30 Mar 2015

Pengangguran Intelektual


Oleh Syahrir Hakim

Dalam pekan ini, dua sekolah tinggi di Kota Antah Berantah mewisuda ratusan sarjana baru. Bagi mereka yang meraih kelulusan merupakan pesta keberhasilan. Berhasil menyelesaikan pendidikannya. Bagi orangtua, juga berhasil memenuhi kewajiban memfasilitasi pendidikan putra-putrinya. Keberhasilan itu berpadu memancarkan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan bagi wisudawan dan keluarganya.

Termasuk keluarga La Oegi merasakan hal itu. Paling tidak, keluarga La Oegi sudah bisa memasang di ruang tamu, foto anaknya berjubah hitam dan toga bertengger di kepala. Dengan begitu kelak, setiap tamu yang singgah di rumahnya jadi tahu. Oh, di rumah ini ada sarjana!

Di tengah kebahagiaan keluarganya, La Oegi malah bersikap tak biasa. Ternyata dia amat sangat prihatin. Meski anaknya berhasil lulus sarjana dengan predikat cumlaude. "Kalau dikatakan bangga, bolehlah saya disebut bangga. Saya sudah menyalami anak saya. Sudah berterima kasih karena sudah memenuhi kewajiban menyelesaikan pendidikannya," ucap La Oegi.

Tapi bukan itu yang ada dibenak La Oegi. Setiap kali menyaksikan prosesi wisuda sarjana, terlihat ratusan wajah anak muda dan keluarganya berseri-seri. "Tapi pada hakikatnya yang tampak itu adalah antrean pengangguran anyar yang mengular tambah panjang," ujar La Oegi.

Kemungkinan hari ini mereka tampak bersukaria, foto bareng keluarga dan teman mereka dengan bibir tersungging melengkung ke atas. Tapi lusa atau bulan depan, siapa yang bisa menjamin garis bibir mereka tak melengkung ke bawah? Artinya siapa yang bisa memberikan kepastian atas ketersediaan lowongan kerja. Dengan kata lain, mereka dapat menjemput masa depannya dengan aman dan penuh kepastian.

Jika tidak demikian, suka atau tidak suka, wisuda bisa dikatakan "gerbang keluar" para penganggur intelektual. "Kalau sudah begini, biaya pendidikan yang mahal, yang sering menjadi keluhan, ternyata tidak mampu menjadikan lulusannya siap bertarung ke dunia kerja," La Oegi membatin.

Masih mending bagi mereka yang memiliki pekerjaan sebelum diwisuda. Atau mereka dari kalangan keluarga mampu dan sudah punya pekerjaan waktu kuliah. Jika tidak termasuk golongan ini, maka dipastikan ketika selesai wisuda, mereka langsung jadi pengangguran intelektual.

Pengangguran intelektual adalah problematika bangsa kita saat ini. Kesempatan kerja yang ada tidak sebanding dengan wisudawan yang dihasilkan kampus setiap tahun. Problema ini harus segera dijawab oleh pemerintah. Jika tidak mau melihat makin bertambahnya pengangguran bersarjana.

La Oegi teringat cerita seorang temannya. Seorang sarjana ditanya calon mertuanya, "Sibuk apa kamu sekarang? Kerja apa?" Dengan kalem sarjana itu menjawab, "Alhamdulillah, pak, sekarang kerja saya ya, sibuk mencari pekerjaan...." Hal seperti inilah yang dikhawatirkan La Oegi.

Usai memijit jidatnya, La Oegi mengatakan, institusi pendidikan di negeri ini, sudah saatnya membangkitkan mentalitas kewirausahaan di kalangan mahasiswa. Tujuannya, agar kelak ketika selesai kuliah, bukan menambah barisan pengangguran. Tetapi sebaliknya dapat menjadi generasi yang mandiri dan tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tanpa harus menjadi "pengemis" pekerjaan di berbagai instansi pemerintah dan swasta. (**)

0 komentar:

Posting Komentar