15 Feb 2015

Wagiman


Oleh Syahrir Hakim

Besok insya Allah, 17 Februari bertemu kembali tanggal hari jadi Kota Antah Berantah. Namun, "pesta" peringatan HUT ke 55 itu ditunda. Soal perkotaan, saya teringat tatkala masih bertugas di "Tanah Tapis" Lampung, pernah menurunkan sebuah tulisan berjudul Wagiman. Singkatan dari "Wali Kota Gila Taman".

Tulisan itu terkait gebrakan yang dinilai tak biasa bagi seorang wali kota. Saking "gilanya" wali kota saat itu, Drs Nurdin Muhayat (1986-1995), nyaris menyulap semua sudut-sudut kota dan perempatan jalan menjadi taman kota. Meskipun keindahan taman menjadi prioritas dalam menata kotanya, tetapi program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lainnya tetap berjalan.

Alasan Nurdin saat itu, dilihat dari fungsi dan manfaat yang ditimbulkan dari sebuah taman kota. Menjadi poin penting dalam perencanaan sebuah kota. Selain itu, berfungsi untuk menjaga kualitas lingkungan perkotaan yang padat aktivitas

Semua pegawainya masing-masing sibuk di bidangnya. Ibu-ibu Tim Penggerak PKK pun tak luput dari tugas. Tugas apa itu? Wajib menanami semua taman dengan berbagai macam kembang warna-warni. Warga pun diwajibkan menanam di halaman rumahnya kembang seragam. Bunga cantik manis namanya. Keinginan Nurdin kala itu, bukan muluk-muluk. Hanya ingin kotanya bersih, hijau, dan teduh, sehingga menjadi sebuah "Kota dalam Taman".

Jika taman-taman terpelihara dengan baik, tentunya membuat kota kelihatan indah dan hijau. "Maka, jika dipandang dari atas udara, kota itu terlihat bagai dalam taman," kata Nurdin suatu saat. Gebrakan Nurdin dalam periodenya membuahkan hasil. Kota Bandar Lampung berkali-kali meraih piala Adipura hingga "merumahkan" Adipura Kencana.

Jika Nurdin saat itu saya gelari Wagiman, La Oegi juga tak mau ketinggalan. Dia juga menyebut wali kotanya sebagai Wagiman. "Tetapi tunggu dulu sobat.......!" La Oegi cepat-cepat meluruskan kembali kalimat yang baru saja diucapkan. Kata dia, bukan "Wali Kota Gila Taman", tetapi "Wali Kota Gemari Taman". Disingkat juga Wagiman. Ahhh......, La Oegi bisa-bisanya mempermainkan kata.

Faktanya memang demikian. "Serupa tapi tak sama," kata La Oegi yang rada ceplas-ceplos jika diajak ngobrol. Sejumlah taman di kota itu dibenahi. Ada yang baru dibangun, ada pula yang direnovasi. Dilengkapi patung pejuang, lampu ornamen, air mancur, dan tanaman hias. Penerangan jalan umum pun tak luput dari perhatian wali kotanya. Kota itu diupayakan menjadi kota terang benderang di malam hari.

Soal kebersihan, kata La Oegi, tak perlu diragukan. Setiap Jumat semua SKPD turun memantau wilayah binaannya. Kebersihan kota digenjot bukan karena ambisi meraih adipura. Tetapi bersihnya lingkungan, merupakan salah satu faktor yang mendukung program kota sehat.

Namun, La Oegi menyayangkan masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan. "Saya kerap menyaksikan warga membuang sampah secara sembarangan. Padahal tempat sampah sudah disiapkan di sejumlah titik di beberapa lokasi. Tapi tetap saja membuang sampah di jalanan atau di pinggir pantai," katanya dengan nada tinggi.

Akhirnya, saya mengajak La Oegi menyimak kembali kata Wali Kota Bandar Lampung Nurdin Muhayat (saat itu, penulis). Jika kotanya dipandang dari atas udara, maka akan terlihat indahnya sebuah "kota dalam taman". Nah, satu pertanyaan untuk La Oegi, jika Kota Antah Berantah ini dipandang dari atas udara, akan seperti apa pula?. "Entahlah," hanya sesingkat itu jawaban La Oegie sambil berlalu. (**)

8 Feb 2015

Roh HPN 2015 Ternoda


Oleh Syahrir Hakim

HARI ini, Senin, 9 Februari 2015 bertepatan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 dan HUT ke-69 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). "Pesta" pekerja media ini digelar secara nasional di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Beberapa hari sebelumnya, para insan pers dari segala penjuru nusantara ini sudah tumplek di kota itu.

Perhelatan HPN setiap tahun, merupakan ajang pertemuan Dewan Pers, pengurus pusat organisasi pers serta para petinggi media. Bahasan dalam pertemuan akbar itu, tidak jauh-jauh dari masalah kebebasan pers, kesejahteraan pekerja media, dan perlindungan hukum bagi wartawan. Inilah yang disebut roh atau semangat HPN.

Ironisnya, jelang puncak acara HPN 2015, seorang awak media mendapat perlakuan tak terpuji. Tindakan kekerasan fisik itu menimpa wartawan PARE POS yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik di Kabupaten Pangkep. Insiden itu terjadi Jumat, 6 Februari 2015. Pelakunya diduga seorang oknum anggota berseragam. Alamaaaak......! Ternyata roh HPN 2015 ternoda.

Kekerasan fisik terhadap wartawan masih sering mewarnai kehidupan pers kita. Salah satu penyebabnya, masih banyak pihak yang kurang memahami posisi penting pers di masyarakat. Padahal pekerja media yang lazim disebut wartawan, melaksanakan tugas yang sangat mulia. Mencari dan mendapatkan informasi untuk masyarakat luas, sehingga dalam bekerja, wartawan dilindungi UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Terjadinya tindak kekerasan terhadap para pekerja media adalah perbuatan yang jelas-jelas tidak dibenarkan oleh hukum. Apalagi jika pelakunya diduga aparat negara yang notabene bertugas melindungi dan menganyomi masyarakat. Maka jika wartawan dianiaya, apalagi oleh oknum polisi, sama saja oknum polisi itu menganiaya masyarakat. Lebih parah lagi, oknum penganiaya telah merampas hak asasi masyarakat untuk mendapatkan informasi atau berita dari wartawan.

Meski dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 menyatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Tetapi aksi kekerasan setiap saat dapat mengancam wartawan kapan dan di mana pun. Namun, perlindungan terhadap pekerja media masih jauh dari memadai. Celakanya, proses hukum yang berlangsung cenderung tidak pernah terdengar hasilnya.

Saya dan teman-teman sesama pekerja media, tentunya berharap kepada semua pihak agar tidak main hakim sendiri terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya. Demikian pula bagi teman-teman pekerja media agar menyikapi masalah yang timbul di wilayah tugasnya. Tetap mengedepankan sikap independen dengan Kode Etik Jurnalistik dan
menegakkan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Semoga tindak kekerasan terhadap pekerja media tidak terulang lagi. Dirgahayu Pers Nasional! (**)

28 Jan 2015

Bekas Tapi Berkelas


Oleh Syahrir Hakim

Kali ini saya terinspirasi dengan tiga singkatan. Ketiga singkatan itu sama artinya. Mengacu kepada pakaian bekas layak pakai. Kalau di Palembang barang tersebut biasa disebut BJ. Singkatan dari “burukan Jambi”.

Kenapa dikatakan “burukan Jambi”? Pakaian bekas layak pakai ini konon didatangkan dari Singapura melalui "pelabuhan tikus" di Jambi. Kemudian dijual di pasar sepanyol alias "separo nyolong" istilah wong kito di Kota "Pempek" Palembang. Di kota-kota di Jawa barang seperti itu dinamakan loakan atau rombengan.

Beberapa malam lalu, saya berkomunikasi dengan teman facebook (FB) di Kota Medan. Dia bercerita jika di daerahnya juga ada istilah BJ. Tapi bukan lagi "burukan Jambi" melainkan "burukan Jerman". Saya sempat membatin, kenapa menggunakan nama “Jerman”.

Teman FB saya itu menjelaskan, pada zaman duhulu, kala misionaris pertama yang datang ke tanah Batak, membawa pakaian-pakaian bekas layak pakai dari Jerman. Mereka membagi-bagikan kepada penduduk lokal. Sekarang, meski pakaian bekas ini sebagian besar dari Singapura, julukan "burukan Jerman" (BJ) tetap saja melekat pada barang itu.

Lain lagi cerita teman FB saya di Surabaya. Dia mengatakan, jika pakaian bekas layak pakai di kawasan Jawa Timur biasa diistilahkan “BI” alias “Batam Impor”. Wah, ini lebih keren lagi. Kenapa? Karena tak mengandung unsur kata “burukan”. Memang, teman saya itu tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dinamakan “Batam Impor”.

Tetapi saya sering mendengar cerita orang, Pulau Batam yang berdekatan dengan Singapura, konon merupakan tempat transit barang-barang "begituan". Barang-barang seperti itu selanjutnya disebarkan ke berbagai kota di Indonesia. Pakaian-pakaian bekas ini rata-rata bermerk, sehingga banyak peminatnya.

Pakaian bekas layak pakai di kotanya La Oegi, antah berantah, juga banyak. Tetapi namanya lain. Mereka menamakan "cap karung" disingkat "cakar". Barang seperti itu mudah dijumpai di pasar-pasar pagi maupun malam. Sayangnya, saya juga kurang paham dari mana asal barang yang berkarung-karung itu.

Pakaian "cakar" sudah tidak asing bagi kita. Bekas tetapi berkelas. Mungkin kata yang paling tepat buat pakaian "cap karung" alias "cakar" ini. Sebab, "cakar" adalah pakaian impor bekas yang berkualitas.

Tetapi kenapa disebut "cap karung" alias "cakar"? Informasi yang diperoleh La Oegi juga kurang jelas. Hanya dikatakan, dalam tahap pengiriman barang impor itu menggunakan karung-karung. Pakaian dari berbagai merek itupun berbau karung, sehingga disimpulkan bahwa pakaian bekas itu dinamakan "cakar" atau "cap karung". (**)

Bangsal Teratai Layaknya Pasar


Surat Terbuka Buat Direktur RSU Andi Makkasau, Parepare


Oleh Syahrir Hakim

Terlebih dahulu saya minta maaf kepada Direktur RSU A Makkasau, jika unek-unek saya ini mengusik ketenangan bapak. Saya hanya ingin agar bapak mengetahui ulah petugas RSU A Makkasau terutama di Bangsal Teratai, sehingga mendapatkan perhatian yang serius. Bukan laporan, asal direktur senang (ADS).

Sebab, jika ulah petugas seperti itu mendapat pembiaran, cepat atau lambat akan membahayakan pasien di sana. Pasien di RS ini berharap mendapatkan pelayanan sesuai haknya dan butuh istirahat yang cukup. Bukan "numpang tidur" di tempat layaknya pasar.

Hal seperti itu terjadi pada diri saya. Hari Kamis, 22 Januari 2015, saya chek up di Poli Jantung (cardiac centre). Setelah diperiksa, dr Hj Nurainah menyarankan saya diopname. "Harus istirahat dan butuh ketenangan," begitu kata dokter. Sayangnya, ruang cardiac full pasien. Saya pun dititip di bangsal Teratai Kelas IA. Sebagai peserta BPJS kelas II, pikir saya, tidak apalah. Paling banter hanya bayar selisih biaya kalau pun ada.

Sebagai seorang pasien jantung, saya butuh istirahat dan ketenangan. Tentu demikian juga harapan pasien lainnya. Tetapi apa yang terjadi? Sehari semalam di bangsal Teratai kelas I A layaknya saya berada di tengah-tengah pasar. Sangat terusik dengan tingkah laku para petugasnya. Tidak siang, tidak malam para petugas ngobrol dengan nada suara tinggi. Suara candaan, tertawa terbahak-bahak hingga pukul 22.00 Wita. Saya betul-betul tersiksa, tidak bisa tidur. Mungkin pasien lain juga mengalaminya.

Jika saya bertahan di bangsal itu, jelas penyakit saya akan bertambah. Ketika istri saya mencoba menyampaikan agar tidak berisik, malah salah seorang di antara petugas menjawab, "Kalau tidak tahan silakan keluar". Makanya, ketika dr Nurainah datang memeriksa saya, Jumat, 23 Januari 2014 siang, saya minta keluar, berobat jalan. Meski dokter menyarankan dipindahkan dititip di Vip Room, saya hanya mengucapkan terima kasih. Saya sudah trauma. Minta pulang saja ke rumah, akhirnya diizinkan. (**)

21 Jan 2015

Antisipasi Pohon Tumbang


Oleh Syahrir Hakim

Cuaca akhir-akhir ini dianggap kurang bersahabat. Terkadang mendung, kadang panas terik, dan kadang juga hujan gerimis. Tetapi yang lebih sering hujan deras disertai tiupan angin kencang. Kondisi seperti ini biasa disebut cuaca tak menentu, cuaca buruk atau cuaca ekstrem.

Cuaca seperti ini muncul setiap tahun. Jika tiba masanya, diharap berhati-hati. Baik yang berdiam di rumah maupun pengguna jalan. Sebab, curah hujan yang disertai angin kencang, kadang menerjang apa saja. Terutama pohon yang sudah lapuk akan tumbang. Braaak.....!

Di kotanya La Oegi, Antah Berantah, sudah beberapa pohon yang tumbang. Beruntung, tidak ada korban jiwa maupun kerugian materi. Penyebab pohon itu tumbang, hujan deras disertai angin kencang. Kata warga sekitar tempat kejadian.

Menyikapi fenomena alam ini, La Ogie berharap, instansi terkait melakukan sejumlah antisipasi. Salah satunya, menebang pohon yang berpotensi tumbang. Terutama pohon yang sudah tua dan lapuk. Batangnya mulai rapuh, sehingga akarnya tidak kuat menahan beban. Jika pohon seperti ini dibiarkan, jelas akan membahayakan. Bisa tumbang kapan saja.

Jika tumbang menimpa rumah salah satu warga, akan merepotkan instansi terkait. Pemilik rumah akan meminta dana bantuan perbaikan rumah. Jika pemilik atau anggota keluarganya ada yang cedera, jelas paramedis akan turun tangan. Batang pohon yang tumbang pun akan mengganggu arus lalu lintas.

Selama ini instansi terkait telah berupaya melakukan pemangkasan pada bagian dahan dan ranting pohon. Namun ternyata hasilnya kurang efektif. Sebab, beban akar pohon hanya berkurang sedikit. Sedangkan bagian atas masih menjulang tinggi. Akibatnya begitu hujan turun disertai angin, pohon pun tumbang.

La Oegie juga berharap agar instansi terkait menyiapkan tim yang bersiaga penuh saat mendapat informasi pohon tumbang. Tim tersebut nantinya segera turun ke lokasi untuk melakukan pemangkasan sekaligus pembersihan, sehingga arus lalu lintas tak terganggu. (**)


Halo Call Centre 112......!


Oleh Syahrir Hakim

Kemarin malam, Senin, 12 Januari 2015, saya cepat-cepat meninggalkan kantor. Tidak seperti biasanya. Saya terusik dengan penyakit entah apa namanya. Sakit perut, BAB berulang kali, badan terasa demam, keringat dingin, dan kepala pusing.

Malam itu, istri saya menyarankan masuk RSUD Andi Makkasau. Saya pikir jika menuruti saran istri saya, ada kemungkinan dokter "menyimpan" satu atau dua hari di rumah sakit. Alasannya, perawatan yang intensif. Jika itu dilakukan, artinya beberapa hari juga tidak masuk kantor. Tugas-tugas saya pun di kantor terbengkalai.

Solusinya malam itu sekitar pukul 23.30 Wita, saya sarankan istri menghubungi 112. Nomor layanan kesehatan darurat dan gratis. Layanan ini dapat dinikmati langsung dari rumah warga. "Halo call centre 112?" tanya istri saya pada seseorang yang mengangkat gagang telepon. "Iya, apa yang bisa dibantu bu?" tanya penerima telepon. Setelah istri saya menjelaskan kondisi dan alamat saya, terdengar dari ujung telepon di sana, "Sabar ya bu, tunggu sebentar."

Sekitar dua puluh menit kemudian, sebuah mobil yang dibranding tulisan Ambulance Call Centre 112 sudah tiba di depan rumah saya. Dua orang paramedis disertai empat orang petugas lainnya turun dari ambulance. Setelah memeriksa tekanan darah, perut, dan bagian belakang badan saya, perawat memberikan obat untuk segera diminum.

Layanan kesehatan yang bersifat darurat dan gratis, kini saya nikmati langsung dari rumah. Saya salut akan kecepatan pelayanan yang saya butuhkan malam itu. Terima kasih saya ucapkan berulang-ulang kepada para petugas. Besoknya, saya kembali periksakan diri ke dokter RSU Andi Makkasau.

Layanan Call Centre 112 ini, merupakan program unggulan wali kota Parepare. Salah satu terobosan bidang kesehatan Pemerintah Kota Parepare yang digagas Wali Kota HM Taufan Pawe. Terobosan ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kesehatan masyarakatnya. Sayangnya, terkadang masih saja ada segelintir orang-orang tak bertanggung jawab mengganggu layanan yang bersufat kemanusian ini. Padahal layanan ini merupakan kebutuhan bersama. (**)







6 Jan 2015

Jadi Responden CRC


Diwawancarai Gadis Cantik

Oleh Syahrir Hakim

Andi Fitri (Surveyor CRC)
Pulang dari pasar Lakessi mengantar istri belanja, saya parkir motor. Baru dua langkah akan memasuki rumah, seorang gadis mengucapkan salam. "Wa alaikum salam," jawabku. Gadis  itupun bertanya, "Betul ini rumah pak Syahrir Hakim?" Sambil memandang wajahnya yang bulat putih, saya jawab, "Betul, saya sendiri. Dari mana ya?" saya kembali bertanya. "Surveyor dari CRC, pak," jawabnya dengan senyum manis.

"Ayo di dalam," saya ajak masuk ke rumah dan persilakan duduk. "Apa yang perlu dibantu?" Gadis itupun mengutarakan maksud kedatangannya menemui saya. Dia salah seorang surveyor dari Celebes Research Center (CRC) yang melakukan pengumpulan data dari sejumlah responden. Mereka menyebar di Kota Parepare menggali informasi dari responden soal Tata Kelola Pemerintahan Kota Parepare.

Saya tercatat salah seorang responden di RT saya. Lantas kenapa bisa nama saya yang masuk sebagai salah seorang responden? Padahal masih banyak warga lainnya yang lebih bisa mengomentari masalah-masalah di kota ini. Menurut surveyor yang punya nama Andi Fitri itu, pemilihan respondennya, bukan asal tunjuk. Tetapi melalui pemilihan secara acak. Jadi sejumlah nama dalam satu RT diacak. Secara kebetulan nama saya yang terpilih di antara sekian banyak warga di RT 004/RW 002.

Sejumlah pertanyaan dengan jawaban puas atau tidak puas. Perlu segera dibenahi atau tidak perlu. Pertanyaannya mulai dari masalah air bersih, penerangan jalan umum, fasilitas umum. Selain itu masalah politik tidak luput dari pertanyaan yang harus dijawab. Misalnya soal kepuasan atas kepemimpinan wali kota HM Taufan Pawe. Soal hubungan yang katanya kurang harmonisnya antara wali kota dan wakilnya.

Setelah quisioner terisi semua, obrolan kami pun cair. Dia cerita soal kondisi keluarganya di Makassar dalam hal pendidikan. Dia tinggal bersama tantenya, salah seorang dosen di Universitas Negeri Makassar (UNM).
Tak terasa hampir satu jam ngobrol ngalor ngidul. Fitri minta pamit untuk meneruskan tugasnya ke lokasi lain. Istri saya keluar mencarikan ojek untuk mengantarkan ke lokasi tersebut. (**)