23 Jan 2017

Mau Jujur? Belajarlah di Toilet


SETELAH menyeruput kopi di Warkop langganannya, si Sohib membisikkan sesuatu ke kuping kanan La Oegi. Setelah paham bisikan itu, ia tersenyum dan berkata, "Lucu ya, dalam satu 'rumah' bisa saling lapor ke aparat penegak hukum". "Bisa saja saudara! Apalagi jika dalam rumah itu, tidak ada lagi kesepahaman," timpal si Sohib.

Saling mempolisikan di sebuah badan layanan umum di Negeri Antah Berantah jadi perbincangan hangat warganya. Diduga pemicunya 'ada dusta di antara kita' alias 'ketidakjujuran'. Si Sohib kaget mendengarnya. Lantas dia berkata, "Kejujuran itu mahal harganya bung! Karena diikat dengan hati nurani manusia. Selain itu merupakan anugerah dari Allah Swt".

"Ketika ucapan dirasa tak jujur, hati menjadi risau. Hidup kita tak pernah tenang karena diselubungi rasa was-was. Sebaliknya, sikap jujur alias transparansi membuat hidup lebih tenteram tanpa ada tekanan dari luar maupun dari batin kita sendiri," begitu pendapat si Sohib.

La Oegi menimpali, sebenarnya setiap hari kita mendapat pelajaran jujur. Setiap hari kita mendapatkan nilai tambah kejujuran. Namun kita tidak menyadari. "Oh, begitu," sela si Sohib. "Ya iyala. Mau tahu? Orang jujur itu adalah orang yang terbuka, ikhlas, dan lurus. Tidak bengkok," terangnya. Kenapa kita sulit jujur? Tanya La Oegi yang dijawab sendiri. Karena kita kurang terbuka alias tidak transparan.

"Lalu, bagaimana agar saya menjadi orang terbuka atau jujur?" tanya si Sohib. "Masuk saja ke toilet," jawab La Oegi singkat. "Jangan bercanda saudara. Saya ini serius," kata si Sohib dengan nada kesal. Kedengarannya memang lucu, tetapi kali ini La Oegi serius. "Di toilet lah kita bisa terbuka seterbuka-bukanya saat ada hasrat buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB), atau mandi," kata La Oegi. 

Dicontohkan, kalau kita mandi, tidak mungkin pakai jas atau jas hujan apalagi kebaya. "Pernah lihat orang mandi pakai hak tinggi? Kalau lagi mandi ya jelas terbuka semua. Kita tidak bisa bohong. Kita akan buka semuanya lalu menuntaskan semua urusan itu," jelasnya. 

Mendapat penjelasan begitu, si Sohib malah bengong. Meski kentara dari rona mukanya bahwa dia masih gagal paham, tapi dia serius menyimak penjelasan La Oegi. "Apalagi kalau diperhadapkan dengan BAB. Tidak ada yang dapat mengadang keinginan kuat itu. Siapapun akan kita lawan, kejar, sikut, tarik, jambak demi kita bisa masuk ke toilet, kata La Oegi penuh semangat.

Sesampainya di dalam toilet, kita akan jujur. Tidak ada lagi dusta di antara kita. Semuanya kita buka. Di sinilah Anda belajar jujur kembali. Jujur menumpahkan semua penderitaan. Kesimpulannya, toilet tidak boleh disepelekan. Keberadaannya sangat penting.

Bayangkan tiap rumah pasti ada toilet, berarti di tiap rumah semua orang belajar jujur. Setiap hari semua orang di dunia ke toilet, berarti setiap hari orang di dunia belajar jujur. "Oke? Salam kejujuran," kata La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

19 Jan 2017

Kebijakan 'Underkompor'


ISTRI tetangga La Ogie, pagi-pagi sudah ngomel. Uang belanja yang dikasih suaminya, tidak cukup untuk dibelikan kebutuhan dapur. Biasanya, belanjaan sudah komplet. Rekening listrik dan air sudah diselesaikan. Kemarin, dia ke pasar, tidak semua kebutuhan bisa dibeli akibat harga-harga kebutuhan mulai merangkak.

La Oegi berpendapat, agaknya pemerintah kali ini cukup ‘adil’ menaikkan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM) serta biaya administrasi STNK. Kenapa? Karena yang merasakan imbasnya, bukan hanya masyarakat ekonomi lemah, tetapi masyarakat pada level menengah ke atas juga terkena dampaknya.

"Meskipun kebijakan itu sudah memicu protes dari kalangan mahasiswa di berbagai kota, namun kita harus tetap mengencangkan 'ikat pinggang'. Suka atau tidak suka, harga baru BBM, listrik, STNK sudah diberlakukan," saran La Oegi sambil membetulkan duduknya di bangku panjang Warkop langganannya.

Sayangnya, kenaikan tarif listrik belum diikuti peningkatan pelayanan. Di tengah perbincangan kenaikan tarif listrik, malah kita dalam kegelapan, kita disibukkan mencari lilin. Menghidupkan genset, menghidupkan lampu cas karena terjadi pemadaman bergilir. "Alamaaak ...........!!!" kata La Oegi dengan nada kesal sambil memegang kepalanya.

Kebijakan pemerintah seperti ini memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Semua ikut merangkak, karena biaya produksi dan transportasi juga bertambah. "Akibatnya bisa ditebak, rakyatlah yang akan menanggung beban berat. Padahal kondisi ekonomi masyarakat saat ini sudah sulit," celetuk si Sohib.

La Oegi membenarkan celetukan sohibnya. Lantas dia menambahkan, beban sehari-hari saja saat ini sudah berat. Daya beli masyarakat semakin hari semakin menurun. Apa boleh bulat. (Ehehee salah......., maksudnya buat). Inilah diistilahkan kebijakan 'Underkompor' sebagai kado pahit tahun baru 2017.

Si Sohib ternyata gagal paham (baca tidak mengerti) istilah baru La Oegi. 'Underkompor' itu, artinya di bawah kompor. "Sesuatu bahan makanan yang hanya ditaruh di bawah kompor, jelas tidak akan masak. Sampai 'lebaran kuda' tidak akan bisa dihidangkan untuk dicicipi. Tetapi jika bahan makanan dimasukkan dalam panci atau kuali lalu dimasak di atas kompor sambil menunggu matangnya, siap dihidangkan untuk disantap," jelas La Oegi.

Begitu pula sebuah kebijakan, harus dilakukan dengan perencanaan yang matang. Jika perencanaannya sudah matang, hasil kebijakan akan dirasakan langsung masyarakat secara berimbang. Semisal antara kenaikan tarif dengan pelayanan yang prima.

Pendapat teman lain mengatakan, pemerintah harus segera mencari solusi mengatasi kekurangan anggaran. Baik kebijakan dari sisi pembiayaan dalam dan luar negeri, serta meningkatkan pendapatan nasional. "Bukan rakyat yang sudah mengencangkan 'ikat pinggang', dipaksa lebih kencang lagi 'mengikat pinggang'. Salam 'Underkompor'," ucap La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

27 Des 2016

Menanti Kompetisi Berbalut Aneka Inovasi


Refleksi Akhir Tahun 2016

Penulis Syahrir Hakim

SUDAH banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik, walaupun sebagian besar belum berhasil. Akibatnya, pelayanan publik terkadang menjadi keluhan utama masyarakat.

Ini disebabkan karena dalam proses pelayanan sering kali tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Padahal, standar pelayanan minimal (SPM) sudah ada dalam setiap instansi pemerintahan. Meski demikian, beberapa bukti menunjukkan, bahwa kalau digarap secara serius, maka perbaikan pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan baik. 

Contohnya, ada beberapa kabupaten/kota di Indonesia yang meraih penghargaan di tingkat nasional. Kabupaten/kota tersebut dianggap berhasil mengembangkan inovasi dalam peningkatan pelayanan publik, termasuk Kota Parepare. 

Dalam membenahi pelayanan publik, pemerintah harus segera bisa mengubah pola pikir para aparatur, dari mau dilayani menjadi pelayan. Sebab fungsi utama dari pemerintahan adalah memberikan pelayanan. Fungsi pelayanan inilah yang sering dilupakan oleh para birokrat. 

Saat ini publik merindukan penyelenggara pemerintahan yang inovatif, yang dapat membawa perubahan. Mampu menangkap persoalan yang timbul di masyarakat untuk segera memberikan solusi praktis. Lebih bersifat melayani.

Inovasi dari kata asalnya, sebuah kegiatan memperbarui, atau menciptakan kebaruan pemikiran atau produk. Memperbarui artinya kegiatan yang bertumpu pada sesuatu yang sudah ada. Kemudian dipoles dan diolah lagi menjadi sesuatu yang baru.

Semakin banyak orang yang merasakan manfaat inovasi, semakin tinggi pula nilai penemuan tersebut. Tapi apa jadinya jika sebuah inovasi hanya memiliki nilai manfaat yang setengah-setengah? Ini mungkin saja terjadi, jika sebuah inovasi dibuat asal-asalan dan kurang perencanaan, sehingga manfaatnya menjadi kurang optimal.

Padahal, inovasi merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan ekonomi dan dayasaing daerah. Terjadinya pergeseran ekonomi berbasis industri menuju ekonomi berbasis pengetahuan, menunjukkan bahwa pengetahuan dan inovasi merupakan faktor yang semakin menentukan dalam kemajuan ekonomi. 

Terkait inovasi daerah, beberapa waktu lalu di Kota Parepare dilakukan lomba inovasi bagi dinas instansi. Lomba dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Memang di Kota Parepare sudah dicanangkan 2016 sebagai tahun inovasi. 

Dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, Wali Kota Parepare DR HM Taufan Pawe SH MH setiap tahun punya arah. Tahun pertama kepemimpinannya, dicanangkan sebagai tahun politik dan kesejahteraan, kemudian tahun kinerja, lalu tahun inovasi. Nah tahun 2017 mendatang dicanangkan sebagai tahun kompetisi.

Beragam respon orang ketika mendengar kata kompetisi. Ada orang takut dan ada pula yang malah bangga. Kenapa? Entahlah. Seolah-olah kompetisi adalah makhluk yang begitu menyeramkan dan menakutkan untuk dihampiri. Padahal, setiap detik kita selalu berkompetisi dengan waktu.

Kita pun menyenangi hal-hal yang berbau kompetisi. Misalnya, hobi nonton pertandingan olahraga. Tak harus menjadi pelaku, menonton orang berkompetisi pun sudah memberi kesenangan.

Mengapa kita suka berkompetisi? Karena kompetisi dalam kadar yang pas membangkitkan motivasi. Dalam upaya memenangkan sebuah kompetisi, kita perlu berstrategi. Jadi jangan heran pula mengapa kita suka menonton balapan atau film perang, misalnya. Karena di situ melibatkan strategi.

Pencanangan tahun kompetisi ini, menurut Taufan adalah langkah tepat yang diambil setelah tahun sebelumnya mencanangkan sebagai tahun inovasi. “Kompetisi dan inovasi adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa berkompetisi kalau kita tidak berinovasi. Jadi tidak sebatas berkompetisi saja tetapi sumbernya adalah inovasi," jelasnya.

Dia berharap agar di tahun kompetisi nanti aparaturnya dapat bergerak secara progresif dan responsif dalam berkompetisi. “Jangan pernah bisa masuk ke ranah kompetisi kalau tidak melangkah secara progresif dan responsif agar punya daya saing yang kuat”, tegasnya. 

Selain itu, Taufan juga meminta para aparaturnya agar di tahun kompetisi ini tetap berinovasi dan betul-betul menunjukkan kinerjanya. “Kita harus all out, maksimalkan keberadaan SKPD kita untuk berinovasi dan berkompetisi. Jangan takut salah yang penting kita tetap mengedepankan taat asas," begitu kata Taufan.

Inovasi daerah merupakan ajang pertukaran ide-ide bagi setiap SKPD. Menggagas produk unggulan yang potensial untuk dikembangkan dalam suatu wilayah. Dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia setempat, akan membuahkan pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah.      

Pada dasarnya banyak persoalan yang timbul di masyarakat, dapat menjadi bahan bagi pemerintah untuk menemukan ide-ide kreatif dan inovatif. Kemudian mengembangkan menjadi sebuah program peningkatan pelayanan publik. 

Beberapa upaya yang perlu menjadi perhatian untuk melahirkan daya kreasi dan inovasi birokrasi yaitu, pertama, membangun pemahaman aparatur bahwa kreatif dan inovatif adalah hal yang menyenangkan, baik, dan memberikan solusi adalah berkah. 

Tentu saja, selain internalisasi pemahaman, juga dibarengi dengan tindakan-tindakan kreatif dan inovatif yang dapat dimulai dari hal yang kecil-kecil. Kemudian membesar menjadi sebuah gerakan pembaruan yang membudaya. 

Kedua, ide kreatif dan inovatif ditemukan dengan banyak bertanya dan berpikir berbagai arah. Tidak selamanya ide kreatif dan inovatif berasal dari pucuk pimpinan. Tetapi malah seringkali berasal dari bawahan. Oleh karena itu, keterbukaan pimpinan puncak hingga bawahan terendah untuk saling mendengarkan dan bertanya akan memacu lahirnya ide kreatif dan inovatif. 

Kita seringkali mendengar pepatah yang mengatakan bahwa setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah ruang kelas. Ini tentu perlu menjadi prinsip utama yang dikedepankan agar ide kreatif dan inovatif dapat timbul dan merupakan sebuah hasil bersama. 

Ketiga, membalikkan cara pandang terhadap permasalahan yang ada. Banyak stigma mengatakan, keterbatasan menghambat inovasi. Nah, cara pandang ini tentu perlu diubah dengan menganggap keterbatasan sebagai sebuah tantangan. Tinggal bagaimana memanipulasi keterbatasan tersebut.

Pembalikan cara pandang ini akan melahirkan reaksi untuk menciptakan ide-ide kreatif. Selain itu kita akan didorong untuk melihat sesuatu dengan cara pandang yang baru. Keempat, upaya meniru hasil kreatif dan inovatif daerah atau negara lain untuk menghasilkan karya baru daerah.

Banyak terobosan pelayanan publik di daerah atau negara lain yang dapat menjadi contoh utama bagi suatu daerah. Menjadikan contoh dengan terlebih dahulu melakukan modifikasi sesuai karakteristik, kekuatan sumber daya, serta lingkungan strategis daerah. (**)

Toilet dan Telolet


SAMBIL mencari keberadaan La Oegi, sohibnya teriak-teriak, "Toileet...., Tolieet!". "Husst....., jangan teriak begitu, tidak bagus. Itu kan proyek yang tidak selesai sampai batas waktunya. Jangan ikut campur soal proyek terlambat, sudah ada yang mengatur dendanya," La Oegi menasihati sohibnya. Mendengar nasihat La Oegi, sohibnya hanya bengong.

Memang banyak warga Negeri Antah Berantah (NAB) maupun warga daerah tetangga yang berkunjung ke alun-alun. Foto bareng keluarga. Ada juga bergaya dengan badut. Tak terbilang yang selfi sana sini. Mereka selalu mencari toilet. Beruntung ada kantor pos yang 'terpaksa' rela menampung 'hajat' mereka.

"Toiletnya belum selesai dibangun Om-Tante. Tahun depan mungkin baru bisa digunakan," jelas si Sohib pada mereka yang kebetulan bertanya. "Wadduh kebelet nie, kalau nunggu tahun depan keburu celana basah nie Om," jawab warga pendatang itu. "Apa boleh buat," begitu di benak di Sohib.

Lantas dia menjelaskan, jika dirinya bukan membahas soal proyek toilet yang terlambat itu. "Saya tidak terima kalau dikatakan begitu. Bukan itu maksud saya," protes si Sohib. Ternyata sohib La Oegi itu ikut-ikutan 'demam' istilah yang menjadi viral, baik di dunia maya, maupun di dunia nyata.

Itu suara klakson bus antarprovinsi yang membuat anak-anak berteriak-teriak kegirangan, 'Om Telolet Om'. "Bukan toilet saudara, tapi Telolet," La Oegi berusaha membetulkan istilah sohibnya. "Oh, Telolet. Maaf sobat, saya yang salah dengar lantas salah menyebutkan," kata si Sohib memaklumi kekeliruannya.

Jadi sudah jelas 'Om telolet om' adalah sebuah teriakan yang biasa diucapkan anak-anak di pinggir jalan ketika sebuah bus melintas. Dengan harapan sopir bus akan membunyikan klakson yang unik. "Telolet....., telolet," begitu bunyinya.

Sekelompok pelaku usaha yang tergabung dalam sebuah komunitas memaknai lain Telolet. La Oegi menemukan dalam group telegramnya. Apa itu? Ternyata TELOLET sebuah singkatan yang dapat memberikan motivasi dalam berbisnis.

T adalah Trust. Bangun kepercayaan Anda kepada calon konsumen. Berinteraksi merupakan cara ampuh membangun kepercayaan. E adalah Emotion. Kendalikan emosi Anda. Jangan sampai terlihat galau. Apalagi mengeluh kalau jualannya kurang laku. Buatlah postingan yang cepat dimengerti calon konsumen.

L adalah Like. Suka perhatikan teman. Bagi pebisnis di Facebook harus memerhatikan sesama teman. Minimal me-like postingan teman. O adalah Omset. Omset sebuah bisnis merupakan kunci utama mengembangkan usaha. Meningkatnya omset penjualan bisa menjadi gambaran akan potensi suksesnya bisnis.

L adalah Love. Pebisnis harus mencintai pekerjaannya supaya konsumen merasa terpuaskan. E adalah ENDING, jika transaksi selesai, ucapkan kata-kata pujian supaya konsumen senang dan mau jadi pelanggan tetap. Ya minimal mengucapkan terima kasih.

Huruf terakhir T adalah Target. Supaya penjualan stabil Anda harus punya target. Kalau menginginkan penjualan terus meningkat, jangan pernah berpaling dari target yang hendak Anda capai. "Semoga bermanfaat, walau tidak sependapat. Salam Telolet Om," kata La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

19 Des 2016

'Mami' Bikin Cemburu


SIANG itu si Sohib tergesa-gesa masuk Warkop langganannya. Bawa kabar untuk La Oegi. Mendengar kabar itu, La Oegi yang lagi asyik menjelajahi dunia 'maya' lewat iPadnya spontan ngakak. Tawanya menggema dalam Warkop.

Kabarnya begini. Istri tetangga si Sohib cemburu berat. Gara-gara kehadiran  'mami' untuk suaminya. Sebagai abdi di Negeri Antah Berantah (NAB), suaminya bakal mendapatkan tunjangan mami mulai Januari 2017. Ironisnya, si istri belum mencari tahu apa itu tunjangan mami, pikirannya sudah nyasar ke mana-mana. 

Padahal tunjangan 'mami' itu hanya singkatan dari 'makan-minum' alias tunjangan lauk pauk. Bukan tunjangan yang berkonotasi negatif seperti di benak istri tetangga si Sohib.

"Ooooh, seperti ituuu?" si Sohib mulai mengerti masalahnya. “Wah, saudara ini tidak pernah baca koran rupanya. Di depan televisi terus. Hanya nonton acara hahahehe. Akibatnya, saudara kurang tahu rencana pemerintah NAB menambah tunjangan mami bagi abdinya," jelas La Oegi.

Tunjangan mami itu nantinya diterima dalam bentuk uang. Ditransfer ke rekening masing-masing abdi bersamaan gaji setiap bulan. Bagi mereka yang alpa berkantor, otomatis akan terpotong tunjangannya. "Tahu dari mana kalau mereka malas masuk kantor?" tanya si Sohib.

"Ah, kuno juga kamu ini saudara. Kan ada sistem cheklock di masing-masing unit kerja," jawab La Oegi. "Lantas apa maksud pemberian tunjangan itu?" cecar si Sohib.

Kebijakan Wali NAB menambah tunjangan, untuk mendorong agar abdinya lebih meningkatkan kedisiplinan. Baik disiplin masuk kantor maupun dalam pelaksanaan tugas. Pelayanan masyarakat
pun berjalan lancar.

Di tengah penantian tunjangan mami, La Oegi dan tentunya masyarakat berharap, dengan bertambahnya tunjangan abdi NAB dapat lebih bersemangat melaksanakan tugasnya. "Memang masih ada yang kurang bersemangat, meski sudah menerima tunjangan?" sela si Sohib.

La Oegi tidak mengiyakan. Hanya memberikan sebuah ilustrasi. Di belakang rumah La Oegi, seorang kakek menanam berbagai jenis sayuran di kebunnya. Ketika kena hujan deras, banjir, pohon-pohon sayuran, cabe, dan tomat itu rebah. Si kakek pun memberikan penunjang, sehingga pepohonan tersebut mampu berdiri lagi.

Bayangkan! Pohon yang kondisinya rebah, tidak bisa berdiri, loyo, letoi, membutuhkan penunjang. "Apakah begitu pula kondisi abdi NAB, sehingga menerima beberapa tunjangan? Wallahualam,” begitu kata La Oegi seraya pamit numpang lewat meninggalkan Warkop langganannya. (**)

5 Des 2016

Lobi Proyek Ala Pensi


DI tengah geliat pembangunan di Negeri Antah Berantah, ada pelaksana konstruksi disingkat Pensi yang urung bekerja. Lantaran tidak mengantongi surat perintah mulai kerja (SPMK). Padahal dinyatakan sebagai pemenang tender. Dia pun masuk-keluar ruang sidang Pengadilan Negeri setempat. Menggugat pengambil kebijakan. 

Kadung dimejahijaukan, La Oegi berharap agar kedua belah pihak tetap berlapang dada menerima putusan majelis hakim nanti. Menang-kalah memang harus terjadi. Tetapi proyek tetap berlanjut hingga masyarakat setempat menikmati manfaatnya.

Masih di Negeri Antah Berantah. Bergulir isu setiap Pensi yang memenangkan tender, 'wajib setor' fee 15 persen dari anggaran ke organisasinya. Meski isu itu sudah dibantah petinggi organisasi Pensi, namun pihak penegak hukum tetap menangani kasus tersebut hingga tuntas. "Iya, semoga isu itu hanya sebuah fitnah," La Oegi membatin.

Sambil menyeruput teh tarik yang masih hangat di warkop langganannya, La Oegi menceritakan sebuah anekdot kepada sohibnya. Alkisah, sebuah bangunan akan dijadikan ikon Negeri Antah Berantah. Setelah tender, tiga Pensi tercatat memasukkan penawaran terendah.

Ketiganya berlomba mendekati kuasa pengguna anggaran (KPA) agar bisa mendapatkan proyek tersebut. Lobi pun dilakukan. Direktur CV Angin Ribut menyatakan siap mengerjakan proyek tersebut. Anggarannya Rp600 juta. Pembelian material Rp250 juta. Upah pekerja Rp250 juta. Rp100 juta keuntungannya.

CV Angin Kencang pun menyatakan kesanggupannya. Butuh dana Rp750 juta. Bahan bangunan Rp300 juta dan Rp300 juta untuk upah pekerja. Rp150 juta "di kantong". Giliran CV Puting Beliung. Sambil tersenyum dan percaya diri menemui KPA.

Setelah sapa menyapa, langsung masuk ke topik. Meskipun penawarannya terbilang tinggi dari kedua Pensi sebelumnya, malah dapat acungan jempol KPA. "Lha, kenapa begitu?" tanya si Sohib yang terlihat mengerutkan kening.

Pelaksana CV Puting Beliung memberikan penawaran Rp900 juta. Awalnya, KPA kaget mendengar angka itu. Setelah mendapat bisikan Pensi itu, KPA spontan tersenyum mengangkat kedua jempolnya dan berkata, "Iya, itu dia...!".

"Apa yang dibisikkan ke KPA itu?" cecar si Sohib. Bisikannya begini, "Rp75 juta untuk bapak dan Rp75 juta untuk saya. Dana Rp750 juta serahkan saja kepada CV Angin Kencang, nanti dia mengerjakan proyek itu". Oalaaaa......! Ternyata pelaksana CV Puting Beliung sedari tadi menguping pembicaraan kedua Pensi dengan KPA.

Meski itu hanya anekdot, tetapi La Oegi berharap para Pensi bekerja sesuai ketentuan, agar manfaatnya dapat dirasakan langsung masyarakat. “Ingat, setiap proyek dibiayai melalui uang negara, sehingga harus digunakan sesuai peruntukannya," pesan La Oegi.

Harapan sama buat pihak-pihak yang berkaitan pekerjaan proyek agar lebih maksimal dalam melakukan pengawasan. "Proyek yang tidak selesai tepat waktu atau kurang bagus kualitasnya, tentu akan merugikan kita semua," tutur La Oegi sambil pamit numpang lewat. (**)

21 Nov 2016

Segenggam Harapan Buat PWI


PENGANTAR
Tulisan ini dibuat sehari setelah pelantikan Pengurus PWI Kota Parepare-Kabupaten Barru yang dimuat di Harian PARE POS halaman pertama edisi Selasa, 22 November 2016.

PENGURUS Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Parepare-Kabupaten Barru dilantik, Senin kemarin. Pelantikan dilakukan Ketua PWI Provinsi Sulsel HM Agus Salim Alwi Hamu di Barugae, Kompleks Rujab Wali Kota Parepare. Pengurus PWI periode 2016-2019 itu diketuai Rahmat Patadjangi.

Masyarakat tentunya berharap banyak, semoga pengurus baru PWI Parepare-Barru dapat mengemban tugas dan fungsinya dengan baik, sehingga ke depan organisasi profesi ini dapat lebih berkembang. Meski ke depan tantangan yang akan dihadapi cukup berat dan beragam.

Sebagai organisasi profesi kewartawanan, salah satu fungsi PWI adalah memelihara dan meningkatkan standar perilaku profesional anggotanya. Artinya, segenap pengurus PWI dan anggotanya menjadi pihak pertama yang wajib melaksanakan pekerjaan sesuai standar profesi.

Jika disebut standar profesi, maka akan mencakup standar teknis dan etis. Dengan standar teknis, seorang wartawan dapat bekerja untuk menghasilkan karya jurnalistik yang diperoleh berdasarkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Organisasi profesi kewartawanan inipun dibentuk untuk menjaga agar tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan para wartawan memiliki harkat dan kualitas di tengah masyarakat. Dengan mengemban fungsinya, PWI akan melakukan pengawasan dan pengamatan secara kontinu tentang citra pekerjaan profesional ini dalam masyarakat.

Terkait hal di atas, saya dan mungkin masyarakat umumnya, menitip harapan kepada pengurus baru PWI Parepare-Barru. Harapan agar benar-benar melakukan pembinaan yang intens terhadap anggotanya yang terkadang melakukan 'praktik abal-abal'. Perilaku yang mengundang kesan kurang terpuji dan dapat mencoreng citra PWI itu sendiri.

Mungkin ada saja oknum yang hanya mengantongi kartu identitas salah satu penertiban maupun kartu pers PWI, tapi tidak melakukan pekerjaan sesuai standar profesi. Ulah yang tidak terpuji oknum tersebut terkadang membuat gerah dan resah pejabat maupun masyarakat sebagai sumber berita. Modus operandinya hanya mencari-cari masalah pejabat. Kesalahan sumber berita tersebut diolah menjadi rupiah.

Maka tidak heran, kalau ada pejabat yang mendadak menghilang karena menghindari bertemu oknum seperti itu. Kalau sudah begini, wartawan profesional lah yang ketiban sial. Ketika mendapat tugas mewawancarai pejabat bersangkutan, harus rela menemui kendala untuk melengkapi beritanya dengan sebuah konfirmasi pejabat tersebut. Ini hanya secuil tantangan bagi PWI Parepare-Barru.

Pengurus baru PWI Parepare-Barru diharapkan bisa menjawab tantangan itu dengan program kerja. Program kerja dan tatanan sistem yang baik akan memudahkan pengurus melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan. Upaya pembinaan dengan meningkatkan kualitas profesionalisme bagi wartawan anggota PWI.

Kenapa kualitas profesionalisme wartawan yang jadi sasaran untuk ditingkatkan? Sebab, wartawan atau jurnalis adalah pekerja yang profesional. Mereka melakukan kerja jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita atau laporannya untuk dimuat di media massa.

Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, program peningkatan kualitas dan profesionalisme wartawan terus dilakukan dengan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Ketua PWI Pusat Margiono seperti dikutip dari laman PWI Pusat mendorong seluruh wartawan untuk melakukan sertifikasi. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya.

Menurutnya, wartawan perlu terus belajar dan belajar, karena hanya wartawan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan menulis yang bisa memberikan inspirasi dan kemaslahatan bagi banyak orang.

"Karya jurnalistik wartawan yang baik adalah karya yang dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Karya jurnalistik seperti itu hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang profesional dan memiliki kompetensi," kata Margiono dalam sebuah kesempatan.

Senada pesan Chairman Fajar Grup (Grup PARE POS) HM Alwi Hamu kepada redaksi Fajar Group. Di dalam menulis berita seyogianya berupaya membantu pemerintah mendorong  memajukan daerah. Mengedepankan filosofi berita bagus adalah berita terbaik (The Good News Is The Best News). Mengkritisi secara bijak, memberikan solusi, dan tidak membuat gaduh.

"Bukan zamannya lagi membuat gaduh. Tapi kritisi pengambil kebijakan dengan bijak, berikan solusi, dan hasil terbaik untuk kemajuan bersama. Berita yang disajikan lebih mendalam, bijak, dan lebih mengedepankan solusi. Tidak sekadar informatif, tapi memberikan edukasi kepada pembaca," itu pesan Pak Alwi Hamu. (**)