10 Apr 2016

Kartu Tes Urine


Petugas BNNP Sulsel Ishak Iskandar bersama dua rekannya saat bertandang di PARE POS
MOMUMEN Cinta Sejati Habibie-Ainun menjadi saksi bisu peluncuran program Parepare Peduli Perangi Narkoba, Minggu 10 April 2016. Event itu dirangkaikan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Provinsi Sulsel 2016. Tidak tanggung-tanggung, panitia menghadirkan pejabat teras Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat dan Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo.

Program itu merupakan langkah Pemkot Parepare dalam upaya 'bersih-bersih' dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayahnya. Tak dapat disangkal lagi pergerakan peredaran gelap narkoba semakin liar. Boleh dikata, narkoba sudah menyasar semua lini.

Hampir setiap hari media menyuguhkan berita penangkapan penyalahgunaan narkoba. Tersangka pelakunya bukan saja warga sipil, tetapi oknum aparat pemerintahan, penegak hukum, malah sudah sampai kepada aparat keamanan.

Merinding juga bulu roma mendengar geliat para pengedar dan pengguna narkoba sekarang ini. Batin saya mengatakan, jika sekiranya pemerintah perlu melakukan tes urine secara nasional. Meski sekarang ini, beberapa instansi sudah melakukan hal itu bagi pejabat dan pegawainya.

Tes urine secara nasional maksudnya, semua warga negara harus tes urine. Kalau perlu dibuatkan semacam 'Kartu Hasil Tes Urine'. Jika ada urusan ke kelurahan, kecamatan, atau ke mana saja, termasuk caleg, bakal calon pilkada wajib menunjukkan 'Kartu Hasil Tes Urine' tersebut.

Jika tes urine secara nasional ini dilakukan, tentunya akan menggunakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi jika dibanding dengan akibat yang akan ditimbulkan, cepat atau lambat bisa habis satu generasi dalam negara ini. Bayangkan! Rasa kecanduan yang diciptakan narkoba tersimpan dalam memori pecandu, sehingga membuat pecandu itu sulit lepas dari pengaruh buruk narkoba.

Terkait peredaran narkoba, sebuah informasi menyebutkan, dalam perang modern yang disebut perang asimetris alias perang nonmiliter, narkoba merupakan alat efektif untuk melumpuhkan sasaran. Pihak asing sebegitu piawai melakukan serangan untuk menghancurkan bangsa dan negara ini, dengan merusak masa depan generasi muda di sebuah negeri.

Pemkot Parepare pun bergerak cepat. Kini Parepare resmi 'berperang' dengan penyalahgunaan narkoba. Wali Kota Parepare HM Taufan Pawe SH MH ingin agar aparat dan masyarakatnya bersih dari penyalahgunaan narkoba. Generasi muda harus diselamatkan dari cengkeraman narkoba. (**)

1 Apr 2016

Ketika Pedagang Kecil 'Dipanen'


Oleh Syahrir Hakim

Sudah sepekan I Nabe mencari tempat menggelar jualannya, tetapi belum dapat juga tempat tetap. Perempuan berusia 70 itu salah seorang pedagang kecil di belakang Pasar Lakessi, Kota Parepare. Ia turut kena penertiban bersama ratusan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di bahu Jalan Pelita Utara (JPU) hingga sepanjang Jalan Amin Laengke (JAL).

Sinar mentari pagi itu mulai menyengat. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Jika hari-hari biasa, tas lusuh yang selalu dijepit di ketiak kanan, sudah berisi rupiah. Perempuan tua itu menjual tomat, cabe rawit, mentimun, dan sayur mayur lainnya dengan menggelar karung bekas tepung terigu di bahu jalan.

Tetapi pagi itu dia hanya sibuk mengumpulkan jualannya. Ada operasi penertiban dari aparat gabungan Pemkot Parepare dan Polres setempat. JPU dan JAL harus bersih dari pedagang kaki lima, titik tidak pakai koma. Kemana sekarang perempuan tua itu mencari rezeki? Entahlah.

Batin saya berkata, siapa sih sebenarnya yang harus disalahkan? Apakah pedagang itu sendiri yang selalu ingin mencari tempat strategis, atau konsumen yang selalu ingin mencari barang di tempat yang mudah didatangi? Ataukah aparat pemerintah setempat, karena membiarkan mereka tumbuh berkembang seperti jamur setelah banyak baru dipanen?

Jika diamati, pedagang kaki lima tak terasa bertambah dan terus bertambah tanpa adanya penataan. Bahkan mereka dipungut retribusi seolah-olah mereka sudah dilegalkan. Tapi setelah mereka sudah banyak dan betah di tempat itu, tiba-tiba mereka diusir, digusur atau ditertibkan. Alasannya berjualan di bahu jalan, sehingga mengganggu arus lalu lintas.

Lantas akan muncul pertanyaan yang tidak perlu dijawab selain action. Kalau memang itu tempat terlarang, kenapa ada pembiaran? Kenapa ada penarikan retribusi? Lalu mana fungsi pengawasannya, mana fungsi Satpol PP sebagai penjaga ketertiban umum?

Melihat seorang tua renta seperti I Nabe, dia hanya sekadar menanti tutup usianya dengan menjajakan sayurannya di pinggir jalan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menunggu datangnya sosok besar malaikat maut menjemputnya.

Agar tidak terjadi lagi penertiban terhadap I Nabe dan ratusan PKL lainnya, pemerintah setempat hendaknya lebih mengedepankan pengawasan yang lebih tegas. Sampai kapan pun mencegah, tetap akan lebih baik dan lebih murah daripada mengobati. (**)

20 Mar 2016

Gara-gara Antraks Mendadak Jadi 'Jurkam'


Oleh Syahrir Hakim

SEPERTI biasa, La Oegi masuk ke warung kopi (warkop) dengan ucapan assalamu alaikum yang fasih dan jelas. Beberapa pelanggan warkop menjawab salam tersebut. Sebagian hanya sekadar mengangkat kepala memandang sekilas. Apakah mereka menjawab salam dalam hati atau tidak. Entahlah, hanya mereka dan Allah SWT yang tahu.

La Oegi langsung menuju meja paling pojok. Di sana sudah ada sohibnya duduk manis sambil mengisap dalam-dalam kreteknya. Di atas meja terletak secangkir kopi. Ada bungkusan rokok kretek entah berapa batang isinya, korek api gas, dan asbak. Setelah merapatkan pantatnya di kursi, La Oegi memesan teh susu dan roti bakar kepada pelayan warkop.

Sambil berbincang dengan sohibnya, sesekali La Oegi menyeruput tehnya di tatakan cangkir. Fokus perbincangan soal sohibnya yang mendadak jadi 'jurkam'. Siapa pula yang mengajaknya menjadi 'jurkam'. Padahal pemilihan wali negeri (Pilwari) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg) di Antah Berantah masih dua tahun lagi.

Di tengah beredarnya isu itu dirinya menanggapi dingin. Malah dia mengaku jika tidak ada parpol yang mau menerimanya jadi anggota. Apalagi jadi jurkam. "Saya kan orangnya sulit berbohong. Kekurangan saya tidak bisa pidato. Sedangkan jurkam itu, orator dan sedikit bisa bohong," ujar sohibnya.

La Oegi menimpali, isi kampanye biasanya lebih banyak janji belaka. Menyindir dan mengejek lawan politik. Lawan sudah dianggap musuh. “Apakah lawan dan musuh itu berbeda?” tanya sohibnya. “Ya beda lah, bro. Coba lihat pertandingan olahraga. Kita bisa bertanding kalau ada lawan. Tetapi jika pertandingan sudah kacau balau, justru yang muncul musuh-musuhan,” jelas La Oegi.

Kembali ke pokok masalah. Keseharian sohib La Oegi itu sebagai juragan daging sapi di pasar semi modern. Maraknya berita di media tentang wabah antraks yang menyerang hewan sapi di daerah tetangga, sehingga dia menghentikan aktivitasnya. Sambil menunggu adanya jaminan hewan sapi bebas antraks, sohib La Oegi itu mengalihkan aktivitasnya untuk sementara menjadi juragan kambing alias 'Jurkam'. "Bukan juru kampanye atau jurkam parpol," ungkap La Oegi.

Belakangan sohib La Oegi bersama kawan-kawan senasib bernapas lega. Dinas terkait menyatakan, daging sapi di negeri Antah Berantah layak konsumsi atau tidak terinveksi wabah antraks. Meski demikian, aparat terkait diminta untuk tetap melakukan pengawasan terhadap daging yang akan dikonsumsi masyarakat.

La Oegi juga berharap kepada dinas terkait agar memberikan perlindungan terhadap peternak sapi dan masyarakat. Maksimalkan pencegahan dengan langkah yang antisipatif. Sebab antraks tidak lagi menyerang ternak sapi, tapi juga rawan terhadap manusia. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim di Harian PARE POS edisi Senin, 21 Maret 2016

13 Mar 2016

Tahun Kebingungan


Oleh Syahrir Hakim

Suasana riuh di warung kopi (Warkop), siang itu. Saking padatnya pengunjung, nyaris tidak ada kursi kosong. Sambil menyuruput kopi hangat, mereka berbincang beraneka masalah. Tiba-tiba sohib La Oegi yang baru masuk warkop itu memecahkan suasana. Sambil menarik sebuah kursi yang belum diduduki, dia berkata, "Tahun ini adalah tahun kebingungan." Entah apa maksudnya dia berkata begitu.

La Oegi yang duduk di pojok ruangan warkop itu, beranjak mendekati sohibnya. Batinnya berkata, mengapa sohibnya mengatakan tahun ini adalah tahun kebingungan? Apakah dia bingung melihat hasil pembangunan negeri ini? Atau ada masalah di permukimannya yang membuat dirinya jadi bingung?

"Makanya rajin-rajin baca koran, pak. Dengarkan radio, sehingga tidak ketinggalan informasi. Semua mengabarkan jika tahun ini adalah tahun yang penuh harapan. Meski tantangan juga kian berat. Jelas-jelas wali negeri ini menyebut jika tahun ini adalah tahun untuk berinovasi," La Oegi berusaha memberi pemahaman kepada sohibnya.

Sohib La Oegi tak mau kalah, dia menimpali. Orang-orang cerdas di luar sana mengatakan beginilah-begitulah. Pertumbuhan ekonomi khususnya di negeri Antah Berantah, kata mereka cukup baik. Tapi, dia masih sering mendengar di mana-mana para ibu rumah tangga mengeluh. Harga bahan pokok masih tetap nangkring di atas, tak turun-turun. "Ini juga yang membuat saya bingung," kata si sohib itu.

Dia terus nyerocos. Sorot matanya tajam menatap wajah pelanggan warkop yang duduk di sekitarnya. Seolah minta dipahami apa yang diomongkan. Si sohib meneruskan ocehannya, tahu sendiri kan? Kalau harga makanan naik terus, akibatnya celana melorot lantaran perut kempes karena jarang diisi.

"Kalau celana sering melorot, apalagi melorotnya di malam hari, tahu sendiri dampaknya terhadap program KB," kata si sohib sambil mengunyah roti bakar sekaligus mengulum senyum iseng. Mendengar ocehan sohib La Oegi, beberapa pengunjung warkop tak kuat menahan senyum. Bahkan ada yang sampai tertawa.

Menurut La Oegi, tahun silam, wali negeri menetapkan sebagai tahun kinerja. Nah, kita bisa melihat hasilnya sekarang. Bagaimana kemajuan pembangunan negeri Antah Berantah dalam dua tahun terakhir ini. Wali negerinya memiliki terobosan luar biasa, berinovasi memoles negerinya. Meski tak bisa dipungkiri, bahwa masih ada di antara masyarakat yang merasa wilayah permukimannya dianaktirikan.

Mendengar penjelasan La Oegi, sohibnya mengangguk-angguk. Pertanda paham atau malah mengangguk karena mengantuk. Entahlah. Sebagian pelanggan warkop sebenarnya sudah paham bahwa tahun 2016 ini adalah tahun inovasi. Tetapi ini hanya penegasan La Oegi kepada sohibnya, bahwa tahun inovasi untuk memaksimalkan pelayanan. Dengan sebuah inovasi, tentu saja jauh lebih baik dari yang pernah dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat soal pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan.

La Oegi sok mengingatkan, bahwa untuk mendukung suksesnya tahun inovasi ini,
atasan harus senantiasa mengajak bawahannya untuk tidak henti-hentinya berinovasi. Sebab, salah satu ukuran inovasi adalah adanya prestasi yang dilakukan. Jika aparatnya inovatif, maka dipastikan aparat dimaksud akan mendulang prestasi. Permisi La Oegi numpang lewat. (**)

Tulisan ini sudah dimuat dalam "Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim" Harian PARE POS, edisi Senin, 14 Maret 2016

6 Mar 2016

Ikhlaslah Seperti Buah Kelapa


Oleh Syahrir Hakim

Pergantian pejabat di Negeri Antah Berantah masih menjadi perbincangan hangat sejumlah kalangan. Termasuk La Oegi dan sohibnya. Bukan rahasia lagi, bahwa pejabat yang diganti maupun penggantinya kadang berbeda sikap. Ada yang senang, ada yang kecewa, dan tak sedikit pula yang sewot. Itulah tema yang lagi ngetren belakangan ini.

Siang itu, La Oegi bersama sohibnya lagi menikmati es kelapa muda di Jalan Jenderal Sudirman. Di saat sohibnya ngoceh soal pergantian pejabat, La Oegi malah cuek. Perhatiannya tertuju pada tumpukan buah kelapa. Iya, buah kelapa milik penjual es kelapa yang bertumpuk di sebelah kanan kaki gerobaknya.

Melihat keseriusan La Oegi memerhatikan buah kelapa yang diproses hingga menjadi minuman segar, sohibnya pun tertarik ikut memerhatikan "kejadian" itu. Meski belum paham betul apa yang terjadi. "Wah betul-betul," La Oegi berdecak kagum. Sohibnya bertanya, "Memangnya ada apa sobat?"

La Oegi menunjuk ke arah penjual es kelapa. Coba perhatikan penjual es kelapa itu, bagaimana ia "memerlakukan" kelapa. Diawali ketika dipetik, buah kelapa itu dipelintir dari pohonnya hingga berjatuhan ke tanah berguling-guling. Tiba di tangan penjual es kelapa, buah itu dipukul-pukul, diparangi, dibacok, dan dibelah dua. Kemudian mengambil dagingnya dengan cara mencungkil. "Sadis!" kata La Oegi.

Jadilah es kelapa. Jika kelapa tua, dagingnya dimasukkan ke mesin parut, lalu diperas agar keluar santannya. Ketika santan telah dicampur dengan daging, ikan, dan sayuran lainnya, hilanglah nama kelapa atau santan. Muncul nama-nama lain semisal rendang, gulai, lodeh, tongseng dan sebagainya. Tidak ada yang menyebutnya sayur kelapa atau sayur santan.

La Oegi kian larut dalam lamunan nasib kelapa. Meskipun diperlakukan sedemikian rupa, kelapa tidak pernah protes dan ingin nama baiknya dipulihkan. Kelapa tetaplah kelapa, sebagai buah yang melambangkan keikhlasan, tanpa pamrih, namun tetap memberi manfaat bagi umat manusia.

Lalu apa hubungannya dengan pergantian pejabat di negeri Antah Berantah? Mendengar pertanyaan sohibnya, La Oegi tiba-tiba tersentak dari lamunan. Tiba masa tiba akalnya, La Oegi menjawab, "Hidup ini, tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, bro. Begitulah kenyataannya."

Kata La Oegi, seseorang yang diberi amanah memegang jabatan, harus senantiasa menanamkan dalam dirinya keikhlasan melaksanakan amanah itu. Orang yang ikhlas, di dalam hatinya penuh dengan penerimaan. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, diterima dengan lapang dada. "Ikhlas seperti kelapa," katanya mencontohkan.

Ketika atasannya membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya misalnya, dia tetap tenang. Ketika teman-temannya bersaing secara tidak sehat, malah dia mampu untuk tersenyum. Itu tadi, karena dia memiliki kemampuan menerima kondisi itu dengan keikhlasan. Seperti itu, kata La Oegi sambil beranjak dari tempat duduknya. "Permisi cuma numpang lewat." (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam kolom "Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM" di Harian PARE POS edisi Senin, 7 Maret 2016 halaman 6 (Metro Pare) 

8 Feb 2016

Monyet dan Kacang


Oleh Syahrir Hakim

Sebuah anekdot sering muncul dalam suasana hari raya. Seorang akung (sebutan kakek warga Tionghoa) dibuat kesal atas ulah oknum. Setiap hari raya, akung jadi bulan-bulanan oknum yang minta angpao. Maksudnya angpao berisi duit.

Saking seringnya datang, akung kadang ngomong sendiri dengan dialeknya yang totok, "Oe pucing lihat olang ini. Lebalan datang, natal datang, tahun baru datang yuga, eeeeeh........., imlek datang laaagi".

Akung duduk di bangku bulat mengenakan kaos singlet swan brand. Dipadukan celana piyama garis-garis. Tangan kanannya menggerak-gerakkan kipas sate, sambil ngomel, "Dikacih lokok, minta luit. Dikacih luit, wadduh lokok diembat yuga. Eeeeeh....., pulang minta ongkoc lagi. Hayyaaa......, benel-benel tak abic pikil, lu olang punya agama apa yaaa?" kesal akung mengetuk-ngetuk jidatnya dengan telapak tangan kanan.

Hayyaaa......., sekadar anekdot. Sudahlah, kita tinggalkan si akung. Kemarin warga keturunan Tionghoa merayakan tahun baru Imlek 2567. Di negeri La Oegi, Antah Berantah penyambutan tahun baru Imlek dilakukan secara sederhana. Meski sederhana, namun kebersamaan menjadi perekat sebagai warga negara Indonesia. Serekat kue bakul dan dodol Cina. Kue khas Imlek.

Menurut keyakinan Tionghoa, tahun baru Imlek 2567 melambangkan Monyet Api. La Oegi berharap, semoga di tahun ini kita mampu melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan segenap umat manusia di negeri ini. Sehubungan tahun monyet, La Oegi memaparkan kisah tentang monyet dan pemburu. Dalam kisah itu, pemburu punya cara unik menangkap monyet di hutan. Teknik itu dilakukan agar monyet bisa ditangkap dalam kondisi hidup tanpa cedera sedikitpun. Caranya sederhana.

Pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang diberi aroma khusus. Kemudian ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples tanpa tutup. Ketika mencium aroma itu, monyet akan berlomba mendekati toples-toples itu. Lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang dalam toples.

Tapi karena menggenggam kacang, monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang di tangannya, selama itu pula monyet terjebak. Toples itupun terlalu berat untuk diangkat. Dengan mudahnya para pemburu menangkap monyet-monyet itu.

Mungkin kita akan tertawa jika melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa disadari, sebenarnya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Kenapa? Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita menggenggam erat setiap permasalahan yang dimiliki, layaknya monyet menggenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Seiring tahun baru Imlek 2567 bagi warga Tionghoa, La Oegi mengepalkan tangan kanan, tangan kiri menutupi tangan kanan. Kedua ibu jari menghadap ke atas dan kepalan tangan diletakkan sejajar dengan dada. Kemudian mengucapkan Gong xi fa cai atau selamat sukses, semoga sejahtera. "Permisi, numpang lewat," kata La Oegi sambil berlalu. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM di Harian PARE POS hal 4 (Metro Pare) edisi Selasa, 9-02-16.

1 Feb 2016

Lupa Ingatan


Oleh Syahrir Hakim

La Oegi tidak akan menyanyikan sebuah lagu dari Band Kotak seperti judul di atas 'Lupa Ingatan'. Hanya mengingatkan kembali, bahwa puluhan ribu lembar kartu sejenis 'kartu sakti' yang pernah dibagikan ke masyarakat, kini 'menganggur'. Ternyata tidak berlaku. Kenapa? Entahlah, La Oegi juga tidak tahu penyebabnya.

Kartu tersebut dimunculkan jelang pemilihan wali negeri (Pilwari) Antah Berantah, beberapa waktu lalu. Sejatinya, 'kartu sakti' adalah sebuah harapan baru. Harapan bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Bisa menyekolahkan anak dan bisa menikmati hidup layak. Itulah kira-kira manfaat sebuah 'kartu sakti'.

Saat pengumpulan massa, seorang tim sukses menjelaskan, “Ini salah satu bukti konkret dari kami. Terkait program gratis pro rakyat yang sangat menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Kartu ini, adalah kontrak politik pasangan calon penguasa negeri yang bisa ditagih langsung oleh masyarakat, jika nanti terpilih menjadi penguasa negeri," kata tim sukses itu meyakinkan.

Tergiur manfaatnya, puluhan ribuan warga menerima pemberian itu. Namun, hingga kini tak diketahui nasib kartu tersebut. Beberapa sohib La Oegi sebagai pemegang kartu, hanya saling lempar pertanyaan. Baik berupa status di media sosial, maupun obrolan di warung kopi. Meskipun keluhan itu sudah sampai di kuping para tim sukses wali negeri, tak kunjung ada penjelasan selanjutnya.

Memang diakui, jika selama ini kepemimpinan wali negeri itu tak diragukan lagi. Banyak menorehkan terobosan. Tangan dinginnya mampu memoles negerinya. Membangun dan mempercantik di sana-sini. Namun, kabar 'kartu sakti' seolah-seolah tertimbun oleh inovasi dalam membangun negerinya. 'Kartu sakti' sudah terlupakan.

Kata La Oegi, kita semua pernah merasakan lupa. Itu lumrah saja selama frekuensinya tidak sering terjadi. Tapi jangan sampai kebiasaan lupa ini menjadi semakin sering. Apalagi jika lupa janji yang pernah diucapkan di hadapan rakyat. "Waah, ini namanya T-E-R-L-A-L-U," kata seorang sohib La Oegi.

Penasaran. Lagi-lagi bukan judul lagu dangdutnya Rhoma Irama. Tetapi itulah yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Sampai-sampai wakil wali negeri pun kewalahan menjawab pertanyaan melalui SMS. "Mau jawab apa? Saya saja yang ada foto di kartu itu, juga tidak tahu untuk apa," jawab sekenanya kepada penanya.

Seiring berjalannya waktu, La Oegi berharap semoga pemimpin negerinya tidak termasuk dalam golongan kalimat canda ini. Apa itu? "Sebelum jadi, suka mengobral janji. Setelah jadi, malah lupa ingatan," begitu bunyi kalimatnya.

La Oegi pun mencatat sebuah kalimat bijak. Hidup dan mati dikuasai oleh lidah. Siapa yang suka menggemakan, akan memakan buahnya. Berdasarkan ucapan kita, kita akan dibenarkan atau disalahkan. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat..... (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pagi PARE POS edisi, Senin, 1 Februari 2016 Kolom "Numpang Lewat" halaman 4 (Metro Pare)