29 Jun 2015

Kisah Uang Seribu Rupiah


Oleh Syahrir Hakim

Sebuah dompet kulit berwarna coklat tua tergeletak di atas meja. Di dalam lipatan terlihat ada KTP, SIM, kartu ATM, dan kartu BPJS. Di kantong dompet itu terdapat selembar uang Rp100 ribu dan selembar lagi uang Rp1.000 yang sudah lusuh. "Maklum tanggal tua," kata pemilik dompet itu.

Berhubung keduanya berasal dari satu percetakan, wajar jika mereka kangen setelah berpisah sekian lama hingga bertemu kembali dalam satu dompet. Namun, dalam pertemuan itu keduanya saling penasaran. Mengapa? Karena uang Rp100 ribu terlihat masih baru, segar, dan tidak ada bekas lipatan. Sedang uang Rp1.000 sudah kumal, lusuh, dan bau amis lagi. Warna aslinya pun kelihatan mulai pudar. Padahal keduanya sama-sama keluar dari bank. Sebagai pengobat rasa kangen keduanya pun seolah berdialog.

Uang Rp1.000 bertanya kepada uang Rp100 ribu, "Dari mana saja kamu teman". Uang Rp100 ribu pun menceritakan perjalanannya. Setelah berpisah di bank, uang Rp100 ribu langsung jatuh ke tangan pejabat. Dari situ berpindah ke dompet artis. Di tangan artis inilah sering bersentuhan parfum mahal.

Uang Rp100 ribu mengakui, jika dirinya selalu mendapat tempat yang rapi. Selalu dielus, dipandang, dan dijaga dengan baik. Dia pun sering dibawa ke mall, discotek, bar, bioskop, dan tempat arisan ibu-ibu pejabat. "Bahkan saya sering juga hadir di meja hijau pengadilan sebagai barang bukti koruptor," ungkap uang Rp100 ribu.

Lain kondisinya uang Rp1.000, hingga temannya penasaran. Uang Rp100 ribu pun gantian bertanya kepada temannya. "Kalau kamu teman, bagaimana pula ceritamu hingga kita bertemu di dompet ini". Uang Rp1.000 pun menceritakan lika liku perjalanannya.

Sejak berpisah di bank, kata uang Rp1.000, dia langsung masuk dompet ibu-ibu. Dibawa naik pete-pete ke pasar. Dari kantong sopir pete-pete berpindah ke kantong penjual ikan, ke penjual sayur, dan tukang parkir. "Itulah yang membuat tubuh saya lusuh, kumal, dan bau amis," tutur uang Rp1.000.

Namun dari perjalanan panjang itu, dia selalu bersyukur kepada Allah SWT. Kenapa? Karena orang-orang masih sering memasukkan dirinya ke dalam celengan masjid atau membawa tubuhnya ke tangan anak yatim dan pengemis. "Meski tubuh saya kumal begini, saya tidak dipandang sebagai nominal, tetapi dipandang sebagai sebuah manfaat," jelas uang Rp1.000 panjang lebar.

Mendengar penjelasan itu, uang Rp100 ribu pun tertunduk malu dan meneteskan air mata. Menyesali perjalanannya selama ini. Baru dia menyadari jika selama ini dirinya merasa besar, hebat, dan terpandang. Tetapi dianggap kurang begitu bermanfaat bagi sekelilingnya.

Kisah di atas menyimpulkan, bukan seberapa besar penghasilan kita, tetapi seberapa bermanfaat penghasilan yang dipakai untuk memuliakan Allah SWT, sebagai saluran berkah. Saluran bagi orang-orang yang membutuhkan, karena kekayaan bukanlah untuk kesombongan. Semoga menjadi renungan bagi kita semua. (**)

27 Jun 2015

Nikmatnya Buka Bersama di Masjid Raya


Sejumlah jamaah Masjid Raya, Parepare tampak sedang berbuka puasa bersama
Oleh Syahrir Hakim
Selama kurang lebih 15 tahun saya di Parepare baru kemarin, Sabtu, 27 Juni 2015 ikut berbuka bersama kaum muslimin di Masjid Raya Parepare. Alhamdulillah, suasananya menyenangkan.

Setelah ngabuburit di alun-alun Andi Makkasau, sekitar pukul 18.45 saya menuju Masjid Raya. Di sana sudah menggema lantunan shalawat lewat lodspeaker di menara masjid.

Motor saya parkir di halaman masjid sebelah utara, saya langsung mengambil air wudhu. Lalu masuk masjid melakukan salat tahiyatul masjid. Setelah berdoa untuk keselamatan dunia akhirat, saya pun menoleh kiri kanan. Secara kebetulan bertatapan dengan salah seorang panitia masjid. Dia pun mempersilakan jamaah termasuk saya untuk mengambil tempat di bagian belakang masjid.

Di sana sudah siap hidangan makanan ringan untuk membatalkan puasa. Kue-kue itu dihidangkan dalam piring kecil di dekatnya ada segelas plastik air mineral. Memanjang sekitar 50-an meter dari utara ke selatan dengan dua saf saling berhadap-hadapan.

Tiba waktunya berbuka puasa, saya beserta sejumlah kaum muslimin menikmati hidangan dari panitia masjid dengan perasaan syukur alhamdulillah. Usai buka puasa dilanjutkan salat magrib berjamaah. (*)

17 Jun 2015

Awal Ramadan 1436 H


Oleh Syahrir Hakim

Saya tidak punya acara khusus penyambutan bulan Ramadan 1436 H. Yang ada hanya melatih diri berpuasa selama dua hari berturut-turut sebelum memasuki bulan suci. Itu tradisi saya. Alasannya, supaya fisik saya dalam menunaikan puasa Ramadan tidak kaget.

Menandai masuknya 1 Ramadan 1436 H, Rabu, 17 Juni 2015 malam tadi, kaum muslimin melaksanakan salat tarwih berjamaah di masjid-masjid. Saya melaksanakan salat tarwih berjamaah di Masjid Al Furqan Jalan Bau Massepe, Parepare. Salat tarwih di masjid ini dilaksanakan dengan 8 rakaat + salat witir 3 rakaat. Sebelumnya dilaksanakan salat Isya berjamaah dilanjutkan ceramah yang disampaikan Drs Andi Jalil. Praktis, kemudian  salat tarwih diimami H Betta dilaksanakan pukul 20.30 Wita.

Andi Jalil dalam ceramahnya menekankan bahwa Allah SWE memanggil orang-orang yang beriman untuk menunaikan puasa Ramadan. Ini dimaksudkan agar orang-orang yang beriman dapat lebih meningkatkan taqwanya kepada Allah SWT.

Kenapa hanya orang-orang yang beriman saja yang dipanggil berpuasa, bukan sekalian manusia. Menurutnya, jika selain orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa, maka mereka tidak akan mendapatkan pahala. Mereka hanya mendapatkan lapar dan haus. Sebab, orang-orang yang tidak beriman itu tidak fokus melaksanakan perintah Allah. Dalam berpuasa pun mereka akan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya, sehingga sia-sialah dia berpuasa. (**)

15 Jun 2015

Tukang Becak dan Pengusaha


Oleh Syahrir Hakim

Siang itu di sebuah lorong di Jalan Lasinrang, seorang tukang becak duduk santai di balai-balai depan rumah kontrakannya. Dengan wajah ceria, dia bersiul sambil memandang becaknya. Secara kebetulan seorang pengusaha di kota ini lewat di lorong itu. Pengusaha tersebut mendekati si tukang becak lalu menyapa. “Mengapa saudara kelihatan santai saja tidak keluar menarik becak?” tanya pengusaha itu.

“Oh, kemarin saya dapat penumpang turis minta diantar keliling Kota Parepare. Hasilnya lumayan, masih cukup untuk biaya hidup dua atau tiga hari,” jawab tukang becak seadanya. “Bukankah saudara akan mendapatkan lebih banyak lagi, kalau mencari penumpang hari ini?” cecar pengusaha itu.

Tukang becak itupun bertanya, “Untuk apa pak?” Pengusaha menjawab, “ Ya agar saudara bisa mendapat uang lebih banyak, sehingga bisa membeli yang lain. Misalnya membeli motor untuk dipakai mengojek agar mendapatkan hasil lebih banyak lagi. Dengan begitu, saudara akan kaya seperti saya.”

“Sesudah itu, apa yang harus saya lakukan?” tanya tukang becak itu lagi. “Saudara tidak terlalu menguras tenaga menarik becak. Dengan ojek, saudara membonceng penumpang dengan tenang. Si tukang becak pun tersenyum lembut. Lalu bertanya, “Menurut bapak apa yang sedang saya lakukan sekarang?” Pengusaha itupun terdiam, lalu pamit sambil menyimak pertanyaan si tukang becak.

Dialog antara tukang becak dengan pengusaha yang kaya ini, merupakan sebuah renungan menyambut bulan Ramadan. Jika tubuh kita laksana pengusaha yang terus menerus berusaha tiada henti, maka Ramadan adalah masa istirahat. Masa yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menikmati harta itu dengan cara yang semestinya.

Semisal berbagi kepada sesama lewat zakat, sedekah, atau infak. Mengapa harus di bulan Ramadan? Karena Ramadan adalah bulan istimewa. Kita diberi kesempatan mensyukuri limpahan nikmat tanpa harus kehilangan waktu-waktu berharga dalam kehidupan.

Ramadan, kata La Oegi sejatinya bukanlah bulan berlapar-berhaus semata. Ramadan adalah bulan pelatihan, waktu yang tepat bagi kita untuk introspeksi diri. Selama satu bulan kita menunaikan ibadah puasa haruslah menghadirkan pencerahan. Bagaimana semestinya kita berperang melawan hawa nafsu. Meskipun halal melahap apa saja setelah berbuka, kita tetap harus menahan diri untuk menikmati segala hidangan secara berlebihan?

Menurut La Oegi kita pun bisa menjadikan pola hidup si tukang becak sebagai cermin dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan hidup sebagai seorang tukang becak, seperti dialog di awal tulisan ini, adalah petuah yang patut kita renungkan. Di dalamnya terdapat pula pelajaran tentang bersyukur, berserah diri, dan bertanya pada nurani.

Dengan bekal itu, katanya cukuplah bagi kita mengarungi kerasnya hidup dan persaingan kehidupan. "Tak perlu kita sikut kiri-kanan demi kebahagian semu. Tak perlu kita memaksakan diri masuk ke kehidupan lebih besar pasak daripada tiang. Lantas gelap mata melahap yang bukan hak kita," ujar La Oegi. (*)

31 Mei 2015

Ketika Wajib Senyum Direkomendasikan


Olah: Syahrir Hakim

Senyum didefinisikan sebagai gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara. Gerakan dengan mengembangkan bibir sedikit ini, untuk menunjukkan perasaan senang, gembira, suka, dan sebagainya. Kalimat ini saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Walaupun semua orang punya bibir, namun tidak semua dari mereka mampu tersenyum. Apalagi menebar senyuman yang tulus. Mengapa? Karena senyum bukan hanya menyangkut urusan bibir. Tetapi yang utama adalah ingin tidaknya seseorang membagi rasa senang dan gembira kepada orang lain. Sebab rasa senang dan gembira tentunya diiringi senyuman yang tulus. Maka senyum yang tulus dikatakan "sesuatu" yang menyenangkan dan membuat hari-hari kita menjadi lebih indah.

Saking "sesuatu"nya, para wakil rakyat di Kota Antah Berantah merekomendasikan soal senyuman kepada wali kota setempat. Satu dari empat belas catatan menjadi "pekerjaan rumah" (PR) yaitu, petugas kesehatan di rumah sakit maupun puskesmas "wajib" memberikan pelayanan dengan ramah dan senyum. Rekomendasi ini dilakukan setelah mendengar laporan keterangan pertanggungjawaban wali kota tahun 2014, beberapa hari lalu.

La Oegi pun membatin. Mengapa wakil rakyat begitu serius memberikan "PR" untuk hal yang dianggap sepele ini? Apakah para petugas kesehatan di puskesmas atau rumah sakit sudah tidak punya bibir lagi, sehingga sulit tersenyum? "Meskipun sesimpul senyuman dari petugas kesehatan merupakan hal sepele, tetapi manfaatnya sangat besar dan dapat menjadi terapi bagi kesembuhan pasien," ungkap La Oegi.

La Oegi juga menilai, sikap acuh tak acuh terhadap pasien, seolah-olah sudah menjadi budaya sebagian petugas kesehatan. Hal yang sering terjadi di depan mata, terkadang pasien ditolak karena masalah administrasi yang kurang lengkap. "Hal seperti ini tidak jadi persoalan. Tetapi ketika menolak pasien pun dianjurkan memberikan penjelasan yang ramah disertai senyuman," usul La Oegi.

La Oegi seolah juga merasakan, bahwa penyakit pasien serasa berkurang ketika disambut senyuman dan sapaan lembut oleh petugas kesehatan. Dia mewanti-wanti, bahwa petugas kesehatan itu merupakan ujung tombak rumah sakit, harus mampu memberikan pelayanan prima yang tulus dalam hal sekecil apapun, termasuk senyuman itu tadi.

Bak gayung bersambut, Wali Kota Antah Berantah pun menanggapi serius rekomendasi itu. Dikatakan, kewajiban petugas kesehatan bersikap ramah dan senyum kepada pasien menjadi "PR" yang harus disikapi. Ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah kota dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Menurutnya, pihaknya segera melakukan pembenahan. Mulai pelayanan kesehatan, pendidikan, dan peneranagan jalan umum akan menjadi perhatian khusus.

Terkait hal di atas, La Oegi mengajak siapa saja, di mana saja, dan kapan saja untuk melatih diri memberikan senyuman yang tulus kepada orang lain. "Tetapi hindari tersenyum-senyum sendiri, nanti malah disangka kurang waras," katanya sambil mesem-mesem. Dia juga mengajak menghadapi perjalanan hidup ini dengan senyuman yang tulus, karena senyuman itu sangat bermanfaat dan tidak mahal harganya. (**)

25 Mei 2015

Beras Bodong dan Pelanggan Liar


Oleh: Syahrir Hakim

Nama lengkapnya Siara, atau lebih dikenal Indo Sia. Bukan siapa-siapa, hanya seorang penjual nasi kuning. Tak punya tempat jualan tetap. Perempuan tua itu setiap hari berkeliling di pasar menawarkan jualannya. Dari pagi buta hingga siang hari baru kembali ke rumah. Jualannya kadang habis, terkadang pula tersisa.

Mendengar adanya temuan beras plastik, Indo Sia sempat dihinggapi perasaan cemas. Khawatir, jika beras yang dibelinya ternyata beras bodong alias palsu. Siang itu, sebelum kembali ke rumahnya, Indo Sia singgah di penjual beras langganannya, dengan teliti dia memeriksa beras yang dipajang dalam karung terbuka. Meskipun penglihatannya mulai berkurang, dia menatap tajam beras dalam genggamannya.

Beras plastik menjadi perbincangan terhangat sepekan terakhir ini. Informasi yang disajikan media cetak maupun elektronik begitu cepat menembus kehidupan masyarakat. Gelisah dan khawatir menghantui para ibu-ibu rumah tangga. Betapa tidak, Indo Sia maupun ibu rumah tangga lainnya khawatir salah pilih membeli beras.

Namun, kekhawatiran sebagian masyarakat berangsur-angsur pulih setelah mendengar pejabat turun tangan. Sejumlah pejabat terkait pergadangan beras di Kota Antah Berantah turun memantau beras yang dijual di pasar. Hasil pantauannya dikatakan, tidak menemukan beras jenis sintetis itu. Lebih yakin lagi, adanya pernyataan pejabat pengadaan pangan, yang menjamin jika di daerah ini tidak ditemukan beras bodong.

Meskipun belum terdeteksi kemungkinan masuknya beras palsu itu, Namun, La Oegi berharap, agar tetap waspada. Sebab barang bodong terkadang masuk lewat jalur ilegal. "Pemerintah harus melakukan langkah antisipasi dan pengawasan, sehingga terhindar dari bahan pangan yang membahayakan kesehatan itu," kata La Oegi.

Serupa tapi tak sama. Kalau di pasar ditemukan beras bodong, maka di tubuh perusahaan daerah air minum (PDAM) lain lagi. Diketahui adanya sejumlah pelanggan bodong alias pelanggan liar. Dianggap liar karena tidak terdaftar secara administratif sebagai pemakai air yang resmi. Akibatnya, perusahaan itu menanggung kerugian ratusan juta rupiah setiap bulan. Alamaaak.....!

Salah satu penyebab munculnya pelanggan liar itu, ditengarai kurang profesionalnya penanganan perusahaan. Konon perusahaan itu kini dirundung setumpuk masalah. La Oegi menyebutkan PDAM itu, bagai anak ayam kehilangan induk. Dalam sejarahnya, perusahaan ini seringkali dipimpin pelaksana tugas. Dalam setahun terakhir, perusahaan itu belum juga memiliki direktur utama yang definitif.

Mengapa? La Oegi yang sok tahu mengatakan, jika bicara direktur utama definitif, itu adalah hasil kerja dewan pengawas (Dewas). Dewas lah yang melakukan seleksi terhadap calon-calon yang dapat diusulkan menjadi direktur utama. "Nah sekarang, Dewas saja belum diketahui juntrungannya, koq sudah menanyakan direktur utama definitif, kan lucu!" ujar La Oegi sembari tersenyum.

Sebentar lagi musim kemarau membawa kegerahan. Apakah nasib ribuan pelanggan resmi PDAM akan seperti tahun-tahun sebelumnya? Kembali berteriak "kekeringan" dan "kehausan" karena pasokan air yang menipis atau malah terhenti sama sekali? "Hahaha, alasan menipisnya air baku di Sungai Karajae, tidak bisa lagi dijadikan jawaban seperti tahun-tahun sebelumnya. Hhanya Dewas dan direktur utama definitif lah yang dapat menjawab sekaligus memberikan solusi," papar La Oegi. (**)

17 Mei 2015

Pengemis "Dipelihara" Negara


Oleh: Syahrir Hakim


Begitu mudahnya dijumpai para pengemis di Kota Antah Berantah dengan bermacam sebutan. Di antaranya ada yang disebut gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jumlah mereka cenderung bertambah dari waktu ke waktu, apalagi pada saat bulan puasa dan lebaran tiba.

Pengemis mengulurkan tangannya menggunakan kaleng kecil, topi atau telapak tangan sendiri. Mereka meminta, kadang disertai pesan seperti, "Tolonglah, saya belum makan seharian". Atau kata-kata yang mengundang rasa iba, sehingga kita ikhlas memberi sesuatu kepadanya. Pengemis yang fisiknya kurang sempurna, biasanya hanya duduk bersila menunggu pemberian orang-orang yag lewat di depannya.

Hampir semua tempat strategis "didiami" pengemis. Perempatan lampu merah, teras toko-toko swalayan, pasar-pasar maupun yang sengaja mendatangi rumah warga, dari pintu ke pintu rumah lainnya. Mereka butuh uluran tangan. Mereka mencari sesuap nasi, entah untuk menghidupi dirinya atau keluarganya.

Ironisnya para pengemis di tempat-tempat umum, akan menimbulkan masalah sosial di tengah kehidupan perkotaan. Kondisi seperti ini akan sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, kebersihan serta keindahan kota.

Meski demikian, kepedulian semua pihak sangat diharapkan. Seperti besarnya perhatian para perumus UUD 1945 terhadap ketimpangan ekonomi. Sampai-sampai nasib orang-orang seperti ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan, sehingga negara harus memberikan perhatian khusus untuk melakukan pemeliharaan terhadap mereka.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijumpai kata “pelihara” memiliki kemiripan arti dengan kata “jaga” dan “rawat”. Kata “dipelihara“ pada ayat tersebut harus dimaknai “dirawat, dilindungi, dan diberdayakan, sehingga mereka tidak lagi fakir, miskin, dan terlantar”. Jika salah dalam memaknai kata "pelihara" untuk fakir miskin, maka jelas jumlahnya akan terus mengalami pertambahan. Kondisi mereka tetap fakir, miskin, dan terlantar. Mereka pun harus tetap eksis karena memang “dipelihara” oleh negara.

La Oegi tak banyak komentar soal ini. Dia hanya mengingatkan pengelola zakat yang setiap tahun mengumpulkan kewajiban dari kaum muslimin. Berdasarkan perintah dalam Alquran, salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat adalah fakir miskin.

La Oegi berharap peran pemerintah dalam upaya pemberdayaan para fakir miskin. Dari dana zakat, mereka diberi pinjaman untuk modal usaha secara bergulir. Mereka diharuskan mempertanggungjawabkan penggunaan modal kerja itu dengan cara mengembalikan secara angsuran. "Jadi jelas, dana zakat tak boleh macet di tangan para pengelolanya. Harus segera tersalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya," hanya itu kata La Oegi. (**)