24 Jan 2016

Sayur Teroris


Oleh Syahrir Hakim

Minggu pagi kemarin, cuaca cerah di Kota Antah Berantah. Secerah wajah La Oegi mengantar istrinya ke pasar berbelanja. Dalam benaknya, hitung-hitung biaya transpor tidak ke mana. Sambil menunggu di tempat parkir, La Oegi mengutak-atik henpon. Membaca kembali SMS yang masuk atau yang sudah terkirim. Sekadar mengobati perasaan jenuh menunggu.

Tidak jauh dari tempatnya menunggu, terdengar perbincangan beberapa orang. Mereka membahas serangan bom di ibukota negara beberapa hari lalu. La Oegi paham semua itu. Makanya dia mewanti-wanti keluarganya untuk waspada. Memberikan pemahaman tentang aksi teroris yang membuat serangan secara tiba-tiba. Membuat kekacauan, sehingga menimbulkan perasaan takut di kalangan masyarakat.

Meski istrinya prihatin akan peristiwa itu, tidak membuat dirinya ikut larut dalam ketakutan. Malah, dia bercerita kepada suaminya. Bahwa, bersama ibu rumah tangga lainnya biasa-biasa saja menanggapi teroris itu. La Oegi masih tidak paham apa yang dimaksud istrinya.

Malah La Ogie rada-rada cemas ketika mendengar ocehan istrinya, "Teroris itu tidak boleh ditakuti, pak. Bagi ibu rumah tangga teroris itu hanyalah benda yang bisa dibikin apa saja," istrinya berkelakar sambil mengacung pisau dapurnya. Melihat tingkat istrinya, La Oegi tambah penasaran. "Apaaa? "Wadduh, jangan sembarang bicara, bu," kata La Oegi dengan nada cemas.

Sebelum masuk pasar tadi, La Oegi sempat menanyakan kepada istrinya, mau bikin sayur apa. "Sayur teroris, pak," jawab sekenanya sambil berlalu. Kemungkinan jawaban si istri dengan kelakar tadi tidak terdengar jelas di kuping La Oegi. Nah, ketika sampai di rumah, istrinya memperjelas, barulah La Oegi heran.

Ternyata, teroris yang dimaksud istrinya, bukanlah sekelompok orang yang membuat serangan untuk meneror atau menakut-nakuti masyarakat dengan tujuan tertentu. Seperti peristiwa Sarinah yang diberitakan media cetak maupun eketronik, beberapa hari lalu.

Tetapi TERORIS versi istri La Oegi itu hanyalah singkatan dari TEROng diiRIs tipiS-tipis. "Apalagi jika ditumis dikasih gula dan cabe biar manis-pedas, lalu disantap sambil meringis-ringis, hehehehehe," katanya sambil ketawa sendiri. "Eh kamu, ada-ada saja," La Oegi mulai paham jika istrinya bercanda sambil menyiapkan santap siang. Cukup sekian guyonan ini. Permisi, La Oegi cuma numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Harian PARE POS edisi, Senin, 25 Januari 2016 Kolom Numpang Lewat halaman 6 (Metro Pare)

17 Jan 2016

Kupu-kupu Malam


Oleh Syahrir Hakim

Semarak kehidupan Kota Antah Berantah bergema siang dan malam hari. Penghuninya berpacu dengan waktu mengais rezeki. Kehidupan malam tak kalah meriah dengan gemerlap lampu-lampu. Temaram kerlap-kerlip bintang di langit seolah telah digantikan sinar lampu hias sepanjang malam.

Lampu yang berderet di median jalan sepanjang pinggir pantai tegak menyerupai pohon pinang yang bersinar. Sinarnya berwarna kuning bagian bawah dan hijau di bagian atas. Di puncak pohon itu bertengger mirip binatang kupu-kupu. Di malam hari, kelihatan jika binatang itu sedang melebarkan kedua sayapnya menghadap ke arah selatan. "Indah nian," decak kagum La Oegi yang lagi duduk di tanggul pantai memandang lampu-lampu itu.

Indahnya lampu hias itu, hingga sohib La Oegi bertanya-tanya, "Mengapa harus memilih kupu-kupu yang bersinar di malam hari? Kenapa bukan binatang lain?" La Oegi sangat paham akan maksud pertanyaan sohibnya itu. Sebab "kupu-kupu malam" sering diidentikkan dengan wanita pekerja seks komersial (PSK). Seperti dalam lirik lagu yang diciptakan Titiek Puspa di tahun 1977, Kupu-kupu malam.

Aparat pemerintah Kota Antah Berantah mungkin tidak segegabah yang diperkirakan sohib La Oegi. Hiasan yang menyerupai kupu-kupu di ujung tiang lampu itu, tentunya memiliki makna tersendiri. La Oegi hanya mengira-ngira, kemungkinan binatang kupu-kupu itu dipilih karena merupakan simbol kesempurnaan hidup. Kupu-kupu adalah keindahan dengan semua corak warna dan bentuknya.

Seorang sohib La Oegi pernah menganjurkan agar kita mau belajar pada kehidupan kupu-kupu. Kenapa? Karena kupu-kupu, terlihat elok dan memukau banyak mata. Padahal, awalnya dia hanya seekor ulat yang menjijikkan. Sejarah hidup kupu-kupu telah melewati berbagai tahap kehidupan sebelum berganti rupa menjadi elok dan cantik.

Sebelumnya, hanya seekor ulat yang buruk rupa. Hidupnya merayap di dahan dan dedaunan. Jika nasib sial, hidupnya berakhir di mangsa burung atau serangga lainnya. Setelah matang, ia pun berubah menjadi kepompong. Badannya terbujur kaku menggantung di dahan dan dedaunan. Kepompong tak peduli walau siang hari panas terik menyengatnya, dan malam hari dingin menusuknya.

Beberapa waktu kemudian, keluarlah dari kepompongnya menjadi diri yang sama sekali baru. Indah memukau dengan sayap barunya dan tubuh yang cantik. Jauh beda dari wujudnya semula. Kini kupu-kupu telah mencari kuntum-kuntum bunga yang indah untuk mengisap sari bunga dan menebarkan telur-telur penerus kehidupannya.

Namun, tak banyak orang yang tahu, bahwa manusia juga memiliki roda kehidupan yang mirip dengan kupu-kupu. Ada kelahiran, ada pertumbuhan yang dikuasai nafsu dan keegoisan, ada kematian sementara, kemudian kebangkitan yang mengagumkan. "Permisi cuma numpang lewat," kata La Oegi beranjak dari tempat duduknya. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Kolom Numpang Lewat PARE POS Rubrik Metro Pare (Halaman 3), edisi Senin, 18 Januari 2016.

11 Jan 2016

Setetes Keluhan dari Keran Air


Oleh Syahrir Hakim

Pelayanan PDAM di Negeri Antah Berantah kini berbuah keluhan. Kian hari, gelombang keluhan semakin menjadi-jadi. Masih soal sulitnya mendapatkan air bersih bagi sebagian warga. Minimnya ketersediaan sumber air baku PDAM di musim kemarau. Lebih parah lagi, di musim hujan. Tingkat kekeruhan air sulit diatasi, sehingga menghambat proses pengolahan.

Terkadang kita mendengar ibu-ibu yang lagi belanja kebutuhan dapur, saling bertanya soal air. "Mengalir ji air ta semalam?". Ibu yang ditanya pun spontan menggelengkan kepala sambil menggerakkan bahunya, "Biar sedikit tidak ada yang menetes dari keran."

Terkait minimnya tetesan air dari keran, wakil rakyat Komisi III di Antah Berantah mengundang petinggi pihak PDAM untuk sebuah pertemuan. Tujuannya, mencari solusi agar tidak terdengar lagi keluhan dan protes soal air bersih. "Masyarakat tidak mau tahu, pokoknya air harus mengalir setiap saat. Ini adalah pelayanan dasar kepada masyarakat," kata legislator itu.

Di kesempatan itu, legislator menyarankan agar PDAM membentuk bagian hubungan masyarakat (Humas). Tujuannya, untuk melayani informasi soal perusahaan daerah yang menangani urusan air bersih ke masyarakat. Selain itu, Humas berfungsi menyampaikan penjelasan atas keluhan maupun protes dari warga.

Merekrut tenaga Bagian Humas, sah-sah saja. Namun, menurut La Oegi dalam kondisi sekarang ini, yang dibutuhkan warga hanya eksyen di lapangan, sehingga air mengalir dari keran setiap saat. "Masyarakat menginginkan air tetap mengalir. Meski tarif sudah dinaikkan, tidak jadi masalah asal diiringi peningkatan pelayanan," La Oegi menanggapi.

Lagi-lagi, wakil rakyat itu menyarankan PDAM melakukan studi banding ke Bali. Alasannya, kondisi sumber air baku di sana hampir sama dengan ketersediaan air baku di negerinya La Oegi. Tapi, karena dikelola dengan baik, sehingga hampir tak terdengar keluhan soal distribusi air di Bali.

Meski mendapat saran seperti itu, La Oegi berharap, agar pihak PDAM tidak serta merta berangkat meninggalkan pelanggannya studi banding sambil "plesiran" ke Bali. Apalagi studi banding itu akan menguras anggaran. "Benahi dulu distribusi air, hingga tidak muncul lagi keluhan. Jika semua keran pelanggan sudah mengeluarkan air dengan lancar, sekali-sekali bolehlah plesiran," canda La Oegi.

Meski dihadapkan berbagai masalah, namun PDAM menyatakan kesiapannya melakukan perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, teriakan, keluhan maupun kekhawatiran akan sulitnya air bersih di negeri ini tidak akan pernah terdengar lagi.

Seiring komitmen wali negeri ini, bahwa persoalan air bersih di negerinya harus rampung 2017. Jika mampu diwujudkan, Negeri Antah Berantah tak hanya memenuhi kebutuhan air bersih masyarakatnya, tetapi juga bisa surplus air bersih. Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)


Tulisan ini sudah dimuat di Kolom "Numpang Lewat" Harian PARE POS edisi Selasa, 12 Januari 2016 Halaman 3 (Metro Pare).

5 Jan 2016

Jangan Ada Dusta di Antara Kita


Oleh Syahrir Hakim

Di suatu hari libur, La Oegi menemani istri belanja di pasar. Di tengah keramaian pasar, La Oegi berhenti. Ada sesuatu yang menarik baginya. Seorang penjual dan pembeli sedang melakukan tawar menawar barang kebutuhan pokok. Transaksi terjadi begitu seru. Sampai-sampai La Oegi buka mata mengamati bahasa tubuh dan pasang kuping mendengar dialog keduanya.

La Oegi berdiri di tengah lalu lalang pengunjung pasar. Kedua tangan dilipat rapat mendekap di dadanya. Seolah tak merasakan senggolan pengunjung dari berbagai sudut bagian tubuhnya. Saking asyiknya mengamati transaksi itu, La Oegi tak tahu jika ia sudah ditinggal jauh istrinya. Menyelinap di keramaian pengunjung pasar.

Suara gaduh pengunjung pasar tidak mengusik tawar menawar antara penjual dan pembeli itu tadi. Di benaknya hanya berusaha menguntungkan diri masing-masing. Pembeli ingin memiliki barang kebutuhan yang baik dengan harga murah. Penjual pun tak kalah. Dia ingin menjual dagangannya dengan meraih untung yang cukup lumayan. Meski terselip ketidakjujuran alias dusta dari keduanya.

Simak dialog ini. "Tolonglah pak, dikurangi sedikit harganya. Uang saya hanya Rp10 ribu, tidak ada lagi yang lain," kata ibu itu. Penjual pun bilang, maaf tidak bisa, bu. Modalnya saja sudah Rp12 ribu. Kalau dikasih Rp10 ribu, saya sudah rugi. Padahal kelihatannya pembeli itu masih menyimpan uang di dompetnya lebih dari Rp10 ribu. Penjual pun demikian. Sebenarnya sudah dapat keuntungan, jika dagangannya itu dijual Rp10 ribu.

La Oegi melamun membayangkan betapa terjadinya dusta di antara keduanya. "Dua-duanya sudah melakukan dusta," ujar La Oegi dalam lamunannya. Contoh kecil interaksi dusta yang sudah umum, namun sudah dianggap lumrah. Dusta kecil yang sudah dimaklumi kebanyakan orang. "Satu hal yang membuat kehidupan manusia penuh dengan masalah pelik, karena tidak dapat menghindari perbuatan dusta alias bohong," gumam La Oegi.

Masih dalam lamunan La Ogie, sebagai seorang pengamat sosial, pernah mendengar kata-kata orang bijak, bahwa tidak seorang pun manusia yang luput dari perbuatan dusta, kecuali para nabi. Dusta adalah penyimpangan yang nyata dan banyak terjadi di sekitar kita. Baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Baik ketika menjual ataupun membeli. Dusta juga kerap hadir dalam sumpah maupun perjanjian.

Sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani aparat penegak hukum di Negeri Antah  Berantah, tidak lebih karena adanya dusta di dalamnya. Rakyat negeri inipun berharap, jangan ada lagi dusta di antara kita (mirip judul lagu yang dinyanyikan Broery Marantika & Dewi Yull). Maksudnya, agar kasus-kasus tersebut segera dituntaskan. Jika yang terjadi sebaliknya, maka lengkaplah sudah jagad dusta di negeri ini, membuat rakyat negeri ini sesak napas.

Sesak napas bukan karena penyakit atau kemiskinan yang menghimpit. Tetapi karena polusi dusta yang sudah melebihi ambang batas martabat kemanusiaan. Sontak istrinya menepuk bahu dari belakang, La Oegi tersadar dari lamunannya. "Ayo kita pulang!" ajak istrinya. La Oegi pun mengikuti istrinya dengan membantu membawa barang belanjaan pulang ke rumah. "Permisi La Oegi cuma numpang lewat," ujarnya kepada orang-orang di dekatnya. (**)

Tulisan ini dimuat di Harian PARE POS edisi Rabu, 6 Januari 2016 halaman 3 (Metro Pare)

29 Des 2015

Yang Baru yang Terlambat


Oleh Syahrir Hakim

Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut detik-detik pergantian tahun 2015 ke 2016. Dimuat di Harian PARE POS edisi, Rabu, 30 Desember 2015 dalam Rubrik Metro Pare halaman 4.
 
Mulai hari ini hingga besok, sebagian besar warga disibukkan dalam kegiatan menyambut momen malam pergantian tahun. Setiap penyambutan tahun baru, masyarakat merayakan dengan euforia serta segala hingar bingarnya. Ada yang berkumpul bersama teman, ada yang menghabiskan waktu dengan pasangan, dan tak sedikit yang tumplek ke alun-alun kota.

Jelang detik-detik pergantian tahun, warga berjubel memenuhi segala sudut Kota Antah Berantah. Kemeriahan malam itu ditandai pesta kembang api disertai bunyi petasan yang seolah memekakkan telinga. Semua wajah mengarah ke udara. Menyaksikan kembang api yang ditembakkan ke udara. Kembang api akan pecah, mengeluarkan suara, kemudian menyemburkan aneka macam warna yang tampak menghias angkasa. Luar biasa!

Namun, sebagian di antaranya tak terlalu menghiraukan momen itu. Mereka lebih memilih beraktivitas di rumah, layaknya malam-malam biasa. Seperti halnya La Oegi. Tidak ada rencana keluar rumah di malam pergantian tahun itu. Dia bersama keluarga hanya akan menyaksikan detik-detik pergantian tahun melalui layar kaca. "Saya hanya di rumah menonton TV," ujar La Oegi di salah satu warkop, kemarin.

Kata La Oegi, salah satu yang harus diingat dalam pergantian tahun, adalah meninggalkan satu kalender lama, berganti kalender baru, dengan setumpuk peristiwa yang dilalui selama 365 hari. "Apakah yang ditargetkan berhasil dicapai, atau mungkin sebaliknya kita mengalami kegagalan dan kenihilan?" katanya menasihati anak istrinya.

Salah satu yang diwanti-wanti La Oegi kepada keluarganya adalah masalah kedisiplinan dengan menghargai waktu. Menurutnya, hidup ini diatur dengan waktu. Waktu terus berputar. Waktu yang terlewat tidak akan bisa lagi diulang. Itulah mengapa waktu adalah hal yang paling berharga dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa adanya waktu, maka roda kehidupan ini tak akan berjalan dengan semestinya.

La Oegi mencontohkan pada sejumlah proyek di Kota Antah Berantah yang gagal dirampungkan hingga 31 Desember 2015. Jika semua yang terlibat dalam proses pengadaan proyek tersebut menghargai waktu, jelas masyarakat akan menikmati sesuatu yang baru di tahun baru 2016. Tetapi faktanya, sesuatu yang baru itu akan menjadi terlambat dinikmati di tahun 2016.

Akan sangat disayangkan, saran La Oegi, jika pergantian waktu tersebut tidak diikuti dengan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Tahun baru, menurutnya juga berarti keberanian untuk melihat dunia dengan cara baru. Tanpa keberanian semacam itu, tahun baru hanyalah merupakan tahun lama yang berganti angka dan nama. "Permisi numpang lewat," kata La Oegi sambil pamit meninggalkan warkop. (**)

24 Nov 2015

Tukang Catut


Oleh Syahrir Hakim

Gaduh di ibukota negara soal dugaan pemimpin dan wakilnya dicatut. Hampir setiap saat stasiun TV menayangkan berita pencatutan. La Oegi bersikap sebagai penonton yang baik ketika menyaksikan "sinetron politik" itu. Maklum dia tahu diri sebagai rakyat kecil. Kepentingannya hanya bukti nyata, bahwa para pemimpinnya bekerja. Rakyatnya pun menikmati hasil karya pemimpinnya berupa kesejahteraan.

Kata catut ditemukan La Oegi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), yaitu sebuah alat pertukangan. Alat itu digunakan untuk mencabut atau melepas paku yang menancap di tembok atau pada kayu. Catut juga sering diistilahkan bagi orang yang menjual atau memperdagangkan sesuatu, dengan mengambil keuntungan berlipat. Semisal tukang catut tiket kereta api, tiket kapal laut, tiket nonton bola, tiket konser, atau tiket nonton film di bioskop.

Ada juga ulah yang sering diistilahkan, jika seseorang menggunakan nama orang lain untuk kepentingan pribadinya. Padahal yang bersangkutan tidak mengetahui hal itu. Maka digunakanlah istilah mencatut. Kemarin, La Oegi sempat menguping pembicaraan seseorang yang berpenampilan ala parlente kepada temannya di salah satu warkop.

Seseorang itu merasa sok kenal sok dekat (SKSD) dengan pejabat. Kepada koleganya, dia memamerkan diri kenal baik dan dekat dengan beberapa pejabat. Dia mengaku bisa membantu memuluskan sejumlah urusan. Tanpa bersusah payah mengurus ke sana kemari. “Tinggal kontak dia, urusan beres,” begitu kata La Oegi menirukan orang tersebut. 

Seperti itulah tipe tukang catut. Beda tipe rakyat kecil yang tidak paham mencatut nama pejabat. Terserah mau disebut apa, rakyat kecil tetaplah rakyat kecil. Keadaannya pun begitu-begitu saja. Bahkan ketika nama rakyat kecil dicatut, tidak ada yang berteriak mau melakukan somasi. "Dijamin tidak ada yang berani," kata La Oegi.

Padahal para pemimpin, dari yang berada di tempat yang paling empuk sampai pemimpin di lorong-lorong, kadang begitu mudahnya mencatut nama rakyat kecil. Mereka berteriak, "Mari kita perbaiki nasib rakyat kecil!". Tetapi kenyataannya, masih sering terdengar keluhan rakyat kecil. Terutama soal belum meratanya pembagian jatah beras untuk warga miskin (Raskin). Masih ada di antara warga miskin yang "berteriak" belum mendapatkan raskin.

Nah, dalam posisi demikian itu, adakah di antara rakyat kecil yang berani mencatut nama pemimpin? Jawabannya ya, kadang ada juga. Tetapi hanya rakyat kecil bernyali besar dan berpengaruh saja yang berani melakukan hal itu. Jika hanya sekadar warga sekelas penerima raskin, dalam waktu tidak terlalu lama akan diamankan aparat.

Sebaliknya, ada pemimpin yang mengaku mencatut nama rakyat. Mengapa demikian? Supaya dia disomasi, tetapi tidak ada juga somasi terdengar sampai hari ini. Batin La Oegi mengatakan, rakyat sudah mulai tahu rupanya. bahwa pemimpin itu rela menjadi ”korban” demi rakyat kecil. Malah pemimpin itu seolah menantang, "Biarlah dihujat kanan-kiri, tidak apa-apa. Saya mau bekerja untuk mewujudkan harapan rakyat yang namanya dulu pernah saya catut". Permisi, La Oegi numpang lewat. (**)

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian PARE POS, edisi Rabu, 25 November 2015 halaman 5 dalam Kolom NUMPANG LEWAT.

23 Nov 2015

Ketika Syafruddin Hakim Menghadap Ilahi Rabbi


Oleh Syahrir Hakim

Malam itu, saya masih di kantor bergelut dengan rutinitas. Sekitar pukul 20.00 entah lewat berapa menit, saya dapat kabar dari putra saya (Andi Sukmaputra). Adik saya (nomor 6) Syafruddin Hakim masuk ICU RSU Bulukumba. Saya langsung menghubungi adik saya (nomor 4) Mukhtar Hakim untuk mendapatkan info lebih jelas.

Ternyata keluarga besar di Bulukumba sudah berkumpul di RSU Andi Sulthan Daeng Raja Bulukumba. Saya pun berpesan agar segera menghubungi saya bila terjadi kondisi buruk. Saya adalah anak sulung dari 10 bersaudara dari pasangan ayahanda Muhammad Hakim dan ibunda Sitti Bahra.

Sejak adik saya ini mengidap penyakit sesak napas, sudah seringkali masuk RS. Malah akhir-akhir ini, jika penyakitnya kambuh, terkadang tanpa sepengetahuan keluarga dia langsung masuk ke UGD. Setelah agak membaik, dia tinggalkan lagi RS. Kadang tidak menginap.

Usai tugas, saya kembali ke rumah. Dalam perjalanan, wajah adik saya itu selalu terbayang. Tiba di rumah, sempat tertidur beberapa saat hingga HP saya berdering. Saya melihat pengirimnya Mukhtar Hakim, perasaan saya sudah tidak karuan lagi. Ternyata, benar dugaan saya. Si penelepon membawa kabar duka.

Minggu, 22 November 2015 sekitar pukul 01.30 Wita Syafruddin Hakim menghembuskan napas terakhirnya di ruang ICU RSUD Andi Sulthan Daeng Raja, Bulukumba. Mendengar berita itu, saya seolah-olah dalam mimpi. Tak percaya dengan musibah yang menimpa keluarga saya. Saya merasakan jika adik saya itu masih bersama kami sekeluarga.

Senin 23 November 2015 subuh, bersama istri, saya mempersiapkan diri berangkat ke daerah kelahiran, Bulukumba. Pukul 05.30 Wita sebuah mobil rental mengantar saya meninggalkan Parepare menuju Bulukumba. Sekitar pukul 11.00 Wita saya tiba di rumah duka, BTN Bonto Kamase (Bonkas).

Masih terbayang, ketika saya kumpul 10 bersaudara. Foto bersama dalam pesta pernikahan putra saya Andi Sukmaputra Adhyamsyah dengan Nur Amalia, 10 Agustus 2015 di rumah keluarga Jalan Haji Bau, Bulukumba.

Adinda Syafruddin meninggalkan kami dalam usia 47 tahun. Meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Dia dimakamkan, Senin, 23 November 2015 sesudah salat Asar, berdekatan dengan makam ayahanda Muhammad Hakim dan ibunda Sitti Bahra, di Tamabbokong, Bulukumba.Selamat jalan adinda, semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya, Amin. (**)