13 Apr 2016

Penjual Pecel Mengais Rezeki di Balik Daun Pisang


Juminten tampak saat melayani pembeli.
SORE itu, hujan lebat yang mengguyur Kota Parepare baru saja reda. Jalan masuk ke salah satu kompleks perumahan masih sepi dan basah. Kondisi itu tidak menyurutkan langkah Juminten menyusuri jalan mencari rezeki. Hampir setiap hari dia masuk kompleks perumahan menjajakan pecel.

"Peceeel, lontong dan gorengaaan.........," suara Juminten seolah memecah keheningan. Sepedanya distandar di sisi kanan jalan masuk, sambil berteriak menawarkan jualannya. Selain pecel, dia juga menawarkan kerupuk, gorengan seperti peyek, tempe, dan bakwan. “Peceeel, gorengaaan.......!" teriaknya berulang-ulang sambil memegang daun pisang. Daun pisang tak pernah lepas dari tangan kiri mbak itu.

Rasa keingintahuan menggoda warga. Tampak seorang ibu muda keluar rumah lalu mendekati mbak penjual itu. Ada wadah terbuat dari plastik diikat di boncengan sepedanya. Di dalamnya tertata rapi makanan yang dijual beralaskan daun pisang. "Pecel dengan lontong 5 ribu, kalau ditambah gorengan satu jadi 6 ribu, bu," katanya menawarkan.

Ibu muda itupun pesan pecel dan membeli 5 potong gorengan tempe. Sambil membungkus makanan dengan daun pisang, Juminten bercerita. Ia berasal dari salah satu daerah di Jawa Timur. Dia tinggal bersama suaminya di Parepare. Pagi-pagi, suaminya menjual sayuran pakai motor keliling kompleks perumahan. Sorenya, giliran Juminten menjajakan pecel. "Hasilnya lumayan, bisa dinikmati sekeluarga,“ tuturnya.

Selama 10 tahun di Kota Parepare, usaha pasangan suami-istri (Pasutri) ini membuahkan hasil. Dia sudah membangun rumah, meskipun sederhana. Dari hasil usahanya, dia juga bisa membayar cicilan motor. Sementara dua anaknya yang sudah menginjak usia sekolah lanjutan tetap berada di kampung bersama kakek dan neneknya. “Sekolahnya di sana lebih murah, dan godaannya kurang,” kata Juminten.

Inilah salah satu potret kehidupan yang penuh dengan kreativitas dan inovatif. Kesimpulannya, bahwa kreativitas dan inovatif itu sangatlah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sangat menentukan kualitas hidup kita. Apalagi dalam bidang kewirausahaan, kita dituntut untuk memiliki jiwa yang kreatif-inovatif karena keduanya akan menentukan kehidupan seseorang. (**)

12 Apr 2016

Dua Jenderal BNN Bicara di Redaksi PARE POS


Brigjen Pol Dunan Ismail Isja dan Brigjen Pol dr Victor Pudjadi
Badan Narkotika Nasional (BNN) RI mengapresiasi gerakan Peduli Perangi Narkoba yang digagas Pemkot Parepare dan PARE POS. Hal itu, disampaikan Kepala Biro Kepegawaian dan Organisasi BNN Brigjen Pol Dunan Ismail Isja saat bertandang ke redaksi PARE POS, Senin  lalu.

Dalam kunjungannya, Dunan didampingi Direktur Advokasi Deputi Bidang Pencegahan BNN Brigjen Pol dr Victor Pudjadi Sp B FICS, DFM. Di hadapan para wartawan, Dunan menyatakan, semua elemen harus peduli dan perangi narkoba. Masyarakat harus dijaga dan dilindungi dari pengaruh buruk narkoba. "Kami minta jurnalis memberitakan secara objektif agar masyarakat kita sadar dengan bahaya narkoba," pintanya.

Ia mengajak jurnalis berjuang bersama BNN pusat dan BNN provinsi tanpa pamrih, menyampaikan kepada masyarakat tentang bahaya narkoba. "Saya tahu, perjuangan teman-teman wartawan, tidak bisa kami balas dengan gaji atau upah yang setimpal. Tapi kita bekerja Lillahi taala. Allah akan membalasnya di akhirat," katanya.

Ia mengajak warga Kota Parepare menjaga keluarga, anak, saudara, dan cucu dari narkoba. Jangan sampai mereka terjerumus dalam jaringan atau sindikat narkoba. "Jangan coba-coba mendekati, biayanya sangat mahal mulai pengobatan, rehabilitas dan biaya pengembalian status sosial di tengah masyarakat," ujarnya.

Brigjen Dunan mengakui, jika pencegahan dan pemberantasan narkoba belum maksimal. Meski BNN telah memetakan wilayah-wilayah prioritas karena BNN masih kekurangan personel.

Ia mengatakan tahun 2025 BNN idealnya memilki personel sebanyak 70 ribu personel. Namun saat ini, BNN baru memiliki 4.250 personel. BNN punya daerah prioritas setiap tahun. Namun gerakan sindikat menyasar wilayah lain. Seperti teori balon. Pencet di sini, muncul daerah lain. "Jadi, kita harus berdayakan masyarakat," katanya.

Saat ini, kata Dunan, BNN telah bekerjasama dengan Kapolri, Panglima TNI, Menpan RB yang mewajibkan semua Aparatur Sipil Negara (ASN) mengikuti tes urine. Ia mengajak masyarakat agar tidak takut berbuat baik.
"Jangan takut BNN selalu mendukung. Ban mobil kami sering dikempesi. Tapi kami bekerja untuk kemaslahatan masyarakat. Jangan ciut sama bandar, kita jaga anak-anak kita," katanya. (**)

10 Apr 2016

Kartu Tes Urine


Petugas BNNP Sulsel Ishak Iskandar bersama dua rekannya saat bertandang di PARE POS
MOMUMEN Cinta Sejati Habibie-Ainun menjadi saksi bisu peluncuran program Parepare Peduli Perangi Narkoba, Minggu 10 April 2016. Event itu dirangkaikan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Provinsi Sulsel 2016. Tidak tanggung-tanggung, panitia menghadirkan pejabat teras Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat dan Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo.

Program itu merupakan langkah Pemkot Parepare dalam upaya 'bersih-bersih' dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayahnya. Tak dapat disangkal lagi pergerakan peredaran gelap narkoba semakin liar. Boleh dikata, narkoba sudah menyasar semua lini.

Hampir setiap hari media menyuguhkan berita penangkapan penyalahgunaan narkoba. Tersangka pelakunya bukan saja warga sipil, tetapi oknum aparat pemerintahan, penegak hukum, malah sudah sampai kepada aparat keamanan.

Merinding juga bulu roma mendengar geliat para pengedar dan pengguna narkoba sekarang ini. Batin saya mengatakan, jika sekiranya pemerintah perlu melakukan tes urine secara nasional. Meski sekarang ini, beberapa instansi sudah melakukan hal itu bagi pejabat dan pegawainya.

Tes urine secara nasional maksudnya, semua warga negara harus tes urine. Kalau perlu dibuatkan semacam 'Kartu Hasil Tes Urine'. Jika ada urusan ke kelurahan, kecamatan, atau ke mana saja, termasuk caleg, bakal calon pilkada wajib menunjukkan 'Kartu Hasil Tes Urine' tersebut.

Jika tes urine secara nasional ini dilakukan, tentunya akan menggunakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi jika dibanding dengan akibat yang akan ditimbulkan, cepat atau lambat bisa habis satu generasi dalam negara ini. Bayangkan! Rasa kecanduan yang diciptakan narkoba tersimpan dalam memori pecandu, sehingga membuat pecandu itu sulit lepas dari pengaruh buruk narkoba.

Terkait peredaran narkoba, sebuah informasi menyebutkan, dalam perang modern yang disebut perang asimetris alias perang nonmiliter, narkoba merupakan alat efektif untuk melumpuhkan sasaran. Pihak asing sebegitu piawai melakukan serangan untuk menghancurkan bangsa dan negara ini, dengan merusak masa depan generasi muda di sebuah negeri.

Pemkot Parepare pun bergerak cepat. Kini Parepare resmi 'berperang' dengan penyalahgunaan narkoba. Wali Kota Parepare HM Taufan Pawe SH MH ingin agar aparat dan masyarakatnya bersih dari penyalahgunaan narkoba. Generasi muda harus diselamatkan dari cengkeraman narkoba. (**)

1 Apr 2016

Ketika Pedagang Kecil 'Dipanen'


Oleh Syahrir Hakim

Sudah sepekan I Nabe mencari tempat menggelar jualannya, tetapi belum dapat juga tempat tetap. Perempuan berusia 70 itu salah seorang pedagang kecil di belakang Pasar Lakessi, Kota Parepare. Ia turut kena penertiban bersama ratusan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di bahu Jalan Pelita Utara (JPU) hingga sepanjang Jalan Amin Laengke (JAL).

Sinar mentari pagi itu mulai menyengat. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Jika hari-hari biasa, tas lusuh yang selalu dijepit di ketiak kanan, sudah berisi rupiah. Perempuan tua itu menjual tomat, cabe rawit, mentimun, dan sayur mayur lainnya dengan menggelar karung bekas tepung terigu di bahu jalan.

Tetapi pagi itu dia hanya sibuk mengumpulkan jualannya. Ada operasi penertiban dari aparat gabungan Pemkot Parepare dan Polres setempat. JPU dan JAL harus bersih dari pedagang kaki lima, titik tidak pakai koma. Kemana sekarang perempuan tua itu mencari rezeki? Entahlah.

Batin saya berkata, siapa sih sebenarnya yang harus disalahkan? Apakah pedagang itu sendiri yang selalu ingin mencari tempat strategis, atau konsumen yang selalu ingin mencari barang di tempat yang mudah didatangi? Ataukah aparat pemerintah setempat, karena membiarkan mereka tumbuh berkembang seperti jamur setelah banyak baru dipanen?

Jika diamati, pedagang kaki lima tak terasa bertambah dan terus bertambah tanpa adanya penataan. Bahkan mereka dipungut retribusi seolah-olah mereka sudah dilegalkan. Tapi setelah mereka sudah banyak dan betah di tempat itu, tiba-tiba mereka diusir, digusur atau ditertibkan. Alasannya berjualan di bahu jalan, sehingga mengganggu arus lalu lintas.

Lantas akan muncul pertanyaan yang tidak perlu dijawab selain action. Kalau memang itu tempat terlarang, kenapa ada pembiaran? Kenapa ada penarikan retribusi? Lalu mana fungsi pengawasannya, mana fungsi Satpol PP sebagai penjaga ketertiban umum?

Melihat seorang tua renta seperti I Nabe, dia hanya sekadar menanti tutup usianya dengan menjajakan sayurannya di pinggir jalan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menunggu datangnya sosok besar malaikat maut menjemputnya.

Agar tidak terjadi lagi penertiban terhadap I Nabe dan ratusan PKL lainnya, pemerintah setempat hendaknya lebih mengedepankan pengawasan yang lebih tegas. Sampai kapan pun mencegah, tetap akan lebih baik dan lebih murah daripada mengobati. (**)

20 Mar 2016

Gara-gara Antraks Mendadak Jadi 'Jurkam'


Oleh Syahrir Hakim

SEPERTI biasa, La Oegi masuk ke warung kopi (warkop) dengan ucapan assalamu alaikum yang fasih dan jelas. Beberapa pelanggan warkop menjawab salam tersebut. Sebagian hanya sekadar mengangkat kepala memandang sekilas. Apakah mereka menjawab salam dalam hati atau tidak. Entahlah, hanya mereka dan Allah SWT yang tahu.

La Oegi langsung menuju meja paling pojok. Di sana sudah ada sohibnya duduk manis sambil mengisap dalam-dalam kreteknya. Di atas meja terletak secangkir kopi. Ada bungkusan rokok kretek entah berapa batang isinya, korek api gas, dan asbak. Setelah merapatkan pantatnya di kursi, La Oegi memesan teh susu dan roti bakar kepada pelayan warkop.

Sambil berbincang dengan sohibnya, sesekali La Oegi menyeruput tehnya di tatakan cangkir. Fokus perbincangan soal sohibnya yang mendadak jadi 'jurkam'. Siapa pula yang mengajaknya menjadi 'jurkam'. Padahal pemilihan wali negeri (Pilwari) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg) di Antah Berantah masih dua tahun lagi.

Di tengah beredarnya isu itu dirinya menanggapi dingin. Malah dia mengaku jika tidak ada parpol yang mau menerimanya jadi anggota. Apalagi jadi jurkam. "Saya kan orangnya sulit berbohong. Kekurangan saya tidak bisa pidato. Sedangkan jurkam itu, orator dan sedikit bisa bohong," ujar sohibnya.

La Oegi menimpali, isi kampanye biasanya lebih banyak janji belaka. Menyindir dan mengejek lawan politik. Lawan sudah dianggap musuh. “Apakah lawan dan musuh itu berbeda?” tanya sohibnya. “Ya beda lah, bro. Coba lihat pertandingan olahraga. Kita bisa bertanding kalau ada lawan. Tetapi jika pertandingan sudah kacau balau, justru yang muncul musuh-musuhan,” jelas La Oegi.

Kembali ke pokok masalah. Keseharian sohib La Oegi itu sebagai juragan daging sapi di pasar semi modern. Maraknya berita di media tentang wabah antraks yang menyerang hewan sapi di daerah tetangga, sehingga dia menghentikan aktivitasnya. Sambil menunggu adanya jaminan hewan sapi bebas antraks, sohib La Oegi itu mengalihkan aktivitasnya untuk sementara menjadi juragan kambing alias 'Jurkam'. "Bukan juru kampanye atau jurkam parpol," ungkap La Oegi.

Belakangan sohib La Oegi bersama kawan-kawan senasib bernapas lega. Dinas terkait menyatakan, daging sapi di negeri Antah Berantah layak konsumsi atau tidak terinveksi wabah antraks. Meski demikian, aparat terkait diminta untuk tetap melakukan pengawasan terhadap daging yang akan dikonsumsi masyarakat.

La Oegi juga berharap kepada dinas terkait agar memberikan perlindungan terhadap peternak sapi dan masyarakat. Maksimalkan pencegahan dengan langkah yang antisipatif. Sebab antraks tidak lagi menyerang ternak sapi, tapi juga rawan terhadap manusia. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim di Harian PARE POS edisi Senin, 21 Maret 2016

13 Mar 2016

Tahun Kebingungan


Oleh Syahrir Hakim

Suasana riuh di warung kopi (Warkop), siang itu. Saking padatnya pengunjung, nyaris tidak ada kursi kosong. Sambil menyuruput kopi hangat, mereka berbincang beraneka masalah. Tiba-tiba sohib La Oegi yang baru masuk warkop itu memecahkan suasana. Sambil menarik sebuah kursi yang belum diduduki, dia berkata, "Tahun ini adalah tahun kebingungan." Entah apa maksudnya dia berkata begitu.

La Oegi yang duduk di pojok ruangan warkop itu, beranjak mendekati sohibnya. Batinnya berkata, mengapa sohibnya mengatakan tahun ini adalah tahun kebingungan? Apakah dia bingung melihat hasil pembangunan negeri ini? Atau ada masalah di permukimannya yang membuat dirinya jadi bingung?

"Makanya rajin-rajin baca koran, pak. Dengarkan radio, sehingga tidak ketinggalan informasi. Semua mengabarkan jika tahun ini adalah tahun yang penuh harapan. Meski tantangan juga kian berat. Jelas-jelas wali negeri ini menyebut jika tahun ini adalah tahun untuk berinovasi," La Oegi berusaha memberi pemahaman kepada sohibnya.

Sohib La Oegi tak mau kalah, dia menimpali. Orang-orang cerdas di luar sana mengatakan beginilah-begitulah. Pertumbuhan ekonomi khususnya di negeri Antah Berantah, kata mereka cukup baik. Tapi, dia masih sering mendengar di mana-mana para ibu rumah tangga mengeluh. Harga bahan pokok masih tetap nangkring di atas, tak turun-turun. "Ini juga yang membuat saya bingung," kata si sohib itu.

Dia terus nyerocos. Sorot matanya tajam menatap wajah pelanggan warkop yang duduk di sekitarnya. Seolah minta dipahami apa yang diomongkan. Si sohib meneruskan ocehannya, tahu sendiri kan? Kalau harga makanan naik terus, akibatnya celana melorot lantaran perut kempes karena jarang diisi.

"Kalau celana sering melorot, apalagi melorotnya di malam hari, tahu sendiri dampaknya terhadap program KB," kata si sohib sambil mengunyah roti bakar sekaligus mengulum senyum iseng. Mendengar ocehan sohib La Oegi, beberapa pengunjung warkop tak kuat menahan senyum. Bahkan ada yang sampai tertawa.

Menurut La Oegi, tahun silam, wali negeri menetapkan sebagai tahun kinerja. Nah, kita bisa melihat hasilnya sekarang. Bagaimana kemajuan pembangunan negeri Antah Berantah dalam dua tahun terakhir ini. Wali negerinya memiliki terobosan luar biasa, berinovasi memoles negerinya. Meski tak bisa dipungkiri, bahwa masih ada di antara masyarakat yang merasa wilayah permukimannya dianaktirikan.

Mendengar penjelasan La Oegi, sohibnya mengangguk-angguk. Pertanda paham atau malah mengangguk karena mengantuk. Entahlah. Sebagian pelanggan warkop sebenarnya sudah paham bahwa tahun 2016 ini adalah tahun inovasi. Tetapi ini hanya penegasan La Oegi kepada sohibnya, bahwa tahun inovasi untuk memaksimalkan pelayanan. Dengan sebuah inovasi, tentu saja jauh lebih baik dari yang pernah dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat soal pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan.

La Oegi sok mengingatkan, bahwa untuk mendukung suksesnya tahun inovasi ini,
atasan harus senantiasa mengajak bawahannya untuk tidak henti-hentinya berinovasi. Sebab, salah satu ukuran inovasi adalah adanya prestasi yang dilakukan. Jika aparatnya inovatif, maka dipastikan aparat dimaksud akan mendulang prestasi. Permisi La Oegi numpang lewat. (**)

Tulisan ini sudah dimuat dalam "Kolom Numpang Lewat Syahrir Hakim" Harian PARE POS, edisi Senin, 14 Maret 2016

6 Mar 2016

Ikhlaslah Seperti Buah Kelapa


Oleh Syahrir Hakim

Pergantian pejabat di Negeri Antah Berantah masih menjadi perbincangan hangat sejumlah kalangan. Termasuk La Oegi dan sohibnya. Bukan rahasia lagi, bahwa pejabat yang diganti maupun penggantinya kadang berbeda sikap. Ada yang senang, ada yang kecewa, dan tak sedikit pula yang sewot. Itulah tema yang lagi ngetren belakangan ini.

Siang itu, La Oegi bersama sohibnya lagi menikmati es kelapa muda di Jalan Jenderal Sudirman. Di saat sohibnya ngoceh soal pergantian pejabat, La Oegi malah cuek. Perhatiannya tertuju pada tumpukan buah kelapa. Iya, buah kelapa milik penjual es kelapa yang bertumpuk di sebelah kanan kaki gerobaknya.

Melihat keseriusan La Oegi memerhatikan buah kelapa yang diproses hingga menjadi minuman segar, sohibnya pun tertarik ikut memerhatikan "kejadian" itu. Meski belum paham betul apa yang terjadi. "Wah betul-betul," La Oegi berdecak kagum. Sohibnya bertanya, "Memangnya ada apa sobat?"

La Oegi menunjuk ke arah penjual es kelapa. Coba perhatikan penjual es kelapa itu, bagaimana ia "memerlakukan" kelapa. Diawali ketika dipetik, buah kelapa itu dipelintir dari pohonnya hingga berjatuhan ke tanah berguling-guling. Tiba di tangan penjual es kelapa, buah itu dipukul-pukul, diparangi, dibacok, dan dibelah dua. Kemudian mengambil dagingnya dengan cara mencungkil. "Sadis!" kata La Oegi.

Jadilah es kelapa. Jika kelapa tua, dagingnya dimasukkan ke mesin parut, lalu diperas agar keluar santannya. Ketika santan telah dicampur dengan daging, ikan, dan sayuran lainnya, hilanglah nama kelapa atau santan. Muncul nama-nama lain semisal rendang, gulai, lodeh, tongseng dan sebagainya. Tidak ada yang menyebutnya sayur kelapa atau sayur santan.

La Oegi kian larut dalam lamunan nasib kelapa. Meskipun diperlakukan sedemikian rupa, kelapa tidak pernah protes dan ingin nama baiknya dipulihkan. Kelapa tetaplah kelapa, sebagai buah yang melambangkan keikhlasan, tanpa pamrih, namun tetap memberi manfaat bagi umat manusia.

Lalu apa hubungannya dengan pergantian pejabat di negeri Antah Berantah? Mendengar pertanyaan sohibnya, La Oegi tiba-tiba tersentak dari lamunan. Tiba masa tiba akalnya, La Oegi menjawab, "Hidup ini, tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, bro. Begitulah kenyataannya."

Kata La Oegi, seseorang yang diberi amanah memegang jabatan, harus senantiasa menanamkan dalam dirinya keikhlasan melaksanakan amanah itu. Orang yang ikhlas, di dalam hatinya penuh dengan penerimaan. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, diterima dengan lapang dada. "Ikhlas seperti kelapa," katanya mencontohkan.

Ketika atasannya membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya misalnya, dia tetap tenang. Ketika teman-temannya bersaing secara tidak sehat, malah dia mampu untuk tersenyum. Itu tadi, karena dia memiliki kemampuan menerima kondisi itu dengan keikhlasan. Seperti itu, kata La Oegi sambil beranjak dari tempat duduknya. "Permisi cuma numpang lewat." (**)


Tulisan ini sudah dimuat dalam kolom "Numpang Lewat SYAHRIR HAKIM" di Harian PARE POS edisi Senin, 7 Maret 2016 halaman 6 (Metro Pare)