Kemudian ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples tanpa tutup. Ketika mencium aroma itu, monyet akan berlomba mendekati toples-toples itu. Lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang dalam toples.

Tapi karena menggenggam kacang, monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang di tangannya, selama itu pula monyet terjebak. Toples itupun terlalu berat untuk diangkat. Dengan mudahnya para pemburu menangkap monyet-monyet itu.

Mungkin kita akan tertawa jika melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa disadari, sebenarnya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Kenapa? Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita menggenggam erat setiap permasalahan yang dimiliki, layaknya monyet menggenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Seiring tahun baru Imlek 2567 bagi warga Tionghoa, La Oegi mengepalkan tangan kanan, tangan kiri menutupi tangan kanan. Kedua ibu jari menghadap ke atas dan kepalan tangan diletakkan sejajar dengan dada. Kemudian mengucapkan Gong xi fa cai atau selamat sukses, semoga sejahtera. "Permisi, numpang lewat," kata La Oegi sambil berlalu. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM di Harian PARE POS hal 4 (Metro Pare) edisi Selasa, 9-02-16.

1 Feb 2016

Lupa Ingatan


Oleh Syahrir Hakim

La Oegi tidak akan menyanyikan sebuah lagu dari Band Kotak seperti judul di atas 'Lupa Ingatan'. Hanya mengingatkan kembali, bahwa puluhan ribu lembar kartu sejenis 'kartu sakti' yang pernah dibagikan ke masyarakat, kini 'menganggur'. Ternyata tidak berlaku. Kenapa? Entahlah, La Oegi juga tidak tahu penyebabnya.

Kartu tersebut dimunculkan jelang pemilihan wali negeri (Pilwari) Antah Berantah, beberapa waktu lalu. Sejatinya, 'kartu sakti' adalah sebuah harapan baru. Harapan bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Bisa menyekolahkan anak dan bisa menikmati hidup layak. Itulah kira-kira manfaat sebuah 'kartu sakti'.

Saat pengumpulan massa, seorang tim sukses menjelaskan, “Ini salah satu bukti konkret dari kami. Terkait program gratis pro rakyat yang sangat menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Kartu ini, adalah kontrak politik pasangan calon penguasa negeri yang bisa ditagih langsung oleh masyarakat, jika nanti terpilih menjadi penguasa negeri," kata tim sukses itu meyakinkan.

Tergiur manfaatnya, puluhan ribuan warga menerima pemberian itu. Namun, hingga kini tak diketahui nasib kartu tersebut. Beberapa sohib La Oegi sebagai pemegang kartu, hanya saling lempar pertanyaan. Baik berupa status di media sosial, maupun obrolan di warung kopi. Meskipun keluhan itu sudah sampai di kuping para tim sukses wali negeri, tak kunjung ada penjelasan selanjutnya.

Memang diakui, jika selama ini kepemimpinan wali negeri itu tak diragukan lagi. Banyak menorehkan terobosan. Tangan dinginnya mampu memoles negerinya. Membangun dan mempercantik di sana-sini. Namun, kabar 'kartu sakti' seolah-seolah tertimbun oleh inovasi dalam membangun negerinya. 'Kartu sakti' sudah terlupakan.

Kata La Oegi, kita semua pernah merasakan lupa. Itu lumrah saja selama frekuensinya tidak sering terjadi. Tapi jangan sampai kebiasaan lupa ini menjadi semakin sering. Apalagi jika lupa janji yang pernah diucapkan di hadapan rakyat. "Waah, ini namanya T-E-R-L-A-L-U," kata seorang sohib La Oegi.

Penasaran. Lagi-lagi bukan judul lagu dangdutnya Rhoma Irama. Tetapi itulah yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Sampai-sampai wakil wali negeri pun kewalahan menjawab pertanyaan melalui SMS. "Mau jawab apa? Saya saja yang ada foto di kartu itu, juga tidak tahu untuk apa," jawab sekenanya kepada penanya.

Seiring berjalannya waktu, La Oegi berharap semoga pemimpin negerinya tidak termasuk dalam golongan kalimat canda ini. Apa itu? "Sebelum jadi, suka mengobral janji. Setelah jadi, malah lupa ingatan," begitu bunyi kalimatnya.

La Oegi pun mencatat sebuah kalimat bijak. Hidup dan mati dikuasai oleh lidah. Siapa yang suka menggemakan, akan memakan buahnya. Berdasarkan ucapan kita, kita akan dibenarkan atau disalahkan. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat..... (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pagi PARE POS edisi, Senin, 1 Februari 2016 Kolom "Numpang Lewat" halaman 4 (Metro Pare)

24 Jan 2016

Sayur Teroris


Oleh Syahrir Hakim

Minggu pagi kemarin, cuaca cerah di Kota Antah Berantah. Secerah wajah La Oegi mengantar istrinya ke pasar berbelanja. Dalam benaknya, hitung-hitung biaya transpor tidak ke mana. Sambil menunggu di tempat parkir, La Oegi mengutak-atik henpon. Membaca kembali SMS yang masuk atau yang sudah terkirim. Sekadar mengobati perasaan jenuh menunggu.

Tidak jauh dari tempatnya menunggu, terdengar perbincangan beberapa orang. Mereka membahas serangan bom di ibukota negara beberapa hari lalu. La Oegi paham semua itu. Makanya dia mewanti-wanti keluarganya untuk waspada. Memberikan pemahaman tentang aksi teroris yang membuat serangan secara tiba-tiba. Membuat kekacauan, sehingga menimbulkan perasaan takut di kalangan masyarakat.

Meski istrinya prihatin akan peristiwa itu, tidak membuat dirinya ikut larut dalam ketakutan. Malah, dia bercerita kepada suaminya. Bahwa, bersama ibu rumah tangga lainnya biasa-biasa saja menanggapi teroris itu. La Oegi masih tidak paham apa yang dimaksud istrinya.

Malah La Ogie rada-rada cemas ketika mendengar ocehan istrinya, "Teroris itu tidak boleh ditakuti, pak. Bagi ibu rumah tangga teroris itu hanyalah benda yang bisa dibikin apa saja," istrinya berkelakar sambil mengacung pisau dapurnya. Melihat tingkat istrinya, La Oegi tambah penasaran. "Apaaa? "Wadduh, jangan sembarang bicara, bu," kata La Oegi dengan nada cemas.

Sebelum masuk pasar tadi, La Oegi sempat menanyakan kepada istrinya, mau bikin sayur apa. "Sayur teroris, pak," jawab sekenanya sambil berlalu. Kemungkinan jawaban si istri dengan kelakar tadi tidak terdengar jelas di kuping La Oegi. Nah, ketika sampai di rumah, istrinya memperjelas, barulah La Oegi heran.

Ternyata, teroris yang dimaksud istrinya, bukanlah sekelompok orang yang membuat serangan untuk meneror atau menakut-nakuti masyarakat dengan tujuan tertentu. Seperti peristiwa Sarinah yang diberitakan media cetak maupun eketronik, beberapa hari lalu.

Tetapi TERORIS versi istri La Oegi itu hanyalah singkatan dari TEROng diiRIs tipiS-tipis. "Apalagi jika ditumis dikasih gula dan cabe biar manis-pedas, lalu disantap sambil meringis-ringis, hehehehehe," katanya sambil ketawa sendiri. "Eh kamu, ada-ada saja," La Oegi mulai paham jika istrinya bercanda sambil menyiapkan santap siang. Cukup sekian guyonan ini. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian PARE POS edisi, Senin, 25 Januari 2016 Kolom Numpang Lewat halaman 6 (Metro Pare)

17 Jan 2016

Kupu-kupu Malam


Oleh Syahrir Hakim

Semarak kehidupan Kota Antah Berantah bergema siang dan malam hari. Penghuninya berpacu dengan waktu mengais rezeki. Kehidupan malam tak kalah meriah dengan gemerlap lampu-lampu. Temaram kerlap-kerlip bintang di langit seolah telah digantikan sinar lampu hias sepanjang malam.

Lampu yang berderet di median jalan sepanjang pinggir pantai tegak menyerupai pohon pinang yang bersinar. Sinarnya berwarna kuning bagian bawah dan hijau di bagian atas. Di puncak pohon itu bertengger mirip binatang kupu-kupu. Di malam hari, kelihatan jika binatang itu sedang melebarkan kedua sayapnya menghadap ke arah selatan. "Indah nian," decak kagum La Oegi yang lagi duduk di tanggul pantai memandang lampu-lampu itu.

Indahnya lampu hias itu, hingga sohib La Oegi bertanya-tanya, "Mengapa harus memilih kupu-kupu yang bersinar di malam hari? Kenapa bukan binatang lain?" La Oegi sangat paham akan maksud pertanyaan sohibnya itu. Sebab "kupu-kupu malam" sering diidentikkan dengan wanita pekerja seks komersial (PSK). Seperti dalam lirik lagu yang diciptakan Titiek Puspa di tahun 1977, Kupu-kupu malam.

Aparat pemerintah Kota Antah Berantah mungkin tidak segegabah yang diperkirakan sohib La Oegi. Hiasan yang menyerupai kupu-kupu di ujung tiang lampu itu, tentunya memiliki makna tersendiri. La Oegi hanya mengira-ngira, kemungkinan binatang kupu-kupu itu dipilih karena merupakan simbol kesempurnaan hidup. Kupu-kupu adalah keindahan dengan semua corak warna dan bentuknya.

Seorang sohib La Oegi pernah menganjurkan agar kita mau belajar pada kehidupan kupu-kupu. Kenapa? Karena kupu-kupu, terlihat elok dan memukau banyak mata. Padahal, awalnya dia hanya seekor ulat yang menjijikkan. Sejarah hidup kupu-kupu telah melewati berbagai tahap kehidupan sebelum berganti rupa menjadi elok dan cantik.

Sebelumnya, hanya seekor ulat yang buruk rupa. Hidupnya merayap di dahan dan dedaunan. Jika nasib sial, hidupnya berakhir di mangsa burung atau serangga lainnya. Setelah matang, ia pun berubah menjadi kepompong. Badannya terbujur kaku menggantung di dahan dan dedaunan. Kepompong tak peduli walau siang hari panas terik menyengatnya, dan malam hari dingin menusuknya.

Beberapa waktu kemudian, keluarlah dari kepompongnya menjadi diri yang sama sekali baru. Indah memukau dengan sayap barunya dan tubuh yang cantik. Jauh beda dari wujudnya semula. Kini kupu-kupu telah mencari kuntum-kuntum bunga yang indah untuk mengisap sari bunga dan menebarkan telur-telur penerus kehidupannya.

Namun, tak banyak orang yang tahu, bahwa manusia juga memiliki roda kehidupan yang mirip dengan kupu-kupu. Ada kelahiran, ada pertumbuhan yang dikuasai nafsu dan keegoisan, ada kematian sementara, kemudian kebangkitan yang mengagumkan. "Permisi cuma numpang lewat," kata La Oegi beranjak dari tempat duduknya. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Kolom Numpang Lewat PARE POS Rubrik Metro Pare (Halaman 3), edisi Senin, 18 Januari 2016.

11 Jan 2016

Setetes Keluhan dari Keran Air


Oleh Syahrir Hakim

Pelayanan PDAM di Negeri Antah Berantah kini berbuah keluhan. Kian hari, gelombang keluhan semakin menjadi-jadi. Masih soal sulitnya mendapatkan air bersih bagi sebagian warga. Minimnya ketersediaan sumber air baku PDAM di musim kemarau. Lebih parah lagi, di musim hujan. Tingkat kekeruhan air sulit diatasi, sehingga menghambat proses pengolahan.

Terkadang kita mendengar ibu-ibu yang lagi belanja kebutuhan dapur, saling bertanya soal air. "Mengalir ji air ta semalam?". Ibu yang ditanya pun spontan menggelengkan kepala sambil menggerakkan bahunya, "Biar sedikit tidak ada yang menetes dari keran."

Terkait minimnya tetesan air dari keran, wakil rakyat Komisi III di Antah Berantah mengundang petinggi pihak PDAM untuk sebuah pertemuan. Tujuannya, mencari solusi agar tidak terdengar lagi keluhan dan protes soal air bersih. "Masyarakat tidak mau tahu, pokoknya air harus mengalir setiap saat. Ini adalah pelayanan dasar kepada masyarakat," kata legislator itu.

Di kesempatan itu, legislator menyarankan agar PDAM membentuk bagian hubungan masyarakat (Humas). Tujuannya, untuk melayani informasi soal perusahaan daerah yang menangani urusan air bersih ke masyarakat. Selain itu, Humas berfungsi menyampaikan penjelasan atas keluhan maupun protes dari warga.

Merekrut tenaga Bagian Humas, sah-sah saja. Namun, menurut La Oegi dalam kondisi sekarang ini, yang dibutuhkan warga hanya eksyen di lapangan, sehingga air mengalir dari keran setiap saat. "Masyarakat menginginkan air tetap mengalir. Meski tarif sudah dinaikkan, tidak jadi masalah asal diiringi peningkatan pelayanan," La Oegi menanggapi.

Lagi-lagi, wakil rakyat itu menyarankan PDAM melakukan studi banding ke Bali. Alasannya, kondisi sumber air baku di sana hampir sama dengan ketersediaan air baku di negerinya La Oegi. Tapi, karena dikelola dengan baik, sehingga hampir tak terdengar keluhan soal distribusi air di Bali.

Meski mendapat saran seperti itu, La Oegi berharap, agar pihak PDAM tidak serta merta berangkat meninggalkan pelanggannya studi banding sambil "plesiran" ke Bali. Apalagi studi banding itu akan menguras anggaran. "Benahi dulu distribusi air, hingga tidak muncul lagi keluhan. Jika semua keran pelanggan sudah mengeluarkan air dengan lancar, sekali-sekali bolehlah plesiran," canda La Oegi.

Meski dihadapkan berbagai masalah, namun PDAM menyatakan kesiapannya melakukan perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, teriakan, keluhan maupun kekhawatiran akan sulitnya air bersih di negeri ini tidak akan pernah terdengar lagi.

Seiring komitmen wali negeri ini, bahwa persoalan air bersih di negerinya harus rampung 2017. Jika mampu diwujudkan, Negeri Antah Berantah tak hanya memenuhi kebutuhan air bersih masyarakatnya, tetapi juga bisa surplus air bersih. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Kolom "Numpang Lewat" Harian PARE POS edisi Selasa, 12 Januari 2016 Halaman 3 (Metro Pare).

5 Jan 2016

Jangan Ada Dusta di Antara Kita


Oleh Syahrir Hakim

Di suatu hari libur, La Oegi menemani istri belanja di pasar. Di tengah keramaian pasar, La Oegi berhenti. Ada sesuatu yang menarik baginya. Seorang penjual dan pembeli sedang melakukan tawar menawar barang kebutuhan pokok. Transaksi terjadi begitu seru. Sampai-sampai La Oegi buka mata mengamati bahasa tubuh dan pasang kuping mendengar dialog keduanya.

La Oegi berdiri di tengah lalu lalang pengunjung pasar. Kedua tangan dilipat rapat mendekap di dadanya. Seolah tak merasakan senggolan pengunjung dari berbagai sudut bagian tubuhnya. Saking asyiknya mengamati transaksi itu, La Oegi tak tahu jika ia sudah ditinggal jauh istrinya. Menyelinap di keramaian pengunjung pasar.

Suara gaduh pengunjung pasar tidak mengusik tawar menawar antara penjual dan pembeli itu tadi. Di benaknya hanya berusaha menguntungkan diri masing-masing. Pembeli ingin memiliki barang kebutuhan yang baik dengan harga murah. Penjual pun tak kalah. Dia ingin menjual dagangannya dengan meraih untung yang cukup lumayan. Meski terselip ketidakjujuran alias dusta dari keduanya.

Simak dialog ini. "Tolonglah pak, dikurangi sedikit harganya. Uang saya hanya Rp10 ribu, tidak ada lagi yang lain," kata ibu itu. Penjual pun bilang, maaf tidak bisa, bu. Modalnya saja sudah Rp12 ribu. Kalau dikasih Rp10 ribu, saya sudah rugi. Padahal kelihatannya pembeli itu masih menyimpan uang di dompetnya lebih dari Rp10 ribu. Penjual pun demikian. Sebenarnya sudah dapat keuntungan, jika dagangannya itu dijual Rp10 ribu.

La Oegi melamun membayangkan betapa terjadinya dusta di antara keduanya. "Dua-duanya sudah melakukan dusta," ujar La Oegi dalam lamunannya. Contoh kecil interaksi dusta yang sudah umum, namun sudah dianggap lumrah. Dusta kecil yang sudah dimaklumi kebanyakan orang. "Satu hal yang membuat kehidupan manusia penuh dengan masalah pelik, karena tidak dapat menghindari perbuatan dusta alias bohong," gumam La Oegi.

Masih dalam lamunan La Ogie, sebagai seorang pengamat sosial, pernah mendengar kata-kata orang bijak, bahwa tidak seorang pun manusia yang luput dari perbuatan dusta, kecuali para nabi. Dusta adalah penyimpangan yang nyata dan banyak terjadi di sekitar kita. Baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Baik ketika menjual ataupun membeli. Dusta juga kerap hadir dalam sumpah maupun perjanjian.

Sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani aparat penegak hukum di Negeri Antah  Berantah, tidak lebih karena adanya dusta di dalamnya. Rakyat negeri inipun berharap, jangan ada lagi dusta di antara kita (mirip judul lagu yang dinyanyikan Broery Marantika & Dewi Yull). Maksudnya, agar kasus-kasus tersebut segera dituntaskan. Jika yang terjadi sebaliknya, maka lengkaplah sudah jagad dusta di negeri ini, membuat rakyat negeri ini sesak napas.

Sesak napas bukan karena penyakit atau kemiskinan yang menghimpit. Tetapi karena polusi dusta yang sudah melebihi ambang batas martabat kemanusiaan. Sontak istrinya menepuk bahu dari belakang, La Oegi tersadar dari lamunannya. "Ayo kita pulang!" ajak istrinya. La Oegi pun mengikuti istrinya dengan membantu membawa barang belanjaan pulang ke rumah. "Permisi La Oegi cuma numpang lewat," ujarnya kepada orang-orang di dekatnya. (**)

Tulisan ini dimuat di Harian PARE POS edisi Rabu, 6 Januari 2016 halaman 3 (Metro Pare)