21 Nov 2016

Segenggam Harapan Buat PWI


PENGANTAR
Tulisan ini dibuat sehari setelah pelantikan Pengurus PWI Kota Parepare-Kabupaten Barru yang dimuat di Harian PARE POS halaman pertama edisi Selasa, 22 November 2016.

PENGURUS Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Parepare-Kabupaten Barru dilantik, Senin kemarin. Pelantikan dilakukan Ketua PWI Provinsi Sulsel HM Agus Salim Alwi Hamu di Barugae, Kompleks Rujab Wali Kota Parepare. Pengurus PWI periode 2016-2019 itu diketuai Rahmat Patadjangi.

Masyarakat tentunya berharap banyak, semoga pengurus baru PWI Parepare-Barru dapat mengemban tugas dan fungsinya dengan baik, sehingga ke depan organisasi profesi ini dapat lebih berkembang. Meski ke depan tantangan yang akan dihadapi cukup berat dan beragam.

Sebagai organisasi profesi kewartawanan, salah satu fungsi PWI adalah memelihara dan meningkatkan standar perilaku profesional anggotanya. Artinya, segenap pengurus PWI dan anggotanya menjadi pihak pertama yang wajib melaksanakan pekerjaan sesuai standar profesi.

Jika disebut standar profesi, maka akan mencakup standar teknis dan etis. Dengan standar teknis, seorang wartawan dapat bekerja untuk menghasilkan karya jurnalistik yang diperoleh berdasarkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Organisasi profesi kewartawanan inipun dibentuk untuk menjaga agar tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan para wartawan memiliki harkat dan kualitas di tengah masyarakat. Dengan mengemban fungsinya, PWI akan melakukan pengawasan dan pengamatan secara kontinu tentang citra pekerjaan profesional ini dalam masyarakat.

Terkait hal di atas, saya dan mungkin masyarakat umumnya, menitip harapan kepada pengurus baru PWI Parepare-Barru. Harapan agar benar-benar melakukan pembinaan yang intens terhadap anggotanya yang terkadang melakukan 'praktik abal-abal'. Perilaku yang mengundang kesan kurang terpuji dan dapat mencoreng citra PWI itu sendiri.

Mungkin ada saja oknum yang hanya mengantongi kartu identitas salah satu penertiban maupun kartu pers PWI, tapi tidak melakukan pekerjaan sesuai standar profesi. Ulah yang tidak terpuji oknum tersebut terkadang membuat gerah dan resah pejabat maupun masyarakat sebagai sumber berita. Modus operandinya hanya mencari-cari masalah pejabat. Kesalahan sumber berita tersebut diolah menjadi rupiah.

Maka tidak heran, kalau ada pejabat yang mendadak menghilang karena menghindari bertemu oknum seperti itu. Kalau sudah begini, wartawan profesional lah yang ketiban sial. Ketika mendapat tugas mewawancarai pejabat bersangkutan, harus rela menemui kendala untuk melengkapi beritanya dengan sebuah konfirmasi pejabat tersebut. Ini hanya secuil tantangan bagi PWI Parepare-Barru.

Pengurus baru PWI Parepare-Barru diharapkan bisa menjawab tantangan itu dengan program kerja. Program kerja dan tatanan sistem yang baik akan memudahkan pengurus melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan. Upaya pembinaan dengan meningkatkan kualitas profesionalisme bagi wartawan anggota PWI.

Kenapa kualitas profesionalisme wartawan yang jadi sasaran untuk ditingkatkan? Sebab, wartawan atau jurnalis adalah pekerja yang profesional. Mereka melakukan kerja jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita atau laporannya untuk dimuat di media massa.

Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, program peningkatan kualitas dan profesionalisme wartawan terus dilakukan dengan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Ketua PWI Pusat Margiono seperti dikutip dari laman PWI Pusat mendorong seluruh wartawan untuk melakukan sertifikasi. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya.

Menurutnya, wartawan perlu terus belajar dan belajar, karena hanya wartawan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan menulis yang bisa memberikan inspirasi dan kemaslahatan bagi banyak orang.

"Karya jurnalistik wartawan yang baik adalah karya yang dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Karya jurnalistik seperti itu hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang profesional dan memiliki kompetensi," kata Margiono dalam sebuah kesempatan.

Senada pesan Chairman Fajar Grup (Grup PARE POS) HM Alwi Hamu kepada redaksi Fajar Group. Di dalam menulis berita seyogianya berupaya membantu pemerintah mendorong  memajukan daerah. Mengedepankan filosofi berita bagus adalah berita terbaik (The Good News Is The Best News). Mengkritisi secara bijak, memberikan solusi, dan tidak membuat gaduh.

"Bukan zamannya lagi membuat gaduh. Tapi kritisi pengambil kebijakan dengan bijak, berikan solusi, dan hasil terbaik untuk kemajuan bersama. Berita yang disajikan lebih mendalam, bijak, dan lebih mengedepankan solusi. Tidak sekadar informatif, tapi memberikan edukasi kepada pembaca," itu pesan Pak Alwi Hamu. (**)

31 Okt 2016

Pungli Kecil-kecilan hingga Puber


PUNGUTAN liar populer dengan singkatan Pungli. Pungli seolah telah menjadi suatu kelaziman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kerja ini dimaknai, meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Pungutan seperti itu termasuk kategori korupsi. Korupsi lewat pungli.

Hampir setiap saat kita menyaksikan atau malah terkena pungli, meskipun dalam skala kecil. Pungli kecil-kecilan memang jumlahnya tak seberapa. Tetapi karena dilakukan pada banyak orang, jumlahnya pun bisa jadi waaah!

La Oegi tersenyum mendengar pertanyaan sohibnya yang pura-pura tidak tahu di mana lahan pungli kecil-kecilan itu. "Hmmmm, kasih tau ga yaaa? Mau tau aja, atau mau tau bangeeet?” canda La Oegi berbahasa gaul yang lagi ngetren saat ini. Menurut pengamatan La Oegi, pungli kecil-kecilan sudah menjadi kebiasaan di lahan parkir, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), atau toko swalayan.

Bayangkan! Berapa kelebihan dikantongi tukang parkir yang terkadang menaikkan tarif parkir dua kali lipat tanpa karcis. Berapa keuntungan SPBU yang selalu membulatkan harga ke atas (jarang sekali merelakan pembulatan ke bawah). Berapa pula keuntungan pemilik swalayan yang kadang tidak memberikan kembalian konsumen hingga Rp500? 

Selain pungli kecil-kecilan ada juga Pungli Berkelas disingkat Puber. Oknum-oknum puber adalah orang-orang yang lebih terorganisir. Praktik mereka lebih tertutup dan susah dilacak. "Cara kerjanya (maaf) mirip kentut. Baunya tercium, tapi bendanya tak kelihatan," La Oegi mengibaratkan.

Pungli kecil-kecilan seperti dilakukan petugas parkir, hanya butuh uang untuk melanjutkan HIDUP mereka. Bukan untuk menjadi KAYA. Lain halnya dengan Puber. Dari segi jumlah dan manfaatnya, Puber adalah 'cara sehat' untuk KAYA. "Tetapi besar kecil hasilnya, pungli adalah kebiasaan koruptif," ujar La Oegi. 

Kata La Oegi, mungkin penguasa mulai bosan melihat rakyatnya didera pungli dari berbagai sudut kehidupan. Dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, penegak hukum kini mulai 'bersih-bersih'. Sapu bersih pungli mulai 'diayunkan' di semua lembaga pelayanan masyarakat, yang selama ini diduga rawan terjadi praktik pungli, termasuk di Negeri Antah Berantah.

Rakyat tentunya sepakat dengan La Oegi, jika penegak hukum sukses mengayunkan 'sapu bersih'nya, jelas rakyat akan bernapas lega. Namun, La Oegi berharap, jika perang melawan pungli seyogianya dikomandoi seorang 'panglima perang' yang tegas dan bernyali.

Sebab dibutuhkan komitmen kuat dan aksi nyata serta nyali mengeksekusi pelaku yang terbukti melakukan pungli. "Ibarat sapu yang kotor ujungnya, jelas tidak akan membersihkan lantai hingga mengkilap," tutur La Oegi penuh makna sambil pamit numpang lewat. (**)

17 Okt 2016

Izin yang Tertunda


SOHIB La Oegi hanya mampu geleng-geleng kepala menikmati cara kerja abdi Negeri Antah Berantah. Dua pekan lalu, dia menyerahkan berkas di Kantor Pemberi Surat Izin disingkat Kantor Berzin. Berkas dimaksud untuk pengurusan perpanjangan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) sebuah badan usaha.

Setelah semua berkas diterima, petugas memberikan dua lembar chek list daftar persyaratan. Berkas dinyatakan lengkap. Pada bagian tengah chek list tersebut dibubuhi tulisan tangan 'kembali 12 Oktober'. Artinya 7 hari kerja, pemohon dapat mengambil perpanjangan surat izin tersebut.

Di tengah penantian, petugas Dinas Industri, Dagang, dan Koperasi disingkat Dindakop
meminta surat permohonan rekomendasi perpanjangan surat izin yang diurus sohib La Oegi. Katanya, untuk melengkapi berkas yang diserahkan sebelumnya. Meski sudah menyerahkan yang diminta, sohib La Oegi sempat membatin, benarkah berkasnya masih kurang lengkap?

Sambil menyeruput kopinya, si sohib kembali membatin. Apakah petugas Kantor Berzin yang kurang teliti memeriksa berkas, sehingga dianggap sudah lengkap? Ataukah petugas Dindakop yang membuat aturan baru, meminta surat permohonan rekomendasi?

Tiga hari kemudian, di saat sohib La Oegi akan mengambil surat izin baru yang dijanjikan Kantor Berzin, tiba-tiba dua petugas dari Dindakop baru melakukan survei ke tempat pemohon surat izin.

Esoknya, telat satu hari, sohib La Oegi mencoba menanyakan ke petugas Kantor Berzin surat izin dimaksud. Setelah membuka-buka lembar demi lembar buku registrasi dan mencari di komputer, ternyata berkas dimaksud belum ada. "Berkasnya belum dikirim dari Dindakop," kata seorang petugas.

"Kapan bisa selesai?" tanya si Sohib. Petugas itu menjawab, "Kira-kira dua hari lagi pak, atau Senin coba chek lagi". Sohib La Oegi kembali bertanya, "Lama juga pengurusan yang beginian ya". "Memang biasa begitu pak, biasanya yang lama ditunggu itu tanda tangan berwenang," petugas itu keceplosan.

Mendengar curhat sohibnya, La Oegi hanya menarik napas panjang. Lantas dia mengatakan, memang diakui, tidak ada standar jangka waktu tertentu dalam penerbitan surat perizinan. Namun dalam praktiknya surat perizinan akan diterbitkan dalam jangka waktu 4-6 hari setelah permohonan lengkap diterima.

Umumnya, lanjut La Oegi, durasi pengurusan izin yang baru, paling lama 14 hari kerja sejak persyaratan diyatakan lengkap. Sedangkan pengurusan perpanjangan izin, paling lama 5 (lima) hari kerja sejak persyaratannya dinyatakan lengkap.

Namun, masih kata La Oegi, lebih cepat lebih baik. Karena dengan cepatnya surat izin diterbitkan, memberikan kesempatan bagi pemohon untuk segera menggerakkan usahanya. Lebih cepat pengusaha beraksi, perekonomian juga semakin cepat menggeliat. Retribusi pun mengalir masuk ke kas pemerintah daerah.

Lantas dimanakah letak keterlambatan itu? "Hmmm, tanya saja rumput yang bergoyang atau awan yang bergeser ditiup angin," jawab La Oegi penuh makna sambil pamit numpang lewat. (**)

29 Sep 2016

Di Balik Seragam Abdi Negara


USAI salat zuhur, La Oegi dan sohibnya sempat bincang 'sersan' di salah satu warung kopi (Warkop) di Negeri Antah Berantah. 'Sersan' maksudnya bukan pangkat militer, tapi singkatan dari 'serius santai'. Sambil menyeruput kopinya, sohib La Oegi memperhatikan tiga wanita muda masuk warkop tersebut.

Ketiga wanita berkulit putih, berbodi tinggi langsing itu, mulai menebar pesona. Mereka mendekati pelanggan warkop. "Permisi pak, mau nawarin rokok," kata seorang di antaranya. Sembari tersenyum, menyodorkan sebungkus rokok kepada seseorang di samping sohib La Oegi. Si Sohib melirik wanita itu, seolah berharap sesuatu.

Ketiganya Sales Promotion Girl (SPG) itu mengenakan seragam. Baju putih dipadu celana kulot (rok model celana) pendek warna merah, kurang lebih 10 cm di atas lutut. Penampilannya seolah menambah percaya diri untuk meluluhkan hati calon konsumen untukmembeli rokok yang ditawarkan.

La Oegi menepuk paha sohibnya yang sedari tadi melirik salah seorang SPG tersebut. Meski sudah ditegur dengan tepukan di bagian paha, si Sohib masih saja memperhatikan ketiga wanita itu. "Apa yang kamu perhatikan dari ketiga wanita cantik itu?" tanya La Oegi penasaran.

Si Sohib sambil tersenyum mengatakan, hanya memperhatikan seragam yang dikenakan ketiga wanita muda itu. Dirinya teringat akan seragam abdi negara di Negeri Antah Berantah yang mulai diberlakukan  pekan lalu. Kemudian terjadi perubahan pakaian tertentu yang wajib dikenakan pada hari tertentu pula.

"Iya seragam baru abdi negara, kenapa, ada yang aneh?" La Oegi balik bertanya ke sohibnya. "Tidak ada apa-apa, hanya sekadar bertanya. Apa makna di balik seragam baru abdi negara itu. Apakah hanya sekadar pembeda antara pegawai dengan yang bukan pegawai?" tanya si Sohib.

La Oegi tidak langsung menjawab pertanyaan sohibnya. Dia hanya menitip harapan, agar pakaian dinas baru itu, bukan sekadar pembeda antara pegawai dengan yang bukan pegawai. Tetapi di balik seragam itu terdapat semangat abdi negara untuk meningkatkan kinerja dalam melayani kepentingan masyarakat.

Sebab, kata La Oegi, seiring pesatnya perkembangan saat ini, semakin banyak pula tuntutan masyarakat akan kinerja para abdi negara, agar memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. "Bukan sebaliknya, melayani penguasa untuk menguasai masyarakat," tutur La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

19 Sep 2016

"Maaf, Bapak Salah Sambung"


SOHIB La Oegi sempat kecewa, gara-gara salah informasi. Siang itu dia butuh air bersih. Sudah seminggu di rumahnya kekeringan. Air seolah enggan lagi menetes dari keran PDAM. Air baku di sungai yang besar itupun semakin menipis. Meski hujan sekali-sekali 'tumpah" mengguyur Negeri Antah Berantah, belum dapat menambah debit air baku di sana.

Di beberapa lokasi tertentu, warga 'menjerit' kesulitan air bersih. Terutama sohib La Oegi. Dia sudah berupaya menghubungi nomor layanan petugas di sumur yang dalam, tapi diminta menunggu. "Masih ada 20-an penelepon yang harus dilayani," begitu kata petugas di sana. "Banyak jalan menuju Roma," pikir si Sohib. Peribahasa itu memotivasi dirinya, bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, kita tidak perlu khawatir, ada banyak cara atau alternatif yang dapat ditempuh. 

Dia pernah baca berita di koran ini. Pelayanan pengantaran air bersih bisa melalui pusat panggilan 112. Segera dihubungi. Walau istrinya sempat mencegah. Alasannya, nomor itu untuk pelayanan kesehatan. Si Sohib tetap ngotot memencet nomor itu. Minta segera diantarkan air bersih, karena sudah seminggu tidak menikmati air.

Di ujung telepon sana menjawab, "Pusat panggilan 112 pelayanan kesehatan. Di sini pelayanan kesehatan, bukan pelayanan air bersih, maaf ya Pak, Bapak salah sambung". "Wadduh ini namanya salah informasi. Benar kata istri saya," kata si Sohib dengan perasaan kecewa. 

Mendengar sohibnya agak kecewa, La Oegi berusaha menjelaskan. Memang Pemerintah Negeri Antah Berantah akan menjadikan layanan pusat panggilan 112 sebagai pusat pelayanan kondisi darurat. "Bagi warga yang membutuhkan layanan emergensi seperti pemadam kebakaran, bencana, polisi, dan kesehatan. Bahkan layanan air bersih PDAM," kata La Oegi.

"Kapan bisa direalisasikan?" desak si Sohib. "Sabar sohib, untuk mengoneksikan layanan pusat panggilan 112, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tentunya butuh persetujuan pemerintah pusat terkait, jaringan, hardware, software, dan sumber daya manusia (SDM)-nya," jelas La Oegi.

Upaya mengatasi krisis air bersih, sudah dilakukan dengan mengoptimalkan sumur dalam yang ada. Namun, air sumur dalam pun mulai berkurang. Langkah selanjutnya, akan dilakukan lagi pembangunan beberapa sumur dalam. Hanya langkah itu yang dapat mengatasi 'jeritan' warga. Langkah itupun sudah mendapat apresiasi dari wakil rakyat. 

Ketika mendengar 'jeritan' sohibnya soal sulitnya mendapatkan air bersih, La Oegi berusaha menenangkan, "Sabar, tak lama lagi kesulitan itu akan teratasi," La Oegi juga mengangkat jempol buat langkah pemerintah mengatasi krisis air bersih di negerinya.

Namun, La Oegi berharap agar upaya mengatasi krisis air bersih tetap mengutamakan strategi pembangunan yang tepat. Misalnya, pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus semakin digalakkan. Ini dilakukan untuk meningkatkan persediaan air tanah. Seperti pendapat seorang arsitek lanskap, Nirwono Joga. 

Nirwono dalam sebuah buku menulis, satu hektar RTH di kota yang dipenuhi pepohonan besar akan mampu pertama, menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk 1.500 penduduk per hari. Kedua, menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Ketiga, mentransfer 4.000 liter air per hari. Keempat, menurunkan suhu 5-8 derajat Celsius. Kelima, meredam kebisingan sampai 25-80 persen. "Nah, semoga pendapat arsitek ini bermanfaat bagi kita semua," tutur La Oegi sambil berlalu numpang lewat. (**)

16 Sep 2016

BPJS, Sebuah Solusi Nikmati Pelayanan Kesehatan


PENGANTAR
Tulisan di bawah ini dimuat di Harian PARE POS Edisi, Sabtu, 17 September 2016 di halaman 1 bersambung ke halaman 7, sebagai salah satu syarat mengikuti Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2016.

Penulis Syahrir Hakim

SEPEKAN terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Kata orang, membosankan. Tapi Alhamdulilah, berkat pelayanan petugas medis RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare seolah membuat saya 'betah'. Saya betul-betul menikmati 'istirahat' di rumah sakit tipe B itu.

Ketika itu, Minggu pagi, masih sempat olahraga. Biasa, gowes sepeda menyusuri jalan-jalan protokol di Kota Parepare. Sorenya, kesehatan saya terganggu. Badan meriang. Meski sempoyongan, saya berusaha untuk tetap bertahan. Saya mencoba mengonsumsi 'obat warung', sebagai upaya pertolongan pertama meredakan panas-dingin di tubuh ini. Hasilnya. Lumayan, sedikit tertolong.

Esoknya, kesegaran tubuh yang saya tunggu-tunggu, malah sakit itu bertambah. Badan kembali meriang, hidung tersumbat, sulit bernapas. Flu berat. Satu lagi yang tak bisa diajak kompromi. Nyeri di dada sebelah kiri disertai perasaan lemas. "Ampun deh! Tak ada lagi tawar menawar. Harus masuk rumah sakit," kata saya kepada istri.

Senin sore, 9 April 2015, atas bantuan tetangga, saya tiba di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Andi Makkasau, Kota Parepare. Perawat yang bertugas di UGD menanyakan apa yang saya keluhkan. "Meriang, nyeri di dada, dan lemas," jawab saya. "Ada sesak?" tanyanya lagi. Saya jawab, tidak ada.

Dua perawat mulai sibuk. Ada yang memeriksa tekanan darah lalu menempelkan kabel-kabel Elektrokardiogram (EKG) di dada. Ada pula yang menusukkan jarum infus ke pembuluh nadi di lengan kanan saya. Setelah semua persiapan rawat inap rampung, saya turun dari ranjang pasien menuju kursi roda. Selanjutnya dipindahkan ke ruang perawatan di Cardiac Centre.

Selama sepekan terbaring sebagai pasien, saya merasakan nikmatnya pelayanan dari dokter, Unit Perawatan Cardiac Centre, hingga para perawat RSUD Andi Makkasau. Pelayanan tenaga medis terhadap pasien BPJS, saya rasakan cukup baik. Tidak membedakan antara pasien umum dan pasien BPJS. Semua dilayani dengan baik, disertai sapa dan senyum.

Saat diizinkan pulang ke rumah oleh dokter, istri saya sudah menyiapkan dana jika ada selisih biaya perawatan yang harus dilunasi. Tapi, di dalam nota pembayaran tertulis angka nol alias gratis. Biaya perawatan saya sudah ditanggung BPJS Kesehatan.

"Untung sekarang ada BPJS, biaya pengobatan gratis. Pasien yang tidak berduit sekalipun tidak takut lagi berobat ke rumah sakit," kata pria yang terbaring di sebelah saya.

Sebagai peserta BPJS Kesehatan yang dibayarkan perusahaan tempat saya bekerja, saya mendapatkan fasilitas pelayanan BPJS Kelas II. Selama menjadi peserta dan menggunakan BPJS Kesehatan, saya tidak pernah menemui kesulitan. Baik saat mengambil rujukan, rawat inap maupun rawat jalan.

Saya sering kali berobat ke rumah sakit. Baik rawat inap maupun rawat jalan. Sebelum berhadapan dokter yang akan memberikan hak pengobatan kepada saya, terlebih dahulu saya memenuhi kewajiban melengkapi persyaratan administrasi yang diperlukan. Mulai rujukan dari fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat I hingga surat jaminan pengobatan dari BPJS.

Jika ada yang mengalami kesulitan dalam penggunaan BPJS Kesehatan, bisa dipastikan karena tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Kesulitan tidak berarti yang sering saya rasakan hanya ketika menunggu antrean. Karena memang banyak pasien yang akan berobat.

Seorang dokter pernah mengatakan kepada saya, dirinya merasa nyaman dengan hadirnya pola pembiayaan kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Bisa dibandingkan sebelum dan sesudah ada BPJS Kesehatan.

"Dulu, banyak pasien umum yang tidak mampu bayar, lalu minta tolong kepada pejabat untuk meringankan biaya pengobatan dan perawatannya atau bahkan minta digratiskan," tutur dokter spesialis penyakit dalam itu.

Dia mengaku, merasa nyaman dengan pola pembiayaan BPJS Kesehatan. Sebab jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan ini benar-benar memberi kepastian pembiayaan kesehatan. "Jaminan kesehatan nasional ini kan semangatnya gotong royong. Diharapkan dengan BPJS Kesehatan semua tetap aman dan nyaman, pasien senang, provider aman, dokter pun nyaman,” ujarnya.

Melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan sebuah solusi. Bagaimana kita menikmati pelayanan kesehatan di rumah sakit, tanpa mengeluarkan biaya. Hanya dengan menerapkan prinsip bergotong royong, semua akan tertolong. (**)

6 Sep 2016

Uang Panai dan 'Haji Filipina'


DI sebuah Gazebo Taman Mattirotasi La Oegi dan sohibnya terlihat asyik berbincang. Uang Panai dan 'Haji Filipina' jadi topik perbincangan. Memang kedua topik itu lagi ngetren saat ini. Desiran angin laut menyertai riak air sesekali menghempas di celah-celah bebatuan, seolah menguping perbincangan keduanya.

Uang Panai adalah budaya Bugis-Makassar yang diangkat ke layar lebar dengan sutradara Halim Gani Safia. "Sudah meki menonton film Uang Panai?" tanya La Oegi ke sohibnya. "Belum," jawab sohibnya singkat. "Ehhh cepat-cepat meki menonton, besok malam sudah mappacci mi," ujarnya bercanda. Candaan La Oegi itu ditanggapi dingin sohibnya.

Sore itu, sembari menikmati matahari terbenam alias sunset, si sohib curhat ke La Oegi. Putranya sudah menginjak usia layak nikah. Tetapi sampai saat ini belum juga dinikahkan. Penyebabnya, selain belum punya calon yang akan dipersunting sebagai istri, Uang Panai juga sepertinya menjadi kendala untuk melamar kelak.

Setelah mendengar, menyimak, dan menimbang curhat sohibnya, La Oegi angkat bicara.
"Bebini, eheheee salah tulis. Begini sohib, setiap prosesi pernikahan secara adat Bugis-Makassar mensyaratkan adanya Uang Panai (Bahasa Makassar). Sedangkan bahasa bugisnya Doi Paenre", kata La Oegi.

Si sohib tampak menganggukkan kepalanya pertanda paham hal itu. Meski dia mengakui, jika budaya ini justru terkadang dianggap 'momok' karena nominalnya yang fantastis, sehingga seolah-olah memberatkan pihak laki-laki yang akan melamar calon istrinya.

"Uang Panai itu jangan dianggap 'momok'. Atau ajang menunjukkan standar sosial ataupun sekadar gengsi seseorang. Tapi Uang Panai itu pada hakikatnya merupakan bentuk penghargaan laki-laki kepada perempuan calon istrinya," tutur La Oegi menanggapi sohibnya.

Dari sini terkadang muncul anekdot, seorang laki-laki yang sudah layak menikah mampu mengasihi, mampu mencintai, dan mampu pula menyayangi kekasih pilihan hatinya. Sayangnya, ia belum mampu memberikan Uang Panai sebagai syarat untuk mempersunting kekasihnya.

Kemampuan. Serupa tapi tak sama dengan 'Haji Filipina'. Syarat berhaji itu harus mampu membayar ONH, mampu secara fisik menunaikan rukun-rukun haji, mampu membiayai keluarga yang ditinggalkan. Satu lagi harus mampu bersabar menunggu giliran. Sebab, jika 'kemampuan' itu dipaksakan dengan mengabaikan kesabaran, ujung-ujungnya hanya terjebak di Filipina. Seperti yang dialami sejumlah warga tetangga Negeri Antah Berantah.

Memang diakui, setiap tahun jumlah jemaah haji bertambah, karena meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat. Tetapi pemerintah tidak dapat serta merta memberangkatkan semua pendaftar. Dibatasi oleh sistem kuota yang diberlakukan Pemerintah Arab Saudi. "Lantas apa kira-kira solusi yang dapat ditawarkan pemerintah," tanya si sohib sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Menurut hemat La Oegi, pemerintah sebaiknya mengajak negara-negara Asean meminta Kerajaan Arab Saudi menyatukan jatah atau kuota haji untuk Asean. Lalu, dengan 'Semangat Asean' kita gotong royong di antara sesama negara anggota mengisi jatah tersebut.

"Bila ada jatah suatu negara anggota yang kosong bisa diisi oleh negara anggota yang lain. Menurut saya persatuan Asean akan semakin terpadu, dan kesulitan Indonesia sebagai anggota Asean dalam urusan jemaah haji akan teratasi dengan baik,” tutur La Oegi sambil pamit numpang lewat seiring menggemanya azan magrib. (**)