20 Mar 2016

Gara-gara Antraks Mendadak Jadi 'Jurkam'


Oleh Syahrir Hakim

SEPERTI biasa, La Oegi masuk ke warung kopi (warkop) dengan ucapan assalamu alaikum yang fasih dan jelas. Beberapa pelanggan warkop menjawab salam tersebut. Sebagian hanya sekadar mengangkat kepala memandang sekilas. Apakah mereka menjawab salam dalam hati atau tidak. Entahlah, hanya mereka dan Allah SWT yang tahu.

La Oegi langsung menuju meja paling pojok. Di sana sudah ada sohibnya duduk manis sambil mengisap dalam-dalam kreteknya. Di atas meja terletak secangkir kopi. Ada bungkusan rokok kretek entah berapa batang isinya, korek api gas, dan asbak. Setelah merapatkan pantatnya di kursi, La Oegi memesan teh susu dan roti bakar kepada pelayan warkop.

Sambil berbincang dengan sohibnya, sesekali La Oegi menyeruput tehnya di tatakan cangkir. Fokus perbincangan soal sohibnya yang mendadak jadi 'jurkam'. Siapa pula yang mengajaknya menjadi 'jurkam'. Padahal pemilihan wali negeri (Pilwari) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg) di Antah Berantah masih dua tahun lagi.

Di tengah beredarnya isu itu dirinya menanggapi dingin. Malah dia mengaku jika tidak ada parpol yang mau menerimanya jadi anggota. Apalagi jadi jurkam. "Saya kan orangnya sulit berbohong. Kekurangan saya tidak bisa pidato. Sedangkan jurkam itu, orator dan sedikit bisa bohong," ujar sohibnya.

La Oegi menimpali, isi kampanye biasanya lebih banyak janji belaka. Menyindir dan mengejek lawan politik. Lawan sudah dianggap musuh. “Apakah lawan dan musuh itu berbeda?” tanya sohibnya. “Ya beda lah, bro. Coba lihat pertandingan olahraga. Kita bisa bertanding kalau ada lawan. Tetapi jika pertandingan sudah kacau balau, justru yang muncul musuh-musuhan,” jelas La Oegi.

Kembali ke pokok masalah. Keseharian sohib La Oegi itu sebagai juragan daging sapi di pasar semi modern. Maraknya berita di media tentang wabah antraks yang menyerang hewan sapi di daerah tetangga, sehingga dia menghentikan aktivitasnya. Sambil menunggu adanya jaminan hewan sapi bebas antraks, sohib La Oegi itu mengalihkan aktivitasnya untuk sementara menjadi juragan kambing alias 'Jurkam'. "Bukan juru kampanye atau jurkam parpol," ungkap La Oegi.

Belakangan sohib La Oegi bersama kawan-kawan senasib bernapas lega. Dinas terkait menyatakan, daging sapi di negeri Antah Berantah layak konsumsi atau tidak terinveksi wabah antraks. Meski demikian, aparat terkait diminta untuk tetap melakukan pengawasan terhadap daging yang akan dikonsumsi masyarakat.

La Oegi juga berharap kepada dinas terkait agar memberikan perlindungan terhadap peternak sapi dan masyarakat. Maksimalkan pencegahan dengan langkah yang antisipatif. Sebab antraks tidak lagi menyerang ternak sapi, tapi juga rawan terhadap manusia. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim di Harian PARE POS edisi Senin, 21 Maret 2016

13 Mar 2016

Tahun Kebingungan


Oleh Syahrir Hakim

Suasana riuh di warung kopi (Warkop), siang itu. Saking padatnya pengunjung, nyaris tidak ada kursi kosong. Sambil menyuruput kopi hangat, mereka berbincang beraneka masalah. Tiba-tiba sohib La Oegi yang baru masuk warkop itu memecahkan suasana. Sambil menarik sebuah kursi yang belum diduduki, dia berkata, "Tahun ini adalah tahun kebingungan." Entah apa maksudnya dia berkata begitu.

La Oegi yang duduk di pojok ruangan warkop itu, beranjak mendekati sohibnya. Batinnya berkata, mengapa sohibnya mengatakan tahun ini adalah tahun kebingungan? Apakah dia bingung melihat hasil pembangunan negeri ini? Atau ada masalah di permukimannya yang membuat dirinya jadi bingung?

"Makanya rajin-rajin baca koran, pak. Dengarkan radio, sehingga tidak ketinggalan informasi. Semua mengabarkan jika tahun ini adalah tahun yang penuh harapan. Meski tantangan juga kian berat. Jelas-jelas wali negeri ini menyebut jika tahun ini adalah tahun untuk berinovasi," La Oegi berusaha memberi pemahaman kepada sohibnya.

Sohib La Oegi tak mau kalah, dia menimpali. Orang-orang cerdas di luar sana mengatakan beginilah-begitulah. Pertumbuhan ekonomi khususnya di negeri Antah Berantah, kata mereka cukup baik. Tapi, dia masih sering mendengar di mana-mana para ibu rumah tangga mengeluh. Harga bahan pokok masih tetap nangkring di atas, tak turun-turun. "Ini juga yang membuat saya bingung," kata si sohib itu.

Dia terus nyerocos. Sorot matanya tajam menatap wajah pelanggan warkop yang duduk di sekitarnya. Seolah minta dipahami apa yang diomongkan. Si sohib meneruskan ocehannya, tahu sendiri kan? Kalau harga makanan naik terus, akibatnya celana melorot lantaran perut kempes karena jarang diisi.

"Kalau celana sering melorot, apalagi melorotnya di malam hari, tahu sendiri dampaknya terhadap program KB," kata si sohib sambil mengunyah roti bakar sekaligus mengulum senyum iseng. Mendengar ocehan sohib La Oegi, beberapa pengunjung warkop tak kuat menahan senyum. Bahkan ada yang sampai tertawa.

Menurut La Oegi, tahun silam, wali negeri menetapkan sebagai tahun kinerja. Nah, kita bisa melihat hasilnya sekarang. Bagaimana kemajuan pembangunan negeri Antah Berantah dalam dua tahun terakhir ini. Wali negerinya memiliki terobosan luar biasa, berinovasi memoles negerinya. Meski tak bisa dipungkiri, bahwa masih ada di antara masyarakat yang merasa wilayah permukimannya dianaktirikan.

Mendengar penjelasan La Oegi, sohibnya mengangguk-angguk. Pertanda paham atau malah mengangguk karena mengantuk. Entahlah. Sebagian pelanggan warkop sebenarnya sudah paham bahwa tahun 2016 ini adalah tahun inovasi. Tetapi ini hanya penegasan La Oegi kepada sohibnya, bahwa tahun inovasi untuk memaksimalkan pelayanan. Dengan sebuah inovasi, tentu saja jauh lebih baik dari yang pernah dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat soal pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan.

La Oegi sok mengingatkan, bahwa untuk mendukung suksesnya tahun inovasi ini,
atasan harus senantiasa mengajak bawahannya untuk tidak henti-hentinya berinovasi. Sebab, salah satu ukuran inovasi adalah adanya prestasi yang dilakukan. Jika aparatnya inovatif, maka dipastikan aparat dimaksud akan mendulang prestasi. Permisi La Oegi numpang lewat. (**)

Tulisan ini sudah dimuat dalam "Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim" Harian PARE POS, edisi Senin, 14 Maret 2016

6 Mar 2016

Ikhlaslah Seperti Buah Kelapa


Oleh Syahrir Hakim

Pergantian pejabat di Negeri Antah Berantah masih menjadi perbincangan hangat sejumlah kalangan. Termasuk La Oegi dan sohibnya. Bukan rahasia lagi, bahwa pejabat yang diganti maupun penggantinya kadang berbeda sikap. Ada yang senang, ada yang kecewa, dan tak sedikit pula yang sewot. Itulah tema yang lagi ngetren belakangan ini.

Siang itu, La Oegi bersama sohibnya lagi menikmati es kelapa muda di Jalan Jenderal Sudirman. Di saat sohibnya ngoceh soal pergantian pejabat, La Oegi malah cuek. Perhatiannya tertuju pada tumpukan buah kelapa. Iya, buah kelapa milik penjual es kelapa yang bertumpuk di sebelah kanan kaki gerobaknya.

Melihat keseriusan La Oegi memerhatikan buah kelapa yang diproses hingga menjadi minuman segar, sohibnya pun tertarik ikut memerhatikan "kejadian" itu. Meski belum paham betul apa yang terjadi. "Wah betul-betul," La Oegi berdecak kagum. Sohibnya bertanya, "Memangnya ada apa sobat?"

La Oegi menunjuk ke arah penjual es kelapa. Coba perhatikan penjual es kelapa itu, bagaimana ia "memerlakukan" kelapa. Diawali ketika dipetik, buah kelapa itu dipelintir dari pohonnya hingga berjatuhan ke tanah berguling-guling. Tiba di tangan penjual es kelapa, buah itu dipukul-pukul, diparangi, dibacok, dan dibelah dua. Kemudian mengambil dagingnya dengan cara mencungkil. "Sadis!" kata La Oegi.

Jadilah es kelapa. Jika kelapa tua, dagingnya dimasukkan ke mesin parut, lalu diperas agar keluar santannya. Ketika santan telah dicampur dengan daging, ikan, dan sayuran lainnya, hilanglah nama kelapa atau santan. Muncul nama-nama lain semisal rendang, gulai, lodeh, tongseng dan sebagainya. Tidak ada yang menyebutnya sayur kelapa atau sayur santan.

La Oegi kian larut dalam lamunan nasib kelapa. Meskipun diperlakukan sedemikian rupa, kelapa tidak pernah protes dan ingin nama baiknya dipulihkan. Kelapa tetaplah kelapa, sebagai buah yang melambangkan keikhlasan, tanpa pamrih, namun tetap memberi manfaat bagi umat manusia.

Lalu apa hubungannya dengan pergantian pejabat di negeri Antah Berantah? Mendengar pertanyaan sohibnya, La Oegi tiba-tiba tersentak dari lamunan. Tiba masa tiba akalnya, La Oegi menjawab, "Hidup ini, tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, bro. Begitulah kenyataannya."

Kata La Oegi, seseorang yang diberi amanah memegang jabatan, harus senantiasa menanamkan dalam dirinya keikhlasan melaksanakan amanah itu. Orang yang ikhlas, di dalam hatinya penuh dengan penerimaan. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, diterima dengan lapang dada. "Ikhlas seperti kelapa," katanya mencontohkan.

Ketika atasannya membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya misalnya, dia tetap tenang. Ketika teman-temannya bersaing secara tidak sehat, malah dia mampu untuk tersenyum. Itu tadi, karena dia memiliki kemampuan menerima kondisi itu dengan keikhlasan. Seperti itu, kata La Oegi sambil beranjak dari tempat duduknya. "Permisi cuma numpang lewat." (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam kolom "Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM" di Harian PARE POS edisi Senin, 7 Maret 2016 halaman 6 (Metro Pare) 

8 Feb 2016

Monyet dan Kacang


Oleh Syahrir Hakim

Sebuah anekdot sering muncul dalam suasana hari raya. Seorang akung (sebutan kakek warga Tionghoa) dibuat kesal atas ulah oknum. Setiap hari raya, akung jadi bulan-bulanan oknum yang minta angpao. Maksudnya angpao berisi duit.

Saking seringnya datang, akung kadang ngomong sendiri dengan dialeknya yang totok, "Oe pucing lihat olang ini. Lebalan datang, natal datang, tahun baru datang yuga, eeeeeh........., imlek datang laaagi".

Akung duduk di bangku bulat mengenakan kaos singlet swan brand. Dipadukan celana piyama garis-garis. Tangan kanannya menggerak-gerakkan kipas sate, sambil ngomel, "Dikacih lokok, minta luit. Dikacih luit, wadduh lokok diembat yuga. Eeeeeh....., pulang minta ongkoc lagi. Hayyaaa......, benel-benel tak abic pikil, lu olang punya agama apa yaaa?" kesal akung mengetuk-ngetuk jidatnya dengan telapak tangan kanan.

Hayyaaa......., sekadar anekdot. Sudahlah, kita tinggalkan si akung. Kemarin warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek 2567. Di negeri La Oegi, Antah Berantah penyambutan tahun baru Imlek dilakukan secara sederhana. Meski sederhana, namun kebersamaan menjadi perekat sebagai warga negara Indonesia. Serekat kue bakul dan dodol Cina. Kue khas Imlek.

Menurut keyakinan Tionghoa, tahun baru Imlek 2567 melambangkan Monyet Api. La Oegi berharap, semoga di tahun ini kita mampu melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan segenap umat manusia di negeri ini. Sehubungan tahun monyet, La Oegi memaparkan kisah tentang monyet dan pemburu. Dalam kisah itu, pemburu punya cara unik menangkap monyet di hutan. Teknik itu dilakukan agar monyet bisa ditangkap dalam kondisi hidup tanpa cedera sedikitpun. Caranya sederhana.

Pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang diberi aroma khusus. Kemudian ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples tanpa tutup. Ketika mencium aroma itu, monyet akan berlomba mendekati toples-toples itu. Lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang dalam toples.

Tapi karena menggenggam kacang, monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang di tangannya, selama itu pula monyet terjebak. Toples itupun terlalu berat untuk diangkat. Dengan mudahnya para pemburu menangkap monyet-monyet itu.

Mungkin kita akan tertawa jika melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa disadari, sebenarnya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Kenapa? Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita menggenggam erat setiap permasalahan yang dimiliki, layaknya monyet menggenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Seiring tahun baru Imlek 2567 bagi warga Tionghoa, La Oegi mengepalkan tangan kanan, tangan kiri menutupi tangan kanan. Kedua ibu jari menghadap ke atas dan kepalan tangan diletakkan sejajar dengan dada. Kemudian mengucapkan Gong xi fa cai atau selamat sukses, semoga sejahtera. "Permisi, numpang lewat," kata La Oegi sambil berlalu. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM di Harian PARE POS hal 4 (Metro Pare) edisi Selasa, 9-02-16.

1 Feb 2016

Lupa Ingatan


Oleh Syahrir Hakim

La Oegi tidak akan menyanyikan sebuah lagu dari Band Kotak seperti judul di atas 'Lupa Ingatan'. Hanya mengingatkan kembali, bahwa puluhan ribu lembar kartu sejenis 'kartu sakti' yang pernah dibagikan ke masyarakat, kini 'menganggur'. Ternyata tidak berlaku. Kenapa? Entahlah, La Oegi juga tidak tahu penyebabnya.

Kartu tersebut dimunculkan jelang pemilihan wali negeri (Pilwari) Antah Berantah, beberapa waktu lalu. Sejatinya, 'kartu sakti' adalah sebuah harapan baru. Harapan bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Bisa menyekolahkan anak dan bisa menikmati hidup layak. Itulah kira-kira manfaat sebuah 'kartu sakti'.

Saat pengumpulan massa, seorang tim sukses menjelaskan, “Ini salah satu bukti konkret dari kami. Terkait program gratis pro rakyat yang sangat menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Kartu ini, adalah kontrak politik pasangan calon penguasa negeri yang bisa ditagih langsung oleh masyarakat, jika nanti terpilih menjadi penguasa negeri," kata tim sukses itu meyakinkan.

Tergiur manfaatnya, puluhan ribuan warga menerima pemberian itu. Namun, hingga kini tak diketahui nasib kartu tersebut. Beberapa sohib La Oegi sebagai pemegang kartu, hanya saling lempar pertanyaan. Baik berupa status di media sosial, maupun obrolan di warung kopi. Meskipun keluhan itu sudah sampai di kuping para tim sukses wali negeri, tak kunjung ada penjelasan selanjutnya.

Memang diakui, jika selama ini kepemimpinan wali negeri itu tak diragukan lagi. Banyak menorehkan terobosan. Tangan dinginnya mampu memoles negerinya. Membangun dan mempercantik di sana-sini. Namun, kabar 'kartu sakti' seolah-seolah tertimbun oleh inovasi dalam membangun negerinya. 'Kartu sakti' sudah terlupakan.

Kata La Oegi, kita semua pernah merasakan lupa. Itu lumrah saja selama frekuensinya tidak sering terjadi. Tapi jangan sampai kebiasaan lupa ini menjadi semakin sering. Apalagi jika lupa janji yang pernah diucapkan di hadapan rakyat. "Waah, ini namanya T-E-R-L-A-L-U," kata seorang sohib La Oegi.

Penasaran. Lagi-lagi bukan judul lagu dangdutnya Rhoma Irama. Tetapi itulah yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Sampai-sampai wakil wali negeri pun kewalahan menjawab pertanyaan melalui SMS. "Mau jawab apa? Saya saja yang ada foto di kartu itu, juga tidak tahu untuk apa," jawab sekenanya kepada penanya.

Seiring berjalannya waktu, La Oegi berharap semoga pemimpin negerinya tidak termasuk dalam golongan kalimat canda ini. Apa itu? "Sebelum jadi, suka mengobral janji. Setelah jadi, malah lupa ingatan," begitu bunyi kalimatnya.

La Oegi pun mencatat sebuah kalimat bijak. Hidup dan mati dikuasai oleh lidah. Siapa yang suka menggemakan, akan memakan buahnya. Berdasarkan ucapan kita, kita akan dibenarkan atau disalahkan. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat..... (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pagi PARE POS edisi, Senin, 1 Februari 2016 Kolom "Numpang Lewat" halaman 4 (Metro Pare)

24 Jan 2016

Sayur Teroris


Oleh Syahrir Hakim

Minggu pagi kemarin, cuaca cerah di Kota Antah Berantah. Secerah wajah La Oegi mengantar istrinya ke pasar berbelanja. Dalam benaknya, hitung-hitung biaya transpor tidak ke mana. Sambil menunggu di tempat parkir, La Oegi mengutak-atik henpon. Membaca kembali SMS yang masuk atau yang sudah terkirim. Sekadar mengobati perasaan jenuh menunggu.

Tidak jauh dari tempatnya menunggu, terdengar perbincangan beberapa orang. Mereka membahas serangan bom di ibukota negara beberapa hari lalu. La Oegi paham semua itu. Makanya dia mewanti-wanti keluarganya untuk waspada. Memberikan pemahaman tentang aksi teroris yang membuat serangan secara tiba-tiba. Membuat kekacauan, sehingga menimbulkan perasaan takut di kalangan masyarakat.

Meski istrinya prihatin akan peristiwa itu, tidak membuat dirinya ikut larut dalam ketakutan. Malah, dia bercerita kepada suaminya. Bahwa, bersama ibu rumah tangga lainnya biasa-biasa saja menanggapi teroris itu. La Oegi masih tidak paham apa yang dimaksud istrinya.

Malah La Ogie rada-rada cemas ketika mendengar ocehan istrinya, "Teroris itu tidak boleh ditakuti, pak. Bagi ibu rumah tangga teroris itu hanyalah benda yang bisa dibikin apa saja," istrinya berkelakar sambil mengacung pisau dapurnya. Melihat tingkat istrinya, La Oegi tambah penasaran. "Apaaa? "Wadduh, jangan sembarang bicara, bu," kata La Oegi dengan nada cemas.

Sebelum masuk pasar tadi, La Oegi sempat menanyakan kepada istrinya, mau bikin sayur apa. "Sayur teroris, pak," jawab sekenanya sambil berlalu. Kemungkinan jawaban si istri dengan kelakar tadi tidak terdengar jelas di kuping La Oegi. Nah, ketika sampai di rumah, istrinya memperjelas, barulah La Oegi heran.

Ternyata, teroris yang dimaksud istrinya, bukanlah sekelompok orang yang membuat serangan untuk meneror atau menakut-nakuti masyarakat dengan tujuan tertentu. Seperti peristiwa Sarinah yang diberitakan media cetak maupun eketronik, beberapa hari lalu.

Tetapi TERORIS versi istri La Oegi itu hanyalah singkatan dari TEROng diiRIs tipiS-tipis. "Apalagi jika ditumis dikasih gula dan cabe biar manis-pedas, lalu disantap sambil meringis-ringis, hehehehehe," katanya sambil ketawa sendiri. "Eh kamu, ada-ada saja," La Oegi mulai paham jika istrinya bercanda sambil menyiapkan santap siang. Cukup sekian guyonan ini. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian PARE POS edisi, Senin, 25 Januari 2016 Kolom Numpang Lewat halaman 6 (Metro Pare)

17 Jan 2016

Kupu-kupu Malam


Oleh Syahrir Hakim

Semarak kehidupan Kota Antah Berantah bergema siang dan malam hari. Penghuninya berpacu dengan waktu mengais rezeki. Kehidupan malam tak kalah meriah dengan gemerlap lampu-lampu. Temaram kerlap-kerlip bintang di langit seolah telah digantikan sinar lampu hias sepanjang malam.

Lampu yang berderet di median jalan sepanjang pinggir pantai tegak menyerupai pohon pinang yang bersinar. Sinarnya berwarna kuning bagian bawah dan hijau di bagian atas. Di puncak pohon itu bertengger mirip binatang kupu-kupu. Di malam hari, kelihatan jika binatang itu sedang melebarkan kedua sayapnya menghadap ke arah selatan. "Indah nian," decak kagum La Oegi yang lagi duduk di tanggul pantai memandang lampu-lampu itu.

Indahnya lampu hias itu, hingga sohib La Oegi bertanya-tanya, "Mengapa harus memilih kupu-kupu yang bersinar di malam hari? Kenapa bukan binatang lain?" La Oegi sangat paham akan maksud pertanyaan sohibnya itu. Sebab "kupu-kupu malam" sering diidentikkan dengan wanita pekerja seks komersial (PSK). Seperti dalam lirik lagu yang diciptakan Titiek Puspa di tahun 1977, Kupu-kupu malam.

Aparat pemerintah Kota Antah Berantah mungkin tidak segegabah yang diperkirakan sohib La Oegi. Hiasan yang menyerupai kupu-kupu di ujung tiang lampu itu, tentunya memiliki makna tersendiri. La Oegi hanya mengira-ngira, kemungkinan binatang kupu-kupu itu dipilih karena merupakan simbol kesempurnaan hidup. Kupu-kupu adalah keindahan dengan semua corak warna dan bentuknya.

Seorang sohib La Oegi pernah menganjurkan agar kita mau belajar pada kehidupan kupu-kupu. Kenapa? Karena kupu-kupu, terlihat elok dan memukau banyak mata. Padahal, awalnya dia hanya seekor ulat yang menjijikkan. Sejarah hidup kupu-kupu telah melewati berbagai tahap kehidupan sebelum berganti rupa menjadi elok dan cantik.

Sebelumnya, hanya seekor ulat yang buruk rupa. Hidupnya merayap di dahan dan dedaunan. Jika nasib sial, hidupnya berakhir di mangsa burung atau serangga lainnya. Setelah matang, ia pun berubah menjadi kepompong. Badannya terbujur kaku menggantung di dahan dan dedaunan. Kepompong tak peduli walau siang hari panas terik menyengatnya, dan malam hari dingin menusuknya.

Beberapa waktu kemudian, keluarlah dari kepompongnya menjadi diri yang sama sekali baru. Indah memukau dengan sayap barunya dan tubuh yang cantik. Jauh beda dari wujudnya semula. Kini kupu-kupu telah mencari kuntum-kuntum bunga yang indah untuk mengisap sari bunga dan menebarkan telur-telur penerus kehidupannya.

Namun, tak banyak orang yang tahu, bahwa manusia juga memiliki roda kehidupan yang mirip dengan kupu-kupu. Ada kelahiran, ada pertumbuhan yang dikuasai nafsu dan keegoisan, ada kematian sementara, kemudian kebangkitan yang mengagumkan. "Permisi cuma numpang lewat," kata La Oegi beranjak dari tempat duduknya. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Kolom Numpang Lewat PARE POS Rubrik Metro Pare (Halaman 3), edisi Senin, 18 Januari 2016.