28 Okt 2014

Menagih Janji


oleh: Syahrir Hakim

Pagi itu, saya memilih sarapan pallubasa di warung pinggir jalan. Sambil menunggu pesanan, saya sempat baca koran. Layanan publik. Di halaman ini, setiap hari memuat keluhan, saran, dan kritik dari masyarakat. Soal pelayanan dan fasilitas umum. Seolah-olah mereka berteriak, berharap keluhannya didengar dan segera diberi solusi. "Pemerintah, dengarkanlah keluhan rakyatmu!"

Pemerintah pun setiap hari bergelut dengan setumpuk masalah. Namun, setiap hari pula muncul persoalan baru, menambah pekerjaan yang belum terselesaikan. Kita patut mengangkat jempol kanan. Menyatakan salut kepada pemerintah yang tetap peduli terhadap rakyatnya.

Sambil menikmati sarapan, saya membatin. Mengapa sikap kegotongroyongan masyarakat terkesan mulai pudar? Salah satu contoh. Keluhan warga soal selokan mampet di depan rumahnya. Lantas meminta instansi terkait segera mengatasi selokan mampet itu.

Mengapa harus menunggu instansi terkait? Mengapa tidak mengambil saja sekop atau kayu, kemudian mengais-ngais sampah yang membuat selokan itu mampet. Lantas timbul pertanyaan lain. Mengapa masyarakat demikian mudahnya mengalihkan permasalahannya kepada pemerintah? Mengapa masyarakat terkesan kian hari semakin rewel dan manja?

Belum sempat menemukan jawaban mengapa dan mengapanya, mata saya tertuju ke sebuah spanduk. Spanduk yang sengaja dipasang penjual pallubasa sebagai tirai penutup agar pengunjungnya tidak tembus pandang. Spanduk bekas kampanye pilkada itu, berisi janji-janji gratis dan berbagai kemudahan.

Ah, ternyata masyarakat tak akan pernah melupakan janji-janji dari pemimpin yang dipilihnya. Seolah janji-janji itu tak akan hilang dari memori mereka. Ketika tidak dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, serba mudah, dan gratis. Maka keluhan mereka pun bermunculan di media sebagai ungkapan menagih janji. (**)

19 Okt 2014

"Sakitnya Tuh di Sini......."


oleh Syahrir Hakim

Siang itu, La Oegi sedang menikmati kopi di sebuah warkop. Wajahnya kelihatan pucat. Keringat dingin membasahi lehernya. Matanya sayu menatap kosong ke depan. Usut punya usut, ternyata teman saya ini, lagi kurang enak badan. Baru saja menerima perlakuan kurang menyenangkan dari istrinya. Masih beruntung tidak ada barang yang "terbang" saat itu.

Meski La Oegi sabar menghadapi istrinya yang tempramental, tetapi ia meradang juga. "Sakit hati juga rasanya," bisik La Oegi kepada saya sembari menepuk-nepuk telapak tangan kanan ke dadanya. Mirip video klip Cita Citata atau Audia Marissa ketika menyanyi. Mendendangkan lagu "Sakitnya Tuh Disini" yang lagi populer di kalangan kaula muda saat ini.

La Oegi menyeruput sedikit demi sedikit kopinya lalu mengisap dalam-dalam rokok kreteknya. Lalu dia menceritakan awal "petaka" itu. Setelah sarapan pagi, istrinya menyuruh bergegas menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Andi Makkasau. Tentunya membawa urusan penyakit.

Ingin cepat-cepat mendapatkan pelayanan, tetap saja diadang antrean di loket pendaftaran maupun loket pengambilan jaminan. Setelah diperiksa dan berkonsultasi dokter, La Oegi pun menuju loket pengambilan obat.

Puluhan pasien lainnya sudah menunggu di depan loket tersebut. Nyaris tidak ada tempat duduk tersisa. Sebagian ngobrol dengan teman duduknya. Ada yang tersenyum dan tertawa. Tapi tidak sedikit menampakkan wajah yang kurang bersahabat. Mereka mengoceh, tak sabar menunggu. Termasuk La Oegi.

Sang mentari makin menanjak makin terasa panasnya. Keterlambatan kerja petugas farmasi jadi tema ocehan pasien. Pasien mengganggap cara kerja petugas di loket pembagian obat itu terlalu lambat. Meski mendengar ocehan itu, merekatetap tenang dan penuh ketelitian membagikan obat sesuai resep dokter.

Kembali ke masalah La Oegi. Lambatnya tiba di rumah lantaran antrean di loket obat begitu lama. Sang istri pun protes, terlambat diantar belanja, hingga terlambat memasak. Akibatnya terlambat pula makan siang. "Mudah-mudahan keterlambatan semua ini, tidak menjadi penyakit baru," begitu doa La Oegi setelah makan siang. (*)

23 Sep 2014

Mengapa Bukan Saya.....


Oleh Syahrir Hakim

Dari kiri, Erni Lery, Hindra, Surfi, Vitri, Baya, dan Naya dalam kegiatan Jalan Sehat Merah Putih.
Peserta jalan sehat memenuhi lapangan Andi Makkasau, Ahad, 21 September 2014. Terik mentari pagi mulai menebar. Embusan angin "barubu" pun kian kencang. Sekencang harapan peserta agar keberuntungan berpihak padanya. Meraih hadiah yang disediakan penyelenggara.

Even Jalan Sehat Merah Putih itu, sebagai rangkaian peringatan ke 14 hari lahirnya Harian PARE POS. Surat kabar yang bertagline "Terbesar di Utara Sulsel." Tak tanggung-tanggung, panitia menyediakan hadiah utama tiket perjalanan Umroh gratis.

Peserta mulai buka mata, pasang telinga. Saatnya kupon undian diumumkan. Lembaran potongan kupon masing-masing di tangan peserta. Seorang teman saya bernama La Oegi sejak tiba di lapangan, tak pernah diam. Duduk tak nyaman, berdiri pun tak enak.

Raut wajahnya tampak penuh harap. Sesekali melirik nomor seri beberapa lembar kupon miliknya. Mencocokkan satu demi satu angka di kupon dengan angka yang disebutkan panitia.

Tiba-tiba terdengar sorakan uuuuuuuu .............! Angka yang disebutkan panitia ternyata berbeda angka di kupon La Oegi. Dia pun berdiri menatap rumput lapangan yang mulai kering akibat kemarau. Batinnya seolah berontak lalu berkata, "Mengapa bukan saya........"

Sebagai teman yang baik, saya mendekati seraya menepuk-nepuk bahunya berusaha menyabarkan. Apa boleh buat sobat, rezeki belum berpihak kepada Anda. Meskipun sudah ada usaha. Tahukah Anda, dalam kehidupan ini tidak ada kata kebetulan. Selalu dalam penyelenggaraan Ilahi. Rezeki, jodoh, dan maut merupakan rahasia Ilahi.

Menutup tulisan ini, saya mengutip kalimat-kalimat Dahlan Iskan dalam bukunya Ganti Hati. "Saya sudah biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apapun dan siapa pun. Setidaknya, tidak akan membuat saya terlalu kecewa. Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya kita ciptakan sendiri. Untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah. Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak."

15 Sep 2014

"Kudis" Diceklok


Oleh Syahrir Hakim

Dua penyakit yang sering menggerogoti "kesehatan" oknum pegawai pemerintah di kota antah berantah. Jika wabah penyakit ini menyerang, tidak memandang pangkat serta golongan. Dari pegawai rendahan, menengah hingga petinggi akan terkena.

Kedua penyakit itu kudis dan asma. Kudis, bukan semacam penyakit kulit. Tetapi yang saya maksudkan "kurang disiplin". Asma, juga bukan gangguan pernapasan atau bengek. Kata itu saya persingkat dari "asal mengisi absen".

"Sakit"-nya sebagian oknum pegawai, merupakan "duka" bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimana tidak, "kesehatan" yang terganggu akan berakibat pada menurunnya kinerja pegawai. Ujung-ujungnya akan menghambat pelayanan terhadap masyarakat.

Seorang teman bertanya, "Adakah upaya petinggi kota menyembuhkan penyakit bawahannya?" Saya jawab, ada. "Apa itu?" sergahnya. Tentunya pembinaan, kata saya.
Pembinaan itu, bisa berupa penerapan sistem absensi elektronik yang biasa disebut mesin ceklok. Dengan sistem ini masyarakat berharap, semoga "sakit"-nya para oknum segera sembuh total. Meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Sistem terdahulu sudah diberlakukan absensi secara manual. Tetapi sistem tanda tangan itu dianggap bukan zamannya lagi. Apalagi sebagai manusia yang diberi akal sehat, selalu dan selalu mencari celah, agar bisa mengakali sistem absensi.

Masyarakat kembali bertanya-tanya, selama beberapa bulan penerapan mesin ceklok, bagaimana hasilnya? Wah...! Luar biasa. Hasil evaluasi informal dari mulut ke mulut (yang benar dari mulut ke kuping), mesin ceklok memang mendongkrak tingkat kedisiplinan pegawai. Mereka menceklok tepat waktu.

Saking meningkatnya kedisiplinan itu, konon ada di antara pegawai yang mewajibkan diri menceklok sebelum mandi pagi. Usai mengabsen baru kembali lagi ke rumah untuk mandi. "Lebih baik menunda mandi pagi daripada terlambat menceklok," mungkin itu prinsipnya. Lantas, kapan kembali lagi ke kantornya? Entahlah.....! Kalau saya tahu, saya tulis juga di sini. (**)

5 Sep 2014

Tulisan Humor Ala Dahlan Iskan


Pengantar:
Artikel ini saya dapatkan di sebuah blog. Ditulis oleh Dahlan Iskan, big bosnya Jawa Pos Group. Karena bagus, saya posting di blog ini. Mungkin tulisan ini sudah lama, tapi tetap menarik dicermati. Mari tertawa disaat keadaan serba sulit. Mumpung masih gratis…
Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!

Oleh: Dahlan Iskan

Guyonan itu, rupanya, tidak berlebihan. Meski sudah banyak yang meramalkan bahwa penampilan Gus Dur di depan DPR beberapa tahun lalu bakal ramai, toh tidak ada yang menyangka bahwa sampai seramai itu.
Kalau bukan kiai, mana berani menjadikan pidato Ketua DPR Akbar Tandjung sebagai sasaran humor? Akbar sejak dulu memang selalu memulai pidato dengan memanjatkan syukur. Maka, Gus Dur pun melucu, yang membuat semua anggota DPR tertawa: syukur memang perludipanjatkan karena Syukur tidak bisa memanjat
Begitu menariknya, karuan saja pidato presiden kini banyak ditunggu penonton televisi. Padahal, dulu-dulu kalau presiden pidato di TV banyak yang mematikan TV-nya. Begitu tidak menariknya pidato presiden di masa Orde Baru sampai-sampai pernah para anggota DPRD diwajibkan mendengarkannya. Itu pun harus diawasi agar mereka sungguh-sungguh seperti mendengarkan. Untuk itu, perlu diadakan sidang pleno DPRD dengan acara khusus nonton televisi.***
Mungkin Gus Dur tidak menyangka bahwa suatu saat dirinya jadi presiden. Maka, di masa lalu banyak sekali presiden di dunia ini yang jadi sasaran humornya. Misalnya saat tampil bersama humorolog Jaya Suprana di TPI tahun lalu. Gus Dur menceritakan, Hosni Mubarak, presiden Mesir, sangat marah karena seorang rakyatnya membuat 39 humor yang menyakitkan hati Mubarak.
“Saya ini presiden, saya bisa hukum kamu, apakah kamu tidak takut?” bentak Mubarak. Apa jawab si pembuat humor? “Mohon ampun paduka. Humor ke-40 itu bukan kami yang membuat!”
Saat itu Gus Dur juga menghumorkan Pak Harto yang sangat ditakuti, tapi sebenarnya juga dibenci rakyat banyak. Suatu kali Pak Harto terhanyut di sungai dan hampir meninggal. Seorang petani menolongnya dengan ikhlas. Si petani tidak tahu siapa sebenarnya yang dia tolong itu.
“Saya ini presiden. Presiden Soeharto. Kamu telah menyelamatkan saya. Imbalan apa yang kamu minta?” kata Soeharto. “Pak, saya hanya minta satu,” jawab si petani. “Jangan beri tahu siapa pun bahwa saya yang menolong Bapak.” Presiden
Habibie yang doyan bicara itu juga dijadikan sasaran humor Gus Dur. Suatu saat Gus Dur yang terkenal gampang tertidur (tapi selalu bisa mengikuti apa yang dibicarakan orang selama dia tidur) menghadap Habibie. Sang presiden bicara ke sana kemari tidak henti-hentinya. Apa komentar Gus Dur?
“Saya sih cuek saja. Biar dia bicara terus. Toh saya tidur,” katanya.***
Sikap cuek memang ciri khas Gus Dur. Namun bukan berarti mengabaikan. Dia memang ngotot tetap keliling negara-negara ASEAN meski banyak tokoh memintanya pulang (karena Aceh gawat). Bahkan, dia juga tetap ke AS dan Jepang. Dan, sebentar lagi ke negara-negara Timur Tengah.
Apakah Gus Dur cuek sungguhan? Saya kira tidak. Gus Dur tentu tahu bahwa salah satu syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya pengakuan negara lain. Sepanjang tidak ada negara lain yang mengakui, maka berdirinya sebuah negara dianggap tidak sah.
Nah, Gus Dur bisa sekalian keliling ke negara-negara itu untuk merayu mereka agar jangan memberikan pengakuan dulu kepada Aceh atau bagian mana pun dari Indonesia. Kalau seluruh negara ASEAN tidak memberikan pengakuan, kalau AS dan Jepang tidak memberikan pengakuan, kalau negara-negara Timteng bersikap sama dan demikian juga negara-negara lain, maka kemerdekaan Aceh belum akan terjadi.
Ini berarti Gus Dur masih punya waktu untuk negosiasi dengan Aceh. Selama kurun waktu yang pendek itu, Gus Dur bisa menuntaskan seluruh persoalan yang selama ini menyebabkan rakyat Aceh marah. Ini berbeda dengan soal Timtim yang memang tidak diakui dunia internasional sebagai bagian Indonesia.***
Gus Dur memang kelihatan cuek, namun sebenarnya serius. Gus Dur juga kelihatan sering mbanyol, namun juga serius. Sikap cuek itu bukan saja tertuju kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Suatu saat saya menjenguk Gus Dur yang diopname karena stroke di RSCM Jakarta. Saat itu saya memang presiden direktur PT Nusumma dan Gus Dur presiden komisarisnya. Saya lihat Gus Dur berbaring miring karena memang belum boleh duduk. Setelah menyalaminya, saya mengucapkan permintaan maaf karena baru hari itu bisa menjenguk. “Saya sakit gigi berat, Gus,” ujar saya.
Tanpa saya duga, Gus Dur ternyata men-cuekin keadaan kesehatannya. Dia langsung memberi saya teka-teki yang ternyata humor segar. “Sampeyan tahu nggak, apa yang menyebabkan sakit gigi?” tanyanya.
“Tidak, Gus,” jawab saya.
“Penyebab sakit gigi itu sama dengan penyebab orang hamil dan sama juga dengan penyebab mengapa rumput sempat tumbuh tinggi,” katanya. Saya masih melongo.
Gus Dur menjawab sendiri teka-tekinya. “Yaitu sama-sama terlambat dicabut,” ujarnya. Saya langsung tertawa. ***
Di saat yang lain pesawat yang akan ditumpangi Gus Dur ke Semarang batal berangkat. Padahal, dia sudah lama menunggu. Gus Dur biasa sekali antre tiket sendiri. Meski ada hambatan pada penglihatan, Gus Dur sudah sangat hafal liku-liku bandara. Saking seringnya bepergian.
Saat itu di Jateng lagi getol-getolnya kuningisasi. Apa saja, mulai bangunan sampai pohon-pohon, dicat kuning atas instruksi Gubernur Jateng Suwardi. Maksudnya agar rakyat semakin mencintai Golkar. Maka, ketika para penumpang lain marah-marah, Gus Dur cuek saja.
”Sampeyan tahu nggak mengapa pesawat ini batal berangkat ke Semarang?”tanyanya.
Lalu, dia menjawab sendiri pertanyaannya: “Pilotnya takut, kalau-kalau begitu pesawatnya mendarat langsung dicat kuning,” katanya. Humor ini kemudian menjadi sangat populer. ***
Begitulah. Hampir tidak pernah pertemuan saya dengan Gus Dur tanpa diselipi humor. Sasaran humornya bisa dirinya sendiri, bisa NU yang dia pimpin, bisa juga para kiai sendiri.
Pernah Gus Dur punya humor begini: seorang kiai datang mengeluh kepadanya karena satu di antara empat anaknya masuk Kristen. Sang kiai mengeluh,kurang berbuat apa sampai terjadi demikian. Padahal, dia tidakkurang-kurangnya berdoa kepada Tuhan agar tidak ada anaknya yang masuk Kristen. “Sampeyan jangan mengeluh kepada Tuhan. Nanti Tuhan akan bilang, saya saja punya anak satu-satunya masuk Kristen!” ***
Kita memang sedang melihat sosok presiden yang amat berbeda. Ketika dia salah ucap di depan DPR dengan mengatakan “tentang pembubaran DPR … eh, Deppen dan Depsos…” dengan entengnya Gus Dur menertawakan dirinya sendiri sebagai penutup kesalahan ucap itu.
“Yah, beginilah kalau presidennya batuk dan Wapresnya flu!” Sama juga ketika dia tampil di forum internasional di Bali. Dengan entengnya, Gus Dur mengejek dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang sangat baik bagaimana sebuah negara yang presidennya buta dan wapresnya bisu. ***
Dari semua tokoh yang berkomentar terhadap laku Gus Dur seperti itu, adik kandungnyalah yang bisa memberikan gambaran tepat. “Gus Dur itu seperti sopir yang kalau belok tidak memberi richting dan kalau ngerem selalu mendadak,” ujar Salahuddin Wahid, sang adik.
Tapi, bisakah Gus Dur mengerem Aceh? Gus Dur tentu sudah mendengar Aceh itu ibarat kelapa. Seperti yang disampaikan seorang tokoh Aceh di TV. Rakyat adalah airnya, ulama adalah dagingnya, mahasiswa adalah batoknya, dan GAM adalah sabutnya. Tokoh tersebut berpendapat ulamalah yang harus dijaga.
Sebagai ulama, tentu Gus Dur lebih tahu bagaimana caranya. Gus Dur punya humor bagaimana harus merangkul ulama. Suatu saat rombongan ulama naik bus. Ada seorang ulama yang membuka jendela sehingga tangan si ulama keluar dari bus. Ini tentu bahaya dan melanggar peraturan “dilarang mengeluarkan anggota badan”.
“Jangan sekali-kali menegurnya dengan alasan membahayakan tangan si ulama,” ujar Gus Dur. Lalu bagaimana? “Bilang saja begini: Mohon tangan Bapak jangan keluar dari jendela karena tiang-tiang listriknya nanti bisa bengkok!”. ***
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap DPR setelah dijadikan sasaran humor Gus Dur sebagai taman kanak-kanak itu? Sebaiknya dicuekin saja. Kalau DPR ribut terus bisa-bisa Gus Dur malah dapat bahan humor baru. Misalnya dengan mengatakan bahwa DPR ternyata malah seperti play group!
Bahkan, tidak mustahil kalau Gus Dur justru berkata begini: Kok sampeyan yang tersinggung. Mestinya kan taman kanak-kanaknya!
*Judul dari saya sendiri

25 Agu 2014

Ketika Aparat Bertelinga Bolot


Oleh Syahrir Hakim

Tulisan kali ini terinspirasi "Gelitik"-nya Fuad Rumi (almarhum) yang dimuat Harian Fajar beberapa waktu lalu. Saya pun tergelitik menulis peran seorang pelawak gaek yang selalu dituntut bermain sebagai orang yang berpura-pura tuli. Nama populernya Bolot.

Menonton banyolan Bolot terasa tak membosankan. Setiap kali menyaksikan lawakannya, seolah gigi tak pernah basah. Aktingnya selalu mengundang tawa. Malah ada di antara pemirsa tertawa dengan suara terpingkal-pingkal. Setelah menyaksikan lawan bicara bolot yang kesal, seakan dicuekin.

Bolot seolah-olah tak mendengar ketika diajak bicara. Lain yang ditanyakan, lain pula jawabannya. Tapi, jika soal duit, tak ditanya pun dia sudah nyeletuk. Apalagi jika wanita cantik yang mengajak ngobrol, langsung nyambung. "Astagaaaa, dasar Bolot....!" teriak seorang pemirsa.

Dalam sebuah lawakan di salah satu stasiun TV swasta, pelawak Sule berusaha menggali dari mana inspirasi peran budek pak Bolot. Tapi tak berhasil, yang ada hanya rasa kesal. Lantas Sule memanggil Maya, pembantunya yang cantik untuk menanyakan hal itu. Siapa tahu semuanya akan diungkap Pak Bolot.

Ketika Maya duduk di samping kiri Bolot, pelawak itu pun mulai mesem-mesem. "Dalam lawakannya, Pak Haji kan selalu perankan orang pura-pura budek alias tuli," belum selesai pertanyaan Maya, Bolot langsung menyambar, "Ohhh, Bolot! Itu orang Budek." Penonton di studio pun terdengar geeeer.....

Maya memperjelas pertanyaannya, "Dari mana inspirasinya, pak haji?" Sambil tertawa, Bolot mengatakan, "Itu ciri khas saya. Kan pelawak lain sudah pada punya ciri khas lawakan sendiri. Kalau budek kan belum ada yang punya." Spontan kembali terdengar tawa penonton di studio dan pemirsa.

Lakon pemilik nama asli Haji Muh Sulaeman itu, seolah-olah menyindir perilaku sebagian aparat di seputar kita. Aparat yang salah respon dalam menerapkan perintah. Sebab, aparat seperti itu, akan salah dalam mengambil tindakan. Lain keinginan atasan, lain pula yang dilakukan. Akibatnya, rakyat lah yang menanggung derita.

Banyolan Bolot di layar kaca ternyata bukan hanya sekadar lawakan untuk menghibur permirsa. Tetapi skenario itu lebih menggambarkan sebuah fakta sosial yang acapkali terjadi di seputar kita. Bagaimana tidak nyambungnya, dan betapa runyamnya urusan, jika aparat kita bertelinga ala Bolot.

17 Agu 2014

Dirgahayu PARE POS


Oleh Syahrir Hakim

Dengan penuh rasa syukur atas karunia Allah SWT, hari ini, 18 Agustus 2014 Harian PARE POS genap berusia 14 tahun. Koran harian terbesar di utara Sulawesi Selatan ini sudah 14 tahun mengunjungi masyarakat pembacanya yang tersebar di Maros, Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, Enrekang, Soppeng, Wajo, dan Sulbar.

Selama 14 tahun perjalanan media ini, banyak peristiwa yang dilalui. Begitu banyak masukan, baik saran maupun kritik dari pembaca selama ini. Semua itu menjadi bahan evaluasi dan introspeksi ke dalam demi kepuasan pembaca.

Meski belum semua masukan pembaca dapat dilaksanakan semata-mata karena keterbatasan. Namun, pengelola berharap ke depan masukan itu bisa diwujudkan.

Sudah menjadi tradisi setiap memperingati hari kelahirannya, pengelola Harian PARE POS menganugerahkan penghargaan kepada sejumlah tokoh yang dianggap telah mengambil peranan penting dalam memajukan masyarakat dan daerahnya.

Penganugerahan penghargaan kali ini akan dilaksanakan dalam malam syukuran, 11 September 2014 mendatang. Sebanyak 14 tokoh akan menerima penghargaan. Ke 14 tokoh tersebut, dianggap telah memberikan sumbangsih atau kontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat dan daerah, khususnya di wilayah cakupan pembaca Harian PARE POS.

Dalam kesempatan memperingati hari kelahiran koran ini, pengelola mengucapkan terima kasih kepada segenap pembaca dan relasi yang telah bersedia menjadikan media ini sebagai santapan informasi setiap hari. Tanpa dukungan dari pembaca, Harian PARE POS bukan apa-apa.

Sebagai perusahaan penerbitan yang terus berkembang, pengelola berusaha untuk terus meningkatkan kualitas pemberitaan dan layanan kepada pembaca. Hanya dengan inovasi terus meneruslah, Harian PARE POS akan menjadi media yang lebih berkualitas. Lebih dekat di hati pembaca. Dirgahayulah Harian PARE POS!