28 Mar 2017

Lelang Jabatan


SEJUMLAH jabatan lowong di Negeri Antah Berantah akan dilelang. Termasuk Sekretaris Negeri disingkat Sekri yang mulai hangat diperbincangkan. Lelang bukan sembarang lelang. Peserta akan berkompetisi melalui sistem seleksi secara transparan. Namun transparan seperti apa itu? La Oegi juga belum mengetahui pasti.

Wacana lelang jabatan itu, ikut terbawa dalam mimpi si Sohib. Teman kental La Oegi yang satu ini kelihatannya berambisi menduduki jabatan Sekri. Meski keinginan para pejabat di negeri itu serupa tapi tak sama keinginan si Sohib, namun mereka masih enggan mengungkapkan.

Akankah si Sohib lolos dalam seleksi nanti? Entahlah. Meski dia bukan profesional dan berkompeten, dia yakin akan menduduki jabatan Sekri. Alasannya, dia cukup dekat dan berada dalam lingkaran penguasa negeri. Apalagi isu menyeruak, jika dia mendapat 'lampu hijau' untuk ikut berkompetisi.

Jika seperti itu yang terjadi, La Oegi khawatir. Kenapa? Karena sosok seperti si Sohib sebenarnya tidak memenuhi syarat ditempatkan di sebuah posisi pemerintahan. Sebab, sepengetahuan La Oegi, sistem lelang jabatan, diyakini dapat mendudukkan orang yang tepat pada tempat semestinya. "Yang lebih serius menghindari praktik KKN," ucap La Oegi.

Meski demikian, Pengamat Politik dan Pemerintahan DR Warjio mengkhawatirkan terjadinya praktik KKN. Menurut dia, sejatinya lelang jabatan itu, untuk mencari calon pejabat yang berkualitas dan memiliki komitmen untuk membangun daerahnya. Namun, celah KKN dalam proses lelang jabatan masih sangat terbuka. 

"Celah itu bisa saja terjadi. Mungkin, ada pejabat yang dalam proses ujian nilainya tinggi, namun terkalahkan dengan adanya 'kepentingan' pimpinan untuk memasukkan pejabat lainnya. Celah untuk kolusi ini tidak bisa kita pungkiri, meskipun sudah melalui proses lelang jabatan,” kata Warjio.

Dalam UU katanya, memang sudah menyebutkan, melelang jabatan ini perlu ada tim. Tim ini bertujuan untuk melakukan proses penjaringan calon pejabat yang berkualitas tadi. "Artinya untuk memilih pejabat yang berkualitas, timnya juga harus berkualitas,” tandas Warjio yang dikutip dalam sebuah laman.

Si Sohib yang terbangun dari mimpinya, akhirnya mengakui jika dirinya bukanlah sosok yang pas menduduki jabatan Sekri. La Oegi pun menyadarkan temannya bahwa, jabatan Sekri itu bukan jabatan politis. Tetapi merupakan jabatan karir tertinggi bagi seorang PNS. "Salam kompetisi dan selamat memenangkan lelang jabatan," ucap La Oegi seraya pamit numpang lewat. (**)

21 Mar 2017

Menyikapi Pujian


SAMBIL menikmati minuman hangat di sebuah Warkop terkenal di Negeri Antah Berantah sore itu, La Oegi dan sohibnya membahas soal puji memuji. "Pujian itu manusiawi. Sebab memuji orang lain merupakan perbuatan yang membuat senang orang yang dipuji," kata La Oegi.

Si Sohib pun menimpali, "Asal sanjungan atau pujian itu tidak berlebihan. Sebab, segala yang berlebihan justru menimbulkan dampak negatif. Apalagi, orang yang suka memuji-muji biasanya punya pamrih".

La Oegi memuji celetukan sohibnya. Sambil mengangkat jempol kanan, dia mengatakan, dalam pergaulan sehari-hari sering kita menjumpai orang yang merasa senang bila dipuji. Gila akan pujian. 'Kapujiang' istilah di kampung La Oegi. Padahal pujian yang berlebihan itu seringkali, hanya tipuan belaka. 

La Oegi berpendapat, tak ada salahnya memuji atau menyanjung seseorang bila prestasi yang ditorehkan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Siapapun dia dan apapun yang dilakukan jika prestasi itu membawa manfaat, wajar mendapat pujian. Meski bukan pujian yang berlebihan. 

Sebaliknya, kritikan dihindari banyak orang. Bahkan ada pemangku jabatan alergi terhadap kritikan. Padahal belum tentu kritikan itu merupakan sebuah celaan bagi dirinya. Mungkin saja kritikan itu, sekadar mengingatkan agar tidak melenceng dari jalur yang sudah ditentukan. 

La Oegi mewanti-wangi, agar tidak keliru menyikapi pujian dan kritikan. Ada kalanya pujian itu hanya menjadi racun. Sikap memuji-muji secara berlebihan, sama halnya menina-bobokkan. Membuat orang jadi 'besar kepala' akhirnya lupa diri. Sebaliknya, sebuah kritikan bisa saja jadi obat mujarab yang dapat menyembuhkan 'penyakit' seseorang. 

La Oegi mencontohkan, sekitar tahun 1984, di bawah kepemimpinan Pak Harto negara kita berhasil swasembada beras. Sukses besar Orde Baru saat itu, banyak menerima sanjungan. Ini sungguh luar biasa. Dengan berbagai kata pujian untuk membangkitkan rasa senang.  

Tapi gara-gara pujian itulah, pemerintah Orde Baru jadi terlena. Lambat laun tak bisa lagi swasembada beras, justru sebaliknya, jadi pengimpor beras. Klimaksnya terjadi di tahun 1997. Terjadilah krisis moneter (krismon), sehingga akhirnya Orde Baru harus tumbang dan Pak Harto dilengserkan pada 21 Mei 1998. 

Nah, waspadalah menerima sanjungan, dan bijaklah menerima kritikan. Sebab bila kita bisa menyikapi kritik dengan baik, akan membuat kita berintrospeksi, memperbaiki diri. Sebaliknya yang disanjung-sanjung bisa jadi takabur, akhirnya malah hancur lebur. 

"Mudah-mudahan kita bisa menjaga hakikat hati pada saat menerima pujian. Kemudian berserah diri kepada Allah Swt yang seharusnya menerima segala pujian makhluknya. Semoga bermanfaat, walau tidak sependapat," kata La Oegi seraya pamit numpang lewat. (**)

21 Feb 2017

Lubang Ditambal Sulam


WAKTU kecil, La Oegi diajari kakeknya. Kalau menemukan paku di jalan, singkirkan ke tempat aman. Perbuatan itu disukai Allah Swt karena mencegah bencana yang akan menimpa diri sendiri dan orang lain. Kalimat ini amat sangat sederhana. "Berbuat baiklah demi keselamatan diri sendiri dan orang lain," tutur La Oegi.

Di Negeri Antah Berantah banyak jalan yang rusak. Ada yang sudah muncul kerikilnya. Ada yang berlubang kecil-kecil. Ada yang berlubang lebar tapi tidak dalam. Ada juga yang sudah parah, lubangnya berukuran lumayan dan dalam.

La Oegi tidak bisa membayangkan, sudah berapa orang yang celaka gara-gara kondisi jalan yang amburadul. Mereka ngebut (salah sendiri), tidak hati-hati. Untung (masih ada 'untung'-nya), kecepatan tidak terlalu tinggi, sehingga tidak ada yang cedera berat.

Dalam benak La Oegi, kadang mengakui kesabaran dan sikap toleran warga Negeri Antah Berantah. Betapa hebatnya toleransi masyarakat kita terhadap lubang di jalan yang berpotensi membahayakan nyawa pengguna jalan.

Meski sudah ada langkah pembenahan dengan tambal sulam, pengguna jalan tetap dalam zona kurang nyaman. Kenapa? Lubang yang ditambal sulam membuat jalan tidak rata. Berombak. Tetapi karena sudah dikerjakan, apa boleh buat. Apapun hasilnya, kita seolah menerima dengan lapang dada.

Dalam benak La Oegi, mungkin pejabat Negeri Antah Berantah tidak pernah melihat, apalagi melewati jalan yang rusak itu. Hanya berjanji akan membenahi tahun anggaran berikutnya. Padahal, dalam hitungan jam bahkan menit, kerusakan itu bisa saja 'makan' korban!

La Oegi pernah mendengar cerita dari luar negeri. Masyarakat setempat aktif melaporkan kepada pemerintahnya, jika ada jalan rusak yang berpotensi membahayakan. Laporannya langsung direspons dengan perbaikan pada hari itu juga. Lubang yang begitu besar bisa tuntas dibenahi dalam hitungan jam.

Lanjut ceritanya, pernah seorang pengendara sepeda terjatuh karena lubang jalan di kawasan Dartford, Inggris. Korban menuntut pemerintah dan mendapatkan uang pengganti, yang kalau dirupiahkan bernilai ratusan juta. "Nah, bayangkan kalau di negeri kita. Setiap korban diberi uang ganti rugi, biayanya pasti jauh lebih mahal daripada memperbaiki jalan berlubang itu," kata La Oegi.

Sebenarnya, masyarakat sudah mengeluarkan biaya jauh lebih mahal jika ketiban sial. Misalnya, biaya rumah sakit kalau cedera. Biaya perbaikan onderdil kendaraan bermotor. Belum lagi kalau ternyata masalah di jalan itu berbuntut urusan dengan yang berwenang, dan ternyata muncul lagi biaya lainnya.

Kembali ke laptop. Eh...., salah, ke pelajaran kakek La Oegi tempo doeloe. Kalau kita memungut paku di jalan mendapatkan pahala. Nah, jika lalai merawat jalan, jumlah korbannya pun jauh lebih banyak, bagaimana pula ganjarannya? "Justru itu berhati-hatilah menggunakan jalan, semoga terhindar dari lubang dengan menikmati tambal sulam," begitu kata La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

31 Jan 2017

Jangan Mudah Terpengaruh Hoax


KABAR burung atau informasi palsu yang dikenal dengan istilah hoax kini diperbincangkan masyarakat di berbagai tempat. Sebagian besar masyarakat kita kadang-kadang mudah terpengaruh dengan hoax yang bermuatan hanya ingin 'mengadu domba'.

Si Sohib yang gagal paham tentang istilah hoax mendesak La Oegi untuk menjelaskan. Hoax adalah satu kata yang digunakan untuk menunjukkan pemberitaan palsu. Atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya agar mempercayai sesuatu. Hoax biasanya digunakan dalam media sosial seperti facebook, twitter, maupun blog.

Ironisnya, jangankan si Sohib, kebanyakan pengguna internet alias netter justru tidak tahu dari mana asal mula penggunaan kata hoax. "Seperti itu?" sela si Sohib. Kata hoax muncul pertama kali tahun 2006 di kalangan netter Amerika, dari sebuah film berjudul The Hoax.

La Oegi menemukan dalam laman bernama 'Sekedar Tahu' bahwa sejak itu, film The Hoax dianggap sebagai film yang banyak mengandung kebohongan. Inilah awalnya para netter menggunakan istilah hoax sebagai suatu kebohongan atau fitnah..

"Lambat laun, penggunaan kata hoax di kalangan netter makin gencar. Bahkan kabarnya kata hoax digunakan oleh netter di hampir seluruh belahan dunia, termasuk di negara kita," jelas La Oegi.

Dampak yang terkena hoax bisa menyebabkan orang sakit hati, kesal, dan marah. Malahan akan menjadi penyebab timbulnya stress karena merasa dipermalukan. Reaksi dari pihak yang terkena dampak hoax akan beragam. Mulai dari yang acuh sampai kepada yang reaktif dan membalas dengan hoax juga. Akhirnya terjadi 'perang', di media sosial.

Meski si Sohib dari tadi hanya bengong mendengar informasi dan penjelasan La Oegi, tiba-tiba mengajukan pertanyaan. "Adakah solusi untuk menghentikan hoax itu? Menurut pendapat si Sohib, hoax itu tidak akan berarti, jika masyarakat mampu memilah kabar yang benar atau kabar bohong.

La Oegi membenarkan pendapat sohibnya. Jika cerdas menggunakan media sosial, maka masyarakat akan mendapatkan manfaat. Alasannya, di media sosial ada ahli fikih, sejarah, sastra, dan sebagainya. "Boleh jadi hoax akan hilang dengan sendirinya, karena hubungan hoax dengan media sosial hanya mode belaka," tuturnya.

La Oegi mewanti-wanti, agar masyarakat tidak mudah terpengaruh akan kabar bohong di media sosial. Sebaiknya kembali kepada masing-masing pribadi untuk mampu menghindari hoax yang tidak sesuai dengan akal sehat.

Namun demikian, masyarakat harus tetap waspada, karena hoax akan terus berdatangan. Hati-hati! Karena bisa saja hoax menyebar di sekitar kita. Asal bukan kita yang menyebarkan, apalagi memproduksinya. Salam, ini bukan hoax," kata La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)


26 Jan 2017

Semangat Nasionalisme Bangkitkan Budaya Etnis Tionghoa


Sambut Tahun Baru Imlek 2568

Penulis: Syahrir Hakim  

HAMPIR setiap momen tahun baru Imlek muncul anekdot ini. Seorang akung (sebutan kakek tionghoa) yang ke mana-mana pakai kaos singlet swan brand, celana piyama garis-garis. Tangan kanannya menggerak-gerakkan kipas sate. Akung selalu mengeluhkan ulah seseorang yang selalu datang minta angpao setiap hari raya. Tentunya berisi duit.   

"Oe pusing lihat olang ini. Lebalan datang, natal datang, tahun baru datang, waisak datang yuga. Eeeeeeh........., imlek dataaang lagi. Dikasih lokok, minta luit. Dikasih luit, wadduh lokok ambil yuga. Pulang, minta ongkos lagi. Haaa.......yaaa, benel-benel tak abis pikil. Lu olang punya agama apa yaaa," teriak akung kesal mengetuk-ngetukkan telapak tangan kiri di jidatnya.  

Hayyaaaaa, ............ Sudahlah, kita tinggalkan akung. Menurut penanggalan Tionghoa, tahun baru Imlek 2568 menandai dimulainya tahun ayam. Bila dihitung berdasarkan kalender masehi, tahun baru Imlek selalu jatuh di antara bulan Januari dan Februari. Tahun ini perayaan tahun baru Imlek jatuh pada hari Sabtu, 28 Januari 2017.   

Tahun baru Imlek biasanya dirayakan dengan makan malam bersama keluarga. Aktivitas membersihkan rumah yang diyakini menyapu bersih "kemalangan" tahun lalu dan menyambut "nasib baik" di tahun yang baru. Kebersamaan dalam merayakan Imlek menjadi perekat sebagai warga negara Indonesia. Serekat kue bakul dan dodol Cina. Kue khas Imlek.  

Di Indonesia, tahun baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres No 19/2002 dan mulai dirayakan sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003. Selain di Indonesia, tahun baru Imlek juga merupakan hari libur nasional di negara-negara Brunei, Filipina, Korea, Malaysia, Mauritius, Singapura, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam.   

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek dan mengekspresikan budaya dan adat-istiadatnya pada tahun 2000. Ketika itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967.   

Lalu mengeluarkan Keppres Nomor 19/2001, tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur hanya berlaku bagi mereka yang merayakan. Oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek resmi dinyatakan sebagai hari libur nasional mulai tahun 2003. Itulah sebabnya Gur Dur dan Megawati, dianggap sebagai 'pahlawan' bagi etnis Tionghoa Indonesia.   

Sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, terjadi penindasan terhadap budaya dan adat-istiadat Tionghoa. Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Diawali penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa.   

Pada 18 November 1978, terbitlah SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978 tentang Pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Isinya antara lain, larangan bagi Kantor Catatan Sipil mencatat perkawinan yang berdasarkan agama Khonghucu.   

Agama Khonghucu tidak boleh dicantumkan di kolom agama di KTP. Penutupan serta larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia, membuat kebanyakan Tionghoa yang beragama Khonghucu terdesak dan memilih pindah ke agama Kristen, Budha, dan Islam.   

Sejak berlakunya Inpres itu, maka semua hal-hal yang berbau agama, budaya, dan adat istiadat Tionghoa dilarang diselenggarakan di seluruh Indonesia. Maka sejak itu, aksara dan bahasa Cina, termasuk sastra, lagu, dan musiknya dilarang.  

 Perayaan Imlek dengan pernak-perniknya, tarian barongsai dan liong, perayaan Cap Goh Meh, Pehcun, dan sebagainya dilarang. Jika nekat melaksanakan, pelakunya akan masuk penjara sebagai pelaku kejahatan subversif.   

Lewat proses sejarah yang panjang di bawah rezim Orde Baru itu, membawa dampak sampai sekarang di kalangan Tionghoa Indonesia. Meskipun upaya rezim Orde Baru memusnahkan semua unsur budaya dan adat-istiadat Tionghoa gagal, namun akibatnya sangat parah.  

 Antara lain, membuat sebagian besar generasi muda Tionghoa Indonesia yang dilahirkan di tahun 1960-an sampai 1990-an tidak mengenal banyak budaya dan adat istiadat leluhurnya. Termasuk dalam merayakan Imlek dengan segala pernak-perniknya.   

Sebagian besar sudah tidak bisa berbahasa Cina. Namun, budaya (terutama agama, bahasa, dan aksara) suatu bangsa, dan adat-istiadatnya tak mungkin bisa dimusnahkan begitu saja oleh suatu rezim. Budaya itu hanya bisa ditekan dan ditindas untuk sementara waktu.   

 Apalagi budaya Tionghoa yang dikenal sangat kuat, usianya berabad-abad, dan bersumber dari negara sebesar Tiongkok. Maka tak heran, setelah rezim penindas etnis Tionghoa itu lengser, diganti dengan pemerintahan baru yang reformis dan demokratis, budaya dan adat-istiadat itupun bangkit kembali.    

Eksistensi agama Khonghucu pun diakui negara, perkawinan umatnya dicatat di Kantor Catatan Sipil, dan di KTP, di kolom agamanya boleh dicantumkan agama Khonghucu. Kebangkitan kembali budaya dan adat-istiadat Tionghoa ini tampil dengan wajah baru. Apalagi telah dipengaruhi dan berbaur dengan budaya dan adat istiadat setempat.    

Kebangkitan kembali budaya dan adat istiadat itu disertai pula semangat nasionalisme Indonesia. Budaya dan adat istiadat Tionghoa itu kini telah diterima dan menjadi bagian dari budaya Indonesia. Selain itu, semakin banyak generasi muda Tionghoa Indonesia yang berperan serta di dunia politik dan pemerintahan.   

Demikianlah gambaran dari kondisi generasi muda Tionghoa Indonesia saat ini. Akibat dari kebijakan rasisme rezim Orde Baru masih sangat terasa sampai sekarang. Namun seiring dengan kebangkitan kembali budaya dan adat istiadat itu, generasi sekarang sudah mulai memperkenalkan kembali budaya dan adat-istiadatnya.    

Perayaan Imlek dengan cara-cara yang sesuai dengan agama yang dianutnya mulai dikenal. Tarian barongsai dan liong yang sebelumnya hanya diketahui dari buku-buku dan film-film kungfu dari Hongkong juga sudah bisa disaksikan langsung.   

Bahasa Cina pun mulai dipelajari dengan dibukanya kembali sekolah-sekolah dan kursus-kursus bahasa Cina di seluruh Indonesia. Kebangkitan kembali budaya itu, juga diterima dan ditandai dengan ikut terlibatnya secara langsung suku-suku bangsa lain yang bukan Tionghoa. Misalnya, tarian barongsai dan liong sudah bukan lagi monopoli penari-penari dari etnis Tionghoa.     

Sedangkan generasi yang dilahirkan di tahun 2000-an, atau saat budaya dan adat-istiadat Tionghoa bebas diekspresikan akan bisa lebih mengenal budaya leluhurnya. Dengan banyaknya dibuka sekolah dan kursus-kursus bahasa China, dipastikan akan lebih banyak generasi Tionghoa yang pasih menggunakan bahasa leluhurnya.  

Dampak positif dari penindasan terhadap budaya Tionghoa oleh rezim Orde Baru adalah semakin tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia di kalangan etnis Tionghoa. Mereka yang selama tiga dekade ditindas karena dianggap berbeda, bahkan berbahaya oleh rezim itu sesungguhnya sudah menganggap dirinya sebagai bagian dari Indonesia.   

Penindasan itu membuat mereka semakin bersemangat dan mengobarkan jiwa nasionalisme untuk bangkit dan membuktikan ke-Indonesia-annya. Selamat Tahun Baru Imlek 2568. Selamat sukses semoga sejahtera. Gong Xi Fa Chai. (dari berbagai sumber)



23 Jan 2017

Mau Jujur? Belajarlah di Toilet


SETELAH menyeruput kopi di Warkop langganannya, si Sohib membisikkan sesuatu ke kuping kanan La Oegi. Setelah paham bisikan itu, ia tersenyum dan berkata, "Lucu ya, dalam satu 'rumah' bisa saling lapor ke aparat penegak hukum". "Bisa saja saudara! Apalagi jika dalam rumah itu, tidak ada lagi kesepahaman," timpal si Sohib.

Saling mempolisikan di sebuah badan layanan umum di Negeri Antah Berantah jadi perbincangan hangat warganya. Diduga pemicunya 'ada dusta di antara kita' alias 'ketidakjujuran'. Si Sohib kaget mendengarnya. Lantas dia berkata, "Kejujuran itu mahal harganya bung! Karena diikat dengan hati nurani manusia. Selain itu merupakan anugerah dari Allah Swt".

"Ketika ucapan dirasa tak jujur, hati menjadi risau. Hidup kita tak pernah tenang karena diselubungi rasa was-was. Sebaliknya, sikap jujur alias transparansi membuat hidup lebih tenteram tanpa ada tekanan dari luar maupun dari batin kita sendiri," begitu pendapat si Sohib.

La Oegi menimpali, sebenarnya setiap hari kita mendapat pelajaran jujur. Setiap hari kita mendapatkan nilai tambah kejujuran. Namun kita tidak menyadari. "Oh, begitu," sela si Sohib. "Ya iyala. Mau tahu? Orang jujur itu adalah orang yang terbuka, ikhlas, dan lurus. Tidak bengkok," terangnya. Kenapa kita sulit jujur? Tanya La Oegi yang dijawab sendiri. Karena kita kurang terbuka alias tidak transparan.

"Lalu, bagaimana agar saya menjadi orang terbuka atau jujur?" tanya si Sohib. "Masuk saja ke toilet," jawab La Oegi singkat. "Jangan bercanda saudara. Saya ini serius," kata si Sohib dengan nada kesal. Kedengarannya memang lucu, tetapi kali ini La Oegi serius. "Di toilet lah kita bisa terbuka seterbuka-bukanya saat ada hasrat buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB), atau mandi," kata La Oegi. 

Dicontohkan, kalau kita mandi, tidak mungkin pakai jas atau jas hujan apalagi kebaya. "Pernah lihat orang mandi pakai hak tinggi? Kalau lagi mandi ya jelas terbuka semua. Kita tidak bisa bohong. Kita akan buka semuanya lalu menuntaskan semua urusan itu," jelasnya. 

Mendapat penjelasan begitu, si Sohib malah bengong. Meski kentara dari rona mukanya bahwa dia masih gagal paham, tapi dia serius menyimak penjelasan La Oegi. "Apalagi kalau diperhadapkan dengan BAB. Tidak ada yang dapat mengadang keinginan kuat itu. Siapapun akan kita lawan, kejar, sikut, tarik, jambak demi kita bisa masuk ke toilet, kata La Oegi penuh semangat.

Sesampainya di dalam toilet, kita akan jujur. Tidak ada lagi dusta di antara kita. Semuanya kita buka. Di sinilah Anda belajar jujur kembali. Jujur menumpahkan semua penderitaan. Kesimpulannya, toilet tidak boleh disepelekan. Keberadaannya sangat penting.

Bayangkan tiap rumah pasti ada toilet, berarti di tiap rumah semua orang belajar jujur. Setiap hari semua orang di dunia ke toilet, berarti setiap hari orang di dunia belajar jujur. "Oke? Salam kejujuran," kata La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

19 Jan 2017

Kebijakan 'Underkompor'


ISTRI tetangga La Ogie, pagi-pagi sudah ngomel. Uang belanja yang dikasih suaminya, tidak cukup untuk dibelikan kebutuhan dapur. Biasanya, belanjaan sudah komplet. Rekening listrik dan air sudah diselesaikan. Kemarin, dia ke pasar, tidak semua kebutuhan bisa dibeli akibat harga-harga kebutuhan mulai merangkak.

La Oegi berpendapat, agaknya pemerintah kali ini cukup ‘adil’ menaikkan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM) serta biaya administrasi STNK. Kenapa? Karena yang merasakan imbasnya, bukan hanya masyarakat ekonomi lemah, tetapi masyarakat pada level menengah ke atas juga terkena dampaknya.

"Meskipun kebijakan itu sudah memicu protes dari kalangan mahasiswa di berbagai kota, namun kita harus tetap mengencangkan 'ikat pinggang'. Suka atau tidak suka, harga baru BBM, listrik, STNK sudah diberlakukan," saran La Oegi sambil membetulkan duduknya di bangku panjang Warkop langganannya.

Sayangnya, kenaikan tarif listrik belum diikuti peningkatan pelayanan. Di tengah perbincangan kenaikan tarif listrik, malah kita dalam kegelapan, kita disibukkan mencari lilin. Menghidupkan genset, menghidupkan lampu cas karena terjadi pemadaman bergilir. "Alamaaak ...........!!!" kata La Oegi dengan nada kesal sambil memegang kepalanya.

Kebijakan pemerintah seperti ini memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Semua ikut merangkak, karena biaya produksi dan transportasi juga bertambah. "Akibatnya bisa ditebak, rakyatlah yang akan menanggung beban berat. Padahal kondisi ekonomi masyarakat saat ini sudah sulit," celetuk si Sohib.

La Oegi membenarkan celetukan sohibnya. Lantas dia menambahkan, beban sehari-hari saja saat ini sudah berat. Daya beli masyarakat semakin hari semakin menurun. Apa boleh bulat. (Ehehee salah......., maksudnya buat). Inilah diistilahkan kebijakan 'Underkompor' sebagai kado pahit tahun baru 2017.

Si Sohib ternyata gagal paham (baca tidak mengerti) istilah baru La Oegi. 'Underkompor' itu, artinya di bawah kompor. "Sesuatu bahan makanan yang hanya ditaruh di bawah kompor, jelas tidak akan masak. Sampai 'lebaran kuda' tidak akan bisa dihidangkan untuk dicicipi. Tetapi jika bahan makanan dimasukkan dalam panci atau kuali lalu dimasak di atas kompor sambil menunggu matangnya, siap dihidangkan untuk disantap," jelas La Oegi.

Begitu pula sebuah kebijakan, harus dilakukan dengan perencanaan yang matang. Jika perencanaannya sudah matang, hasil kebijakan akan dirasakan langsung masyarakat secara berimbang. Semisal antara kenaikan tarif dengan pelayanan yang prima.

Pendapat teman lain mengatakan, pemerintah harus segera mencari solusi mengatasi kekurangan anggaran. Baik kebijakan dari sisi pembiayaan dalam dan luar negeri, serta meningkatkan pendapatan nasional. "Bukan rakyat yang sudah mengencangkan 'ikat pinggang', dipaksa lebih kencang lagi 'mengikat pinggang'. Salam 'Underkompor'," ucap La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)